IGK Manila. (BP/Eka)

Oleh IGK Manila

Pandemi Covid-19 terus memaksa dunia pendidikan untuk berubah, menyesuaikan diri supaya tidak sekadar berjalan tetapi juga demi memastikan kualitas. Di tengah chaos atau ketidakmenentuan berbagai hal —seperti penyesuaian target pendidikan dan bagaimana proses pembelajaran harus dijalankan — pemerintah pusat, pemerintah daerah dan masyarakat peduli pendidikan terus ditantang untuk berinovasi.

Sementara itu, kegagalan pertumbuhan ekonomi secara makro di tingkat nasional, yang bisa saja berujung pada resesi, terus membayang-bayangi kita. Sedangkan di daerah-daerah, penyelenggara pemerintahan mau tidak mau harus terus berjuang meminimalisasi dampak pandemi dalam kehidupan sehari-hari serta berusaha memfasilitasi penyesuaian diri masyarakat dalam tatanan kehidupan baru. Dalam hal ini, ketika Pendapatan Asli Daerah (PAD) berkurang drastis, dana dari pemerintah pusat menjadi andalan utama.

Dengan sendirinya, ancaman resesi ini juga mengancam keberlanjutan pendidikan. Ketika kegiatan belajar-mengajar telah berantakan sejak awal pandemi, di mana secara ekonomi situasi dan kondisi negara dan daerah masih relatif stabil, tentu bisa dibayangkan apa yang akan terjadi jika tak ditemukan paradigma dan cara-cara baru dalam pendidikan di saat situasi dan kondisi ekonomi menjadi lebih buruk.

Mencermati keadaan ini, hemat saya, kita perlu memperbarui atau menggeser sudut pandang. Pertama, menyikapi kesemrawutan penyelenggaraan pendidikan, seperti dalam hal apakah akan dilakukan fasilitasi pembelajaran tatap muka atau daring serta segala konsekuensi yang mengiringinya, perlu dilakukan perubahan paradigma, yakni dari pendidikan berbasis sekolah menjadi pendidikan berbasis masyarakat atau komunitas.

Secara legal-formal, hal ini sesuai dengan Undang-undang No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dalam Pasal 1, misalnya, terdapat definisi dari apa yang disebut sebagai pendidikan berbasis masyarakat yang merupakan ‘’…penyelenggaraan pendidikan berdasarkan kekhasan agama, sosial, budaya, aspirasi, dan potensi masyarakat sebagai perwujudan pendidikan dari, oleh, dan untuk masyarakat.’’ Sementara itu, dalam Pasal 55 dinyatakan bahwa ‘’Masyarakat berhak menyelenggarakan pendidikan berbasis masyarakat pada pendidikan formal dan nonformal sesuai dengan kekhasan agama, lingkungan sosial, dan budaya untuk kepentingan masyarakat.’’

Baca juga:  Sosok I Gusti Ngurah Rai, Kesatria dan Nasionalis

Dalam pendidikan berbasis sekolah yang telah melekat erat dalam benak kita selama ini, pendidikan pada dasarnya dijalankan oleh lembaga bernama sekolah. Lembaga-lembaga ini, negeri maupun swasta, didirikan dan dibiayai oleh pemerintah dan partisipasi masyarakat. Karena perkembangan organik sistem sosial, sekolah seolah-olah menjadi ‘’pabrik’’ yang menghasilkan output berupa lulusan-lulusan.

Namun, kalau kita bertanya secara mendasar, yakni apakah output dari ratusan ribu sekolah yang ada di Indonesia ini memiliki akar yang kuat dalam masyarakat di mana mereka hidup serta berkontribusi signifikan secara langsung secara komunal, jawabannya akan sulit didapat. Sekolah-sekolah, dalam penyelenggaraannya, telah menjadi sangat independen, dan mengalami pengurangan interdependensi. Konten-konten yang dipelajari di sekolah, misalnya, sebagian besar berjarak dari realitas sosial di mana para murid hidup.

Dalam paradigma yang baru, meskipun independensi sekolah tetap dijalankan, interdependensi berarti membangun dan mengembangkan kolaborasi antara sekolah dan lingkungan di mana sekolah itu berada serta lingkungan di mana murid-murid hidup. Lingkungan di sini mencakup lingkungan keluarga, sosial atau komunal serta lembaga kultural apa pun yang ada di dalamnya.

Dari segi kurikulum, pendidikan berbasis masyarakat bertujuan sekaligus untuk mengembangkan kecerdasan praktis dan teoretis. Belajar dalam konteks sosial di mana mereka hidup, murid-murid belajar mengembangkan kemampuan belajar, menggunakan pengetahuan, menyelesaikan masalah, serta membangun identitas diri.

Keberhasilan atau perkembangan kemampuan murid-murid bukan hanya dilihat dalam ranah akademik, yang biasanya direpresentasi oleh berbagai mata pelajaran, akan tetapi meliputi perkembangan kreativitas dan pertumbuhan kemampuan memilih dan membuat keputusan (personal will-power). Jika dalam pendidikan berbasis sekolah fokus utama adalah pada pengembangan kemampuan intrapersonal atau dalam diri, pendidikan berbasis masyarakat mensyaratkan perkembangan kemampuan interpersonal atau luar diri. Dengan kata lain, murid-murid secara langsung belajar dan berlatih supaya memiliki daya bersosialisasi (sociability) dan daya menyesuaikan diri dalam satu lingkungan hidup sosial (adaptability).

Baca juga:  Bali, Pariwisata, dan Kebhinekaan

Kedua, jika aspek ekonomi pendidikan sebelumnya lebih dilihat dalam bentuk ‘’pendidikan bergantung pada ekonomi’’, saat ini pendidikan harus bisa dilihat sebagai salah satu cara untuk meningkatkan resiliensi ekonomi. Artinya, pendidikan bisa saja menjadi cara untuk meningkatkan kapasitas masyarakat untuk secepatnya keluar dari berbagai kesulitan ekonomi.

Dalam hal ini, kita bisa bercermin pada masa lampau, misalnya pada masa di mana rata-rata setiap anggota satu keluarga ikut bekerja dan berkontribusi bagi ketahanan ekonomi (economic security) keluarga. Partisipasi anak-anak, sesuai dengan umur dan kemampuan mereka, pada dasarnya tidak hanya dilihat sebagai kontribusi ekonomis, tetapi juga sebagai cara belajar dan berlatih secara nyata untuk mampu bertahan hidup.

Namun, tradisi ini berangsur menghilang, terutama ketika anak-anak yang berkategori usia sekolah hanya fokus untuk bersekolah dalam arti yang sempit. Bersekolah diartikan terbatas menjadi semata-mata belajar di gedung-gedung atau ruangan yang dibangun terpisah dari kehidupan sosial langsung. Bersekolah menjadi cara untuk mendapatkan ijazah, bukti fisik yang dianggap sebagai tanda bahwa seseorang telah memiliki kualifikasi tertentu.

Sebagai akibatnya, anak-anak seperti mengalami sterilisasi, bahwa kecerdasan identik dengan nilai-nilai mata pelajaran yang rendah atau tinggi, bukan daya dan keterampilan hidup. Pada sebagian anak-anak, waktu tanpa kegiatan bermanfaat menjadi lebih banyak. Ketika selesai bersekolah, mereka canggung, tak sedikit yang menjadi pengangguran, atau bahkan mengklaim bahwa dengan adanya ijazah mereka berhak untuk mendapat status sosial atau posisi pekerjaan yang tinggi.

Di masa kini pun, sebenarnya, di samping tetap bersekolah, masih cukup banyak keluarga yang menerapkan pola pendidikan rumahan, di mana anak-anak berkontribusi bagi ketahanan ekonomi keluarga sekaligus belajar kecakapan hidup secara langsung. Ini misalnya masih terjadi di lingkungan keluarga para petani, pedagang serta profesi-profesi lainnya yang bisa melibatkan anak-anak.

Baca juga:  Dunia Pendidikan Sarat Kejutan

Pendidikan yang melatih anak-anak secara langsung untuk bertahan hidup ini tentu saja harus mewaspadai terjadinya eksploitasi. Karena tujuan dan konteksnya adalah pendidikan, tujuan kontribusi ekonominya harus disesuaikan. Di sini, hemat saya, kemitraan atau kerja sama antara pengelola sekolah dan para guru dengan orangtua, serta keterlibatan tokoh-tokoh dan lembaga-lembaga sosio-kultural menjadi amat penting.

Dalam praktiknya, seperti dalam situasi pandemi saat ini, pengelola sekolah dan guru-guru harus membangun komunikasi yang efektif dengan para orangtua dan secara perlahan dengan tokoh-tokoh dan lembaga sosio-kultural di mana anak-anak bertempat tinggal. Selain dengan menjadikan mereka bagian dari satu tim fasilitator pendidikan anak-anak, mereka juga sekaligus menjadi pengawas supaya hal-hal yang tidak diinginkan tidak terjadi.

Bagi penyelenggara pemerintahan, di mana penyelenggaraan pendidikan pada dasarnya telah mengalami otonomisasi yang luas, pemerintah daerah harus membuat kebijakan-kebijakan yang sesuai. Ketimbang sibuk dengan kehebohan soal pilihan belajar tatap-muka atau daring, di mana asumsi dasarnya masih berupa fasilitasi pendidikan dalam bentuk persekolahan fisik, pemerintah daerah lebih baik bergerak maju.

Sebagai tahap awal, bisa diterbitkan peraturan gubernur, peraturan bupati atau peraturan wali kota yang mengatur tentang penyesuaian fasilitasi proses pendidikan dengan kebutuhan ketahanan ekonomi dan resiliensi sosial. Ini sesuai dengan bunyi Pasal 38 ayat (2) UU No. 20/2003, bahwa ‘’Kurikulum pendidikan dasar dan menengah dikembangkan sesuai dengan relevansinya oleh setiap kelompok atau satuan pendidikan dan komite sekolah/madrasah di bawah koordinasi dan supervisi dinas pendidikan atau kantor departemen agama kabupaten/kota untuk pendidikan dasar dan provinsi untuk pendidikan menengah.’’

Penulis, Gubernur Akademi Bela Negara (ABN) Partai NasDem

BAGIKAN

1 KOMENTAR

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *