IGK Manila. (BP/Eka)

Oleh IGK Manila   

Perekonomian Bali dalam dua pekan terakhir adalah dibukanya kembali kunjungan wisatawan domestik, yakni sejak 31 Juli 2020. Di hari kedua setelah pembukaan, berdasar data Indonesian Hotel General Manager Association (IHGMA) DPD Bali, kurang lebih tercatat 4.000 wisatawan domestik yang telah datang.

Di tengah badai pandemi yang belum kunjung usai ini, momentum ini tentu wajib dijaga. Sebagai pengawal keberlanjutan dan perkembangan pariwisata sebagai salah satu urat nadi ekonomi, para penyelenggara pemerintahan di Bali — baik provinsi maupun kabupaten dan kota — tak boleh main-main. Demikian pula, para pelaku pariwisata harus memberikan pelayanan terbaik.

Salah satu yang wajib dipastikan tentu saja rasa aman dan nyaman wisatawan terkait dengan protokol kesehatan. Di sini kemudian berlaku prinsip moderasi, di mana memfasilitasi wisatawan — seperti yang paling sederhana dengan penyediaan hand sanitizer — lebih baik daripada sikap nyinyir, proteksi berlebihan atau paranoid. Memfasilitasi adalah prinsip pelayanan terbaik.

Sambil terus berjuang supaya sektor pariwisata bisa kembali pulih dan terus berkembang, kita juga wajib mencermati dinamika perekonomian Bali secara lebih mendalam dan mengambil langkah-langkah yang bijak. Selain bahwa di samping pariwisata sebagai primadona perekonomian terdapat sektor-sektor riil lainnya yang potensial, juga perlu dicermati bahwa sejak 2018 telah terjadi kontraksi atau penurunan pertumbuhan sektor pariwisata, yang kemudian mencapai puncaknya pada 2019, dan ditambah dengan faktor pandemi pada 2020.

Mari kita mulai dari kontraksi sektor pariwisata. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Bali, jumlah wisatawan mancanegara (wisman) yang datang langsung ke Bali pada Semester I tahun 2019 hanya 2,84 juta orang. Jumlah ini turun sebesar 1,29 persen dibanding periode yang sama pada 2018. Sementara itu, pertumbuhan wisman ke Bali pada 2018 adalah 6,54 persen, jauh menurun dari tahun 2017 yang mencapai 15,62 persen. Secara rata-rata, pertumbuhan jumlah wisman ke Bali sepanjang 2015-2018 mencapai 12,89 persen.

Baca juga:  Pendidikan dan Resiliensi Ekonomi

Padahal, misalnya, di sepanjang Semester I 2019 terjadi pelemahan nilai tukar rupiah, yakni di angka 14.188 per 1 dolar AS. Jika dipersentase, rupiah rata-rata melemah sekitar 2,4 persen secara tahunan. Asumsinya, dengan pelemahan kurs, wisatawan akan lebih tertarik untuk berlibur ke Indonesia karena itu berimbas pada harga-harga yang menjadi lebih murah. Berita baiknya adalah bahwa Bali masih menjadi primadona atau destinasi utama. Berdasarkan data BPS, dari 15,81 juta wisatawan yang berkunjung ke Indonesia pada pada 2018, sekitar 40 persen atau 6,07 juta berkunjung ke Bali. Sehingga jika pariwisata Bali mengalami kontraksi, dengan sendirinya  industri pariwisata nasional secara keseluruhan juga akan berkontraksi.

Akan tetapi, memasuki Semester I 2020, seiring dengan pandemi Covid-19, pariwisata seperti terjun bebas. Berdasarkan data Bank Indonesia, terdapat 1.285.000 tenaga kerja pariwisata di Bali, provinsi yang berdasarkan data 2017 berpopulasi sekitar 4.230.051 jiwa. Bisa dibayangkan apa yang terjadi dengan 30,4 persen warga Bali yang bergerak di sektor pariwisata ini!

Menyikapi kontraksi sektor pariwisata yang telah terjadi sejak sebelum pandemi ini, segenap penyelenggara pemerintahan di Bali sudah sepatutnya duduk dan bergerak bersama dalam satu visi yang lebih tajam dan terarah. Hemat saya, terlepas dari dalih politik nasional ataupun kontraksi perekonomian nasional, para pengambil kebijakan harus sebesar-besarnya memanfaatkan kewenangan berupa otonomi pengelolaan daerah yang sudah diberikan negara secara konstitusional.

Pada titik ini, kita sampai pada hal kedua yang wajib disadari bahwa pariwisata hanyalah salah satu sektor riil saja, yang kebetulan menjadi sumber penghidupan sekitar 30,4 persen masyarakat Bali, langsung atau tidak langsung. Demikian pula, dari 8 kabupaten dan 1 kota madya di Bali — yang meliputi 57 kecamatan, 80 kelurahan, dan 636 desa — terdapat keragaman besaran penerimaan dari sektor pariwisata. Terdapat juga wilayah-wilayah yang sumber penghasilan utamanya adalah sektor pertanian, perikanan dan seterusnya, yang justru di masa krisis ini bisa jadi lebih mampu bertahan.

Baca juga:  Literasi Olahraga Kesehatan

Bisa saja, dengan asumsi bahwa sektor pariwisata akan pulih seperti sediakala, dilakukan industrialisasi pariwisata yang lebih masif dan merata. Dengan berbagai cara, misalnya, pemerintah bersama pelaku pariwisata melakukan eksplorasi dan eksploitasi sedemikian rupa, sehingga muncul destinasi-destinasi pariwisata baru lengkap dengan sarana-prasarananya.

Akan tetapi, keseluruhan asumsi dan praktik eksploitatif ini perlu betul-betul dikaji. Sebab, eksploitasi atau alih fungsi lahan demi pariwisata saja, misalnya, sejauh ini telah merusak dan menghilangkan berbagai entitas pertanian di berbagai wilayah. Padahal, sebagai destinasi wisata budaya dan alam, Bali wajib memelihara entitas-entitas tersebut sebagai sebuah kesatuan, sehingga tetap bisa dinikmati wisatawan.

Begitu juga dengan pengertian ‘’pulih’’. Sejauh ini, misalnya, belum ada jaminan bahwa pandemi Covid-19 akan berakhir dalam waktu dekat. Sebaliknya, di seluruh dunia yang berlaku adalah new normal, bahwa setiap orang, komunitas dan negara harus memaksa diri untuk beradaptasi, menyesuaikan diri dengan berbagai kebiasaan baru. Oleh karena itu, menurut pendapat saya, di samping terus memastikan sektor pariwisata bisa berjalan kembali — secepat dan seberapa pun yang bisa dicapai –penyelenggara pemerintahan harus bersikap lebih realistis sekaligus taktis-strategis.

Salah satu solusi yang mungkin dilakukan adalah dengan mengembangkan perekonomian berbasis komunitas. Sebab, meskipun sudah mengalami industrialisasi yang masif di sektor pariwisata, aspek sosio-kultural ini tetap kental dan bisa dijadikan sebagai modal awal.

Baca juga:  Normalisasi Bali

Dalam cara ini dikenal umpamanya konsep Asset-Based Community Development (ABCD) atau pengembangan komunitas dengan memanfaatkan potensi-potensi atau aset yang terdapat di wilayah komunitas tersebut. Aset tersebut mencakup sumber daya manusia, alam, sosial dan seterusnya. Pada tahap awal ini bisa dimulai sebagai cara memastikan pemenuhan kebutuhan pokok atau subsistensi warga komunitas dan selanjutnya bisa dikembangkan menjadi unit-unit usaha bersama.

Prinsip utama dari konsep ABCD ini adalah bahwa setiap kelompok masyarakat dapat memberdayakan diri dengan cara mengidentifikasi dan memobilisasi aset-aset yang terdapat dalam wilayah mereka, yang biasanya terabaikan atau tidak dikenali. Konsep ini berbeda dari Deficit-Based Approach (DB) — pendekatan umum yang biasanya dilakukan pemerintah — yang cenderung melihat satu kelompok sosial atau masyarakat sebagai sarang masalah dan kemudian berpretensi bisa ‘’menyembuhkan’’ masalah tersebut dengan pemberian bantuan, subsidi atau pengadaan sarana-prasarana.

Intervensi yang bisa dilakukan pemerintah daerah bisa melalui beberapa tahap. Pertama, sebagai payung hukum kebijakan, bisa saja diterbitkan peraturan gubernur atau bupati/wali kota. Ini bisa menjadi bagian dari program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) di tingkat lokal. Ini juga akan mengatasi persoalan adminisitratif-prosedural sekaligus legal-formal terkait konsekuensi-konsekuensi penganggaran. Kedua, dinas-dinas terkait perekonomian masyarakat mendesain program identifikasi dan skema intervensi bersama perangkat desa dan kelurahan.

Berbeda dari pendekatan defisit (DB), adalah komunitas-komunitas yang ada dalam satu desa atau kelurahan sendiri yang mengidentifikasi usaha yang bisa dijalankan sesuai dengan aset ‘’terpendam’’ yang mereka miliki. Fasilitasi pemerintah adalah dalam bentuk pendampingan dan penjaminan supaya setiap unit usaha tumbuh dan berkembang seperti menjadi Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM).

Penulis, Gubernur Akademi Bela Negara (ABN) Partai NasDem

BAGIKAN

1 KOMENTAR

  1. yang terhormat bapak gubernur akademi bela negara partai nasdem maaf artikel-artikel yang bapak tulis dalam media opini bali post ini saya sangat terkagum terhadap paparan dan idealisme bapak terhadap pulau bali sangat besar dan mudah2an dalam waktu tidak terlalu lama bapak bisa mengajak para pengambil keputusan di daerah ini atau barang kali siapa tahu bapak bisa jadi salah satu pengambil keputusan untuk bali maaf tidak ada yang tahu maka dengan tantangan masyarakat bali kedepan tidaklah mudah atau masa keemasan yang pernah diraih oleh bali kemungkinan sulit bisa survive karena saat ini ekonomi global merasa sangat terpukul dengan adanya masa pandemi19 ini dan disamping itu persaingan destinasi wisata yang lain sudah banyak juga bermunculan maka dari itu dalam hal ini pemerintah derah dengan kewenangan otonomi yang diberikan oleh undang-undang perlu kiranya disaat seperti ini bergeliat untuk membuat suatu kebijakan yang bersifat normatif atau legal formal yang mengatur tentang bagaimana menggairahkan basis atau fundasi yang dimiliki oleh setiap daerah kabupaten / kota bisa lebih berkreasi , tidak boleh stagnan atau menunggu uluran tangan saja dari pemerintah pusat. jadi dengan menyambut hari kemerdekaan kita ini perlu kiranya potensi hasil pertanian dalam arti luas yang dimiliki oleh setiap desa baik dari karakter maupun letak geografis yang dimiliki oleh masing – masing wilayah tersebut dengan cara menyandingkan sektor atau destinasi baru dengan hasil tanaman yang dimiliki oleh para warga tani di wilayah tersebut harus saling bersinergi sehingga para pemegang tapuk pimpinan di derah ini perlu lebih giat mengoptimalkan kembali budaya pertanian dengan tanah yang sangat subur, sekarang yang perlu lebih mendapat attensi dari pemerintah adalah mengajak dan membuat ekonomi yang berbasis gotong royong serta menciptakan generasi milinial cinta dan tertarik untuk menanam atau budaya menanam harus ditingkatkan bagi setiap anggota keluarga baik dengan media tanah maupun hidroponik , hal-hal seperti inilah perlu digiatkan dan dikembangkan supaya masyarakat bali bisa bertahan semoga

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *