Wayan Sukarsa. (BP/Istimewa)

Oleh I Wayan Sukarsa

Perekonomian daerah Bali yang amat mengandalkan sektor pariwisata sebagai tulang punggung perekonomian mengalami tekanan yang amat berat akibat pandemi Covid-19. Dampak pandemi Covid-19 telah berimbas ke berbagai sektor, tidak hanya kepada para pelaku usaha jasa pariwisata, melainkan juga kepada pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).

Kondisi ini sangat mengkhawatirkan karena keberadaan UMKM telah menunjukkan peranannya dalam perekonomian, baik nasional maupun daerah, pemerataan dan peningkatan pendapatan masyarakat serta mendorong pertumbuhan perekonomian. Selain itu UMKM juga tergolong usaha produktif yang menyerap banyak tenaga kerja, baik dalam skala usaha perorangan maupun badan usaha.

Berdasarkan data Dinas Koperasi dan UMKM Provinsi Bali, jumlah UMKM di Bali tercatat sebanyak 326 ribu yang tersebar di seluruh kabupaten dan kota di Bali, yaitu Gianyar 75.412 usaha, Bangli 44.068 usaha, Tabanan 41.459 usaha, Karangasem 39.589 usaha, Buleleng 34.552 usaha, Denpasar 31.826 usaha, Jembrana 27.654 usaha, Badung 19.688 usaha dan Klungkung 11.761 usaha. Asosiasi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah Indonesia (Akumindo) pada 2019 mencatat kontribusi UMKM terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia mencapai 65% atau sekitar Rp 2.394,5 triliun.

Baca juga:  Ini, Lima Prioritas Pembangunan Bali di 2021

Data Bank Indonesia Provinsi Bali menunjukkan bahwa UMKM memberikan kontribusi yang besar bagi perekonomian nasional maupun Bali, sebagaimana tercermin pada besarnya jumlah UMKM, yaitu mencapai 99% dari jumlah usaha nasional maupun di Bali dan besarnya tenaga kerja yang bekerja pada usaha UMKM (97,05% secara nasional).

Pandemi Covid-19 telah melumpuhkan UMKM akibat anjloknya aktivitas perdagangan berupa penurunan penjualan (68%), kesulitan modal (12%), kesulitan distribusi (10%), kesulitan bahan baku (6%), kesulitan produksi (4%). Penurunan omzet UMKM juga disebabkan akibat karakteristik UMKM yang secara umum memiliki lima kelemahan yaitu modal yang terbatas, perizinan yang tidak lengkap, rendahnya kesadaran untuk membayar pajak, hingga lemahnya inovasi dan rendahnya pemanfaatan teknologi.

Sebagian pelaku UMKM yang adaptif dan inovatif terhadap pandemi Covid-19 tetap bergeliat terutama mereka yang bergerak di dunia digital alias online. Namun tidak dimungkiri masih banyak pula pelaku UMKM yang belum siap, masih menjalankan bisnisnya secara konvensional mengalami kelesuan roda bisnis atau bahkan keterpurukan. Kondisi ini mengingatkan kembali bahwa sesuai dengan tuntutan Revolusi Industri 4.0 dan pandemi Covid-19, para pelaku UMKM harus bekerja dengan cara yang berbeda, karena pola perilaku konsumen juga telah berubah drastis yang semakin mengarah ke perilaku kehidupan yang berbasis digital.

Baca juga:  Keadilan bagi Kejahatan Asusila

Alasan perubahan perilaku konsumen ini pada dasarnya amat sederhana, yaitu aspek kesehatan/khawatir untuk keluar rumah, hingga menggunakan uang tunai, hingga kecepatan dan kepraktisan pelayanan. Konsumen menginginkan sebisa mungkin pelayanan dapat dituntaskan melalui perangkat gawai mereka.

Saat ini sudah ada pergeseran pemasaran produk UMKM dari offline ke online, namun jumlahnya masih amat kecil, baru mencapai 13 persen dari seluruh UMKM. Terhadap kondisi ini, Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki telah menyikapinya dengan menargetkan penambahan 2 juta pelaku UMKM yang mampu go digital hingga akhir 2020.

Kebijakan ini ditempuh melalui tiga fase program pemulihan KUMKM yaitu fase survival, fase pemulihan dan fase penumbuhan ekonomi, yang diharapkan akan mendorong peluang tumbuhnya UMKM, yang menggerakkan ekonomi secara nasional.

Kebijakan terkait yang juga dilakukan mencakup perlindungan dan pemberdayaan untuk meningkatkan ketahanan dan adaptasi UMKM melalui relaksasi pajak, penyederhanaan/kemudahan regulasi perizinan, bantuan modal, peningkatan kualitas SDM, bantuan alat/teknologi produksi dan promosi hasil UMKM agar mampu memaksimalkan produktivitasnya, termasuk merebut celah pasar yang ada pada platform digital.

Baca juga:  Ketidakpastian, Pergeseran dan Penanganan

Tentunya tidak seluruh pelaku UMKM siap untuk beradaptasi secara cepat, segera menjalankan usahanya melalui platform digital. Oleh sebab itu langkah-langkah kebijakan untuk mempersiapkan dan memberdayakan UMKM berbasis digital perlu segera dilakukan. Momentum penyusunan Perubahan APBD Tahun Anggaran 2020 serta penyusunan Kebijakan Umum Anggaran dan Prioritas Plafon Anggaran Sementara (KUA PPAS) Tahun 2021 pada pemerintah daerah dapat menjadi langkah awal pemberdayaan UMKM di Bali siap berbisnis melalui platform digital. Kebijakan pendukung tentunya juga diperlukan pelaku UMKM semakin inovatif dalam beradaptasi dengan perubahan yang terjadi.

Dukungan kuat pemerintah diperlukan agar UMKM dapat mengubah model bisnis dengan cepat, mengatasi hal-hal tidak terduga, serta memiliki rencana bisnis yang fleksibel. Kebijakan ini diharapkan dapat membuat UMKM bisa bertahan dan lebih tangguh menghadapi perubahan cepat yang tengah terjadi.

Penulis adalah Analis Kebijakan Ahli Madya pada Badan Penelitian dan Pengembangan Kabupaten Badung

BAGIKAN

1 KOMENTAR

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *