DENPASAR, BALIPOST.com – Pertumbuhan ekonomi Bali triwulan II 2020 -7,22 persen (qtq) dan -10,98 persen (yoy). Dengan demikian, dua kali pertumbuhan ekonomi Bali negatif, sehingga telah cukup syarat untuk disebut resesi.
Jika diakumulasikan dengan pertumbuhan triwulan I, selama semester I 2020, ekonomi Bali tercatat tumbuh negatif -6,13 persen (ctc). Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Bali Adi Nugroho mengatakan hal itu, Rabu (5/8).
Dari sisi produksi struktur ekonomi Bali, katanya, pada triwulan II 2020 masih didominasi oleh akomodasi makan dan minum (akmamin) dengan kontribusi sebesar 17,27 persen. ‘’Sementara dari sisi pengeluaran, kontribusi terbesar perekonomian Bali diduduki oleh komponen pengeluaran konsumsi rumah tangga dengan sumbangan 54,39 persen,’’ katanya.
Sampai dengan triwulan II 2020, katanya, secara struktur produksi lapangan usaha kategori penyediaan akmamin masih mendominasi perekonomian Bali dengan besaran nilai tambah Rp 9,40 triliun atau 17,27 persen dari total PDRB Bali. Kontributor terbesar kedua adalah produksi lapangan usaha kategori pertanian, kehutanan, perikanan dengan sumbangan nilai tambah Rp 8,54 triliun (15,68 persen), kemudian disusul oleh kategori konstruksi yang nilai tambahnya tercatat sebesar Rp 5,93 triliun (10,90 persen).
Adi Nugroho menambahkan, pergeseran terjadi pada dua kontributor terbesar selanjutnya. Jika pada triwulan sebelumnya kategori transportasi dan pergudangan menempati urutan terbesar keempat, pada triwulan II 2020 kategori ini tergeser turun dan menempati urutan ketujuh. Kategori perdagangan besar dan eceran, reparasi mobil dan sepeda motor dengan besaran nilai tambah Rp 5,17 triliun (9,50 persen) adalah yang menggantikannya berada pada posisi keempat, diikuti kategori industri pengolahan sebesar Rp 3,53 triliun (6,49 persen) pada posisi kelima. Pada triwulan sebelumnya kategori industri pengolahan berada pada urutan keenam.
Dengan melihat struktur ekonomi tersebut, katanya, maka tidak terjadi peralihan struktur ekonomi karena ekonomi Bali masih ditopang akmamin mengingat kontribusinya terhadap PDRB 17,27 persen. ‘’Walaupun pertumbuhan lapangan usaha akmamin -24,97 persen,’’ ujarnya.
Kepala Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Bali Trisno Nugroho mengaku kondisi ini cukup berat karena pertumbuhan ekonomi Bali minusnya cukup dalam. Maka dari itu, menurutnya, perlu kerja extraordinary (luar biasa – red).
Ia mengatakan dari sisi lapangan usaha, sebagian besar lapangan usaha utama tumbuh negatif, hanya 3 lapangan usaha yang tumbuh positif, yaitu informasi/komunikasi, jasa kesehatan, dan real estate.
Sementara itu, sektor transportasi dan penyediaan akomodasi makan dan minum mengalami kontraksi sebesar -39,48% dan -33,10%. Kedua sektor ini sangat erat hubungannya dengan pariwisata dimana menjadi tulang punggung perekonomian Bali (sekitar 58% ekonomi Bali tergantung pada pariwisata).
Kebutuhan listrik, terutama di hotel-hotel, di masa pandemic ini juga menurun yang menyebabkan sektor listrik, gas, dan air tumbuh -21,04%. Hal ini disebabkan oleh kunjungan wisatawan mancanegara yang tumbuh negatif (-99,97%, yoy) pada triwulan laporan.
Hal ini sejalan dengan penutupan penerbangan internasional dari dan ke Bali dalam antisipasi penyebaran COVID-19. Kinerja lapangan usaha tersebut juga dipengaruhi oleh kebijakan antisipasi dan protokol kesehatan pencegahan penyebaran COVID-19.
Dari sisi permintaan, semua komponen pengeluaran tumbuh negatif dengan kontraksi terdalam pada komponen ekspor luar negeri -93,02% (yoy). Kinerja ekspor luar negeri yang kontraksi disebabkan oleh penurunan kunjungan wisatawan mancanegara.
Selain itu, kinerja konsumsi rumah tangga dan investasi juga tercatat kontraksi, masing-masing -3.57% dan -15,48%. Kinerja impor juga terkontraksi sebesar -89.68% seiring dengan tertahannya kinerja pariwisata sehingga menurunkan permintaan bahan makanan impor serta adanya tekanan pelemahan nilai tukar rupiah. (Citta Maya/balipost)