GIANYAR, BALIPOST.com – Saat ini timbul pro kontra soal adanya sampradaya (aliran kepercayaan) di Bali. Atas kondisi ini, Majelis Desa Adat sudah mengeluarkan keputusan untuk melarang aktivitas sampradaya di wewidangan desa adat.
Gubernur Bali, Wayan Koster, pun angkat bicara soal ini. Ia mengingatkan bendesa adat se-Gianyar untuk kokoh menjaga adat budaya Bali. Hal ini penting dilakukan untuk membentengi budaya Bali dari pengaruh luar yang dinilai mengancam. “Saya minta semua majelis sampai bendesa, jaga desa adat ini baik baik, sudah ada keputusan majelis desa adat provinsi Bali, tentang kaitannya dengan pengeruh luar, ada sampradaya itu tidak bisa, baca itu (keputusan majelis desa adat provinsi Bali-red) ikuti itu,” tegas Gubernur Bali Wayan Koster saat berpidato dalam acara peletakan batu pertama Pembangunan Kantor MDA Kabupaten Gianyar, Selasa (18/8).
Orang nomor satu di Bali ini meminta seluruh bendesa adat untuk kokoh menjaga desa adat. Ia juga mengingatkan agar bendesa adat tidak membiarkan berkembangnya unsur-unsur yang dapat merusak adat budaya Bali. “Jangan berikan kesempatan sedikit pun unsur-unsur yang merusak ini. Kalau sampai budaya kita rusak maka akan hancur Bali ini kedepan, saya katakan kalau bapak (seluruh bendesa-red) terpengaruh membiarkan itu di desa adat, Bali ini akan hancur. Sanggah bisa membongkar, karena tidak lagi memuja leluhurnya, sing dadi mebanten sing dadi megalungan mekuningn megulingan, Bali bisa tinggal nama,” katanya.
Koster juga mengingatkan agar masyarakat Bali yang selama ini dikenal toleran, harus tetap waspada menjaga sejumlah hal yang bersifat prinsip. “Hati-hati, jangan sok toleran, sok longgar, ingat di tengah toleran ada hal prinsip harus kita jaga seketat-ketatnya tidak boleh dibuka. Saya minta bendesa serius, saya mohon karena kita sedang dirongrong sekarang ini, saya mohon perhatikan betul ikuti keputusan Majelis Desa Adat Provinsi Bali, jalankan di wewidangan masing-masing,” tegasnya.
Ia pun mencontohkan masyarakat Hindu Bali yang harus menjalankan aktivitas keagamaan dengan melaksanakan upacara di pura. “Kita di pura jalankan upacara keagamaan ke bhatara dengan dresta adat istiadat masing-masing di desa, gunakan itu jangan ikut yang lain,” katanya.
Ia juga menegaskan bila ada bendesa adat di Bali yang terpapar aliran di luar budaya Bali, agar mundur sebagai bendesa adat. “Saya bicara ke majelis desa adat kabuaten/kota, bendesa jangan sampai ada nilai lain menggerus adat kita di Bali. Kalau bapak bendesa kena, bapak harus berhenti jadi bedesa adat. Jangan sampai terpapar yang lain, kalau corona kena masih bisa dirawat di rumah sakit, kalau ini kena bisa hancur adat budaya kita, jangan main-main,” tegasnya.
Ia juga mengingatkan budaya membuat Bali terkenal seluruh dunia, hingga mendatangkan penghasilan sehingga memberi kesejahteraan. Sebab itu persoalan menjaga budaya Bali harus dijadikan prioritas. “Jadi di Bali yang harus kita urus nomor satu ialah adat istiadat, seni, tradisi, budaya, kearifan lokal sebagai kekayaan Bali. Kita tidak punya emas, migas dan lainya, jadi di Bali ini yang diseriusi, semua ekonomi di Bali dibangun berbasis budaya,” katanya.
Sementara itu Ida Penglingsir Agung Putra Sukahet, selaku Ketua Bendesa Agung MDA Provinsi Bali mengatakan apa yang menjadi keputusan MDA sama dengan yang disampaikan Gubernur Bali. Keputusan ini berlaku untuk wilayah Bali. “Gubernur sama dengan Majelis Desa Adat menyatakan untuk Bali, sedangkan keputusan PHDI pusat untuk nusantara, kita sabar saja karena PHDI pusat akan segera melakukan paruman, ini sedang bergulir,” katanya.
Dikatakan pihaknya akan tetap menjalankan keputusan MDA untuk wilayah Bali. Hal ini penting untuk mempertahankan budaya Bali, dari pengaruh yang dinilai bisa menjadi ancaman. “Ya untuk Bali, kita punya kewenangan untuk mengatur mempertahankan tradisi adat, supaya tidak terjadi pelecehan, penistaan,” katanya.
Bandesa Agung juga menegaskan meski keputusan PDHI Pusat memperbolehkan sampradaya di wilayah Nusantara termasuk Bali, pihaknya akan tetap menjalankan keputusan MDA untuk wilayah Bali. “D Bali tetap keputusan MDA dan keputusan Gubernur yang berlaku, bukan keputusan PHDI pusat,” tandasnya. (Manik Astajaya/balipost)