Oleh GPB Suka Arjawa
Bulan Agustus 2020 ini, penyebaran virus Corona atau COVID-19 masih belum bisa dikendalikan. Tidak saja di Indonesia, seluruh negara di dunia tidak mampu mengatasi virus mematikan tersebut.
Di tengah masyarakat juga terjadi silang pendapat soal temuan vaksin dan kombinasi obat sebagai pencegah virus ini. Pada konteks internasional, telah terjadi persaingan di negara-negara maju untuk memborong calon vaksin virus ini.
Tentu ke depan persaingan antarnegara maju ini akan dapat menimbulkan politisasi vaksin antarnegara yang lagi-lagi pasti akan membuat negara berkembang kalah dalam persaingan, kalah dalam perebutan untuk mendapatkan bakal vaksin tersebut. Meski demikian, ada perkembangan di Tanah Air yang mengaitkan soal kerentanan anak muda terhadap penularan virus tersebut.
Ada berita yang menyebutkan bahwa pelajar dan mahasiswa rentan terkena virus Corona. Mungkin kalau dikatakan soal keretanannya, semua orang yang lemah daya tahan fisiknya, mudah tertular virus ini.
Tetapi tentu dengan catatan, apabila pergerakan dan disiplin diri terhadap protokol kesehatan rendah. Jadi, bukan hanya mahasiswa dan pelajar yang rentan. Semua masyarakat dapat mengalami keadaan ini.
Meski demikian, apabila dilihat dari sisi usia dan sikap mungkin juga sifat anak muda, bisa jadi penyebaran baru dimulai dari kelompok masyarakat ini. Pemerintah kita tahu memang telah kelimpungan menghadapi persoalannya.
Kita juga sudah melihat bagaimana tepatnya kebijakan pemerintah untuk tidak mengaktifkan sekolah hingga saat ini. Sebagai generasi muda dengan rentang umur antara 10 sampai 20 tahun, mereka mempunyai interaksi yang paling dinamis. Ini sudah hukum alam, tidak bisa ditentang.
Namun mungkin dapat dikendalikan dengan strategi tertentu. Kelompok pelajar mahasiswa ini, berentang mulai dari kelompok yang suka bermain, yaitu anak-anak Sekolah Dasar; remaja yang sudah mulai suka mencari perhatian kepada lawan jenis, yaitu mereka yang berada di sekolah menengah; sampai dengan mereka yang sudah mulai membaca eksperiman pengetahuan, yaitu mereka yang berada di perguruan tinggi.
Semua kelompok tersebut mempunyai dinamika sosial yang tinggi. Apabila dilihat dari teori-teori sosial, penyebab penyebaran COVID-19 yang begitu cepat adalah dinamika sosial. Artinya interaksi masyarakatlah yang paling bertanggung jawab atas penyebaran tersebut.
Di zaman post modern ini, interaksi sosial itu mengalami peningkatan luar biasa dibanding, misalnya di tahun 1960, bahkan dekade tujuh puluhan. Bepergian dengan naik pesawat memungkinkan virus ini menyebar melewati benua.
Kendaraan lintas provinsi, memungkinkan penyebaran itu melewati perbatasan provinsi. Dan kendaraan bermotor yang kini mampu dengan cepat menerobos pedesaan, membuat virus itu menyebar ke desa juga.
Generasi muda merupakan kelompok masyarakat yang mempunyai interaksi sosial yang paling tinggi apabila dibandingkan dengan kelompok lain. Ini sudah menjadi identitas dan memang telah menjadi ciri apabila dikaitkan dengan peikologi perkembangan dan pertumbuhan manusia.
Penyebaran COVID-19 itu adalah dinamika sosial dan pengendalainnya jelas juga pengendalian terhadap dinamika tersebut. Penyebaran COVID sudah terjadi, tetapi bagaimana dengan pengendalian sosialnya, yang dalam hal ini terhadap pelajar dan mahasiswa.
Sejauh ini kita tangkap, pengendalian itu telah dilakukan, yaitu dengan melakukan proses pembelajaran di rumah (bukan sekadar belajar jarak jauh). Dengan proses pembelajaran ini, maka sebagian pengendalian dinamika mereka, berhasil dilakukan.
Kini yang menjadi pekerjaan adalah pengendalian dinamika mereka sebagai makhluk manusia yang masih-anak-anak, remaja dan remaja dewasa. Di sini, tugas paling awal tentu saja dari orangtua yang mesti memberi tahu anak-anak mereka yang masih remaja.
Membebankan mereka kepada pengendalian itu juga kurang adil. Maka, harus ada kesadaran dari kelompok-kelompok masyarakat untuk membuat dan menyumbangkan keterampilannya di media online.
Misalnya menyebarkan pengetahuan keterampilan membuat masakan secara online. Meski misalnya harus bayar, tetapi haruslah dengan harga yang merakyat.
Mungkin juga pihak guru atau dosen memberikan persentase tugas yang lebih besar dibanding sebelumnya agar mereka mampu lebih tertahan di rumah. Mahasiswa harus memaklumi kondisi ini. Mahasiswa, sebagai insane yang belajar di perguruan tinggi tidak boleh cengeng hanya meminta belaka tanpa mau memaklumi kondisi.
Sesungguhnya apabila dicari dari pendekatan ilmu sosial yang kemudian dikaitkan dengan sosiologi kesehatan, bisa saja dikatakan bahwa pencegahan penyebaran COVID-19 ini gampang. Bahkan mungkin sangat gampang. Yaitu, semua mempunyai kesepakatan sosial di seluruh negara agar berdiam diri di rumah selama dua minggu atau jika mungkin untuk lebih amannya selama 20 hari. Maka, seluruhnya akan sehat.
Kita nyepi selama 20 hari untuk menyelamatkan dan menyehatkan diri kita selama berpuluh-puluh tahun, dan tentunya juga untuk menyelamatkan generasi muda dan generasi baru. Tetapi itulah kemudian realitas sosial yang kelihatan.
Hanya meminta kesepakatan berdiam diri 20 hari saja di rumah kita tidak bisa. Apalah artinya 20 hari atau dua minggu yang harus dikorbankan, demi menjaga kesehatan kita semua yang berpuluh-puluh tahun itu. Apa artinya miskin selama 20 hari jika kita mampu membikin kesejahteraan sosial selama berpuluh-puluh tahun.
Tetapi itulah realitas sosial yang terjadi, tidak hanya di Indonesia tetapi juga di seluruh dunia. Orang semua ketakutan dengan dua minggu saja kehilangan aktivitas untuk kemudian hidup menegangkan dalam rentang waktu yang tidak kita ketahui.
Dengan cara itulah kita mencoba ikut menahan laju Covid ini dari segala arah agar kita semuanya dapat dengan cepat mengatasi persoalan sosial yang sudah berkepanjangan ini.
Penulis, staf pengajar sosiologi FISIP Universitas Udayana