Sugi Lanus. (BP/Istimewa)

DENPASAR, BALIPOST.com – Masyarakat Bali umumnya mengetahui bahwa di setiap pasar pasti ada Pura Melanting. Setidaknya ada palinggih Batari Melanting atau Dewi Melanting. Namun ada yang berpikir bahwa semua Dewi Melanting itu sama. Baik yang dipuja di sawah, abian, di pasar dan di Pura Melanting, Pulaki, Buleleng.

Sugi Lanus, penekun lontar, menyampaikan Dewi Melanting dalam dongeng masyarakat Banyupoh dan Pulaki, terkait dengan perjalanan Danghyang Nirartha. Putrinya, Ida Ayu Swabhawa, yang ‘’digaibkan’’ kemudian distanakan sebagai Dewi Melanting di Pura Melanting, Pulaki.

Namun, ada versi lain tentang Dewi Melanting. Dalam legenda disebutkan bahwa Dewi Melanting adalah putri dari Dewi Sri dan Dewa Wisnu. Budayawan R. Goris menyampaikan bahwa pemujaan terhadap Dewi Sri sebagai Dewi Padi, ada dongeng yang mengisahkannya. Dewi Melanting disebut setengah tahun berdiam di bawah bumi, dan setengah tahun di atas bumi. Ia baru dapat hidup kembali setelah mati dahulu di bawah tanah yang hitam. Jalan hidup baru melalui kematian terlebih dahulu adalah inti dongeng padi-padian.

Demikianlah, putri Dewi Padi ini disembah di kebun-kebun (sebagai Dewi Melanting ring kebun) dan di pasar (sebagai Dewi Melanting ring pasar. Sebab, pasar adalah tempat membagi-bagikan hasil pertanian sebagai anugerah Dewi Melanting. ‘’Kisah Dewi Melanting sebagai putri Dewi Sri dan Dewa Wisnu menyebar di Bali. Dewi Melanting dipuja di Pura Melanting di kebun dan di pasar-pasar. Di pasar, Dewi Melanting diidentikkan dengan Batara Rambut Sedana,’’ ujar Sugi Lanus, Kamis (6/8).

Baca juga:  Pascaperistiwa Bule Menari Telanjang di Gunung Batur, Desa Adat Gelar Mecaru

Sugi Lanus menambahkan, kisah Dalem Melanting atau Batari Melanting yang semula bernama Ida Ayu Swabhawa (putri Danghyang Niratha), diceritakan dalam Dwijendra Tattwa. Dalam lontar ini, sebagaimana diterjemahkan budayawan IBG Agastia, disebutkan ketika Danghyang Dwijendra hijrah ke Bali dari Jawa, sampailah di Pulaki.

Di sana sang pendeta sambil terus berjalan ke timur, tiba-tiba melihat seekor naga yang menakutkan dan mulutnya menganga. Sang pendeta pun masuk ke tengah mulut naga itu. Setibanya di tengah perut naga, sang pendeta menemukan sebuah telaga yang berisi bunga teratai tiga warna.

Di timur berwarna putih, di selatan berwana merah dan di utara berwarna hitam. Sang pendeta kemudian mencabutnya dan menyumpangkan di telinga. Teratai merah disuntingkan di telinga kanan. Yang hitam di telinga kiri dan yang putih dipegang. Lalu sang pendeta keluar dari perut naga itu dengan mengucapkan weda mantra ‘’hayu wreddhi’’ dan ‘’sapa wreddhiastu’’.

Keluar dari perut naga, istri dan putra-putrinya melihat sang pendeta berubah warna. Kadang-kadang merah, hitam dan tiba-tiba berwajah bagaikan emas. Sang pendeta kemudian bertanya kepada istrinya, Patni Kaniten, di mana putra-putri? Kemudian dijawab, semuanya lari dengan tujuan berbeda-beda.

Baca juga:  Dukung Inovasi Industri Kreatif 4.0, Sampoerna Dorong Kemandirian dan Daya Saing Bangsa

Selanjutnya Danghyang Nirartha mencari putra-putrinya untuk dikumpulkan kembali. Namun putrinya yang tertua hilang. Tak lama kemudian putrinya ditemukan dalam keadaan wajah pucat pasi. Danghyang Nirartha bertanya mengapa putrinya lari menjauh dan takut? Sang putri menjawab, ia lari karena melihat wajah ayahnya sangat menakutkan ketika keluar dari mulut naga.

Sang putri pun meminta anugerah kepada Danghyang Nirartha berupa kasunyatan, sehingga tidak bisa dilihat orang, yang menyebabkan ia bersatu dengan niskala (alam gaib) dan mengetahui hakikat kehidupan dan kematian. Kemudian Danghyang Nirartha mengajarkan ajaran rahasia kepada putrinya.

Setelah itu lenyaplah sang putri, namun tetap berada di tengah asrama yang disebut Dalem Melanting. Ia telah berbadan niskala dan diberi nama Batari Melanting, sebagai dewa di sana.

Selanjutnya, sang istri menyampaikan bahwa dirinya tak kuat lagi berjalan. Sang pendeta pun menyuruh istrinya bertempat tinggal di sana yang diberi nama Desa Melanting.

Sebab, putrinya Ida Ayu Swabhawa telah menjadi sungsungan orang-orang Melanting. Orang-orang Melanting yang jumlahnya kurang lebih delapan ribu orang, disuruh menjaga putri dan istrinya dan didoakan supaya tidak kekurangan emas permata serta makanan dan minuman, serta orang lain tidak dapat melihat orang-orang di sana. Lalu dilenyapkanlah desa itu oleh Danghyang Nirartha, sehingga desa ini tidak terlihat sampai sekarang.

Baca juga:  Bapak dan Anak Divonis 1,5 Tahun

Kata Sugi Lanus, ada informasi lain terkait gaibnya Ida Ayu Swambhawa, seperti dinyatakan sastrawan IBM Dharma Palguna (alm). Ada sumber tertulis lain yang menyebutkan bahwa Batara Mahadewa yang disebut Batara Tohlangkir yang bersemayam di puncak Gunung Agung mengutus Sang Hyang Dwijendra atau Danghyang Niratha untuk menyampaikan bahwa para dewata di Balilah yang meminta agar Ida Ayu Swabhawa menjadi dewanya para lelembut untuk menjaga alam Bali hingga kelak di kemudian hari.

Itulah sebabnya Danghyang Nirartha bersedia melaksanakan tugas ‘’menggaibkan’’ putri kandungnya agar tetap sebagai penghuni alam lelembut yang tidak dibatasi oleh umur tua dan kematian (tan keneng tuwa pati).

Pertanyaan sekarang, lanjut Sugi Lanus, jika masyarakat ditanya siapakah Dewi Melanting yang dipuja di sawah, di kebun dan di pasar-pasar? Mungkin jawabannya berbeda-beda. Barangkali umumnya dikaitkan dengan Dalem Melanting atau Batari Melanting di Pulaki, Kecamatan Gerokgak, Buleleng. (Subrata/balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *