Warga negara asing menyusuri Pantai Semawang, Sanur. (BP/eka)

DENPASAR, BALIPOST.com – Sudah lima bulan pariwisata Bali sekarat. Dalam kondisi pariwisata Bali yang sedang terpuruk saat ini, beberapa pihak mengatakan bahwa inilah momen yang tepat untuk evaluasi dan memperbaiki pariwisata Bali.

Sejauh ini belum ada yang secara solid melakukan evaluasi terhadap perkembangan pariwisata Bali. Hanya sibuk mengembalikan pariwisata seperti sediakala. ‘

’Sementara untuk memikirkan lebih jauh pariwisata itu supaya lebih berkembang, hampir tidak Ada. Tidak ada konsep yang jelas. Yang ada adalah mengembalikan seperti keadaan semula tetapi secara bertahap, termasuk pemberian sertifikat,’’ kata Ketua Warmadewa Research Center Nyoman Gede Mahaputra, belum lama ini, saat wawancara dalam program Bali Post Talk.

Para pelaku pariwisata optimis tamu akan datang lagi. Namun kedatangan itu tidak mungkin terjadi dalam jangka waktu cepat, apalagi jika tanpa aksi.

Baca juga:  KPU Tetapkan 330 DCT DPRD Gianyar

Bahkan jika pariwisata kembali normal, yang akan diuntungkan adalah  investor yang sebagian besar bukan penduduk Bali. Selain itu, ketika normal, akan terjadi perubahan di sektor pariwisata, seperti berkurangnya kontribusi pariwisata pada kehidupan masyarakat Bali.

Lanjut Mahaputra, kedaulatan masyarakat Bali dalam konteks pariwisata juga belum mengarah ke sana. Misalnya kembali bertani sementara lahan sudah habis, dan langkah untuk kembali ke pertanian harus disusun, sementara tidak ada yang menyusun.

Ada juga langkah untuk menyinergikan pertanian dan pariwisata. Itu pun, menurutnya, hanya wacana sementara. ‘’Implementasinya belum ada yang serius melakukan itu,’’ ujarnya.

Langkah lain yang dilakukan yaitu vila dan hotel yang menjual aktivitas pertanian, sebagai bagian dari paket mereka. Tetapi, menurutnya, itu pun hanya gimmick yang tidak benar–benar menghidupkan sawah.

Baca juga:  Angin Kencang, Porak-porandakan Bangunan Tambak

Malah bukan menghidupkan sawah, tetapi menghidupkan pariwisata itu. “Yang benar–benar menghidupkan sawah ini, yang membutuhkan rencana yang benar–benar solid, itu tidak ada,” tegasnya.

Maka solusi yang bisa dilakukan, menurutnya, harus mulai memikirkan sinergitas yang benar-benar harus dilakukan. Tidak hanya pada omongan tetapi benar–benar dilakukan sinergitas pertanian dan pariwisata.

“Sekarang bagaimana caranya agar pertanian benar–benar menghidupi pertanian atau menghidupi sektor lain seperti perikanan. Saya kira sekarang adalah perlunya sinergi karena kita punya banyak alternatif pekerjaan dengan hadirnya pariwisata. Menyinergikan banyak alternatif ini untuk sama–sama membangun Bali, itu menjadi PR besar kita,” ujarnya.

Mahaputra menambahkan, sejak awal pariwisata Bali telah dikhawatirkan mengganggu ekonomi masyarakat Bali. Karena dulu asal pariwisata adalah alat propaganda pemerintah Belanda bahwa mereka tidak berlaku seperti yang dituduhkan di Eropa. Mereka menggunakan pariwisata sebagai senjata untuk melindungi citranya.

Baca juga:  Sekaa Qak Danjur Pegok Rekontruksi "Genggong"

Tahun 70-an, ketika ekonomi Indonesia bergerak ke arah yang lebih liberal, saat Bali mulai mengundang investor-investor luar, mulai ada kekhawatiran bahwa pariwisata akan merusak tatanan kehidupan tradisional Bali. Sehingga diputuskanlah untuk melakukan studi besar tentang pariwisata namun dalam konteks agar kehidupan tradisional masyarakat Bali tidak terganggu. Tetapi tidak berhasil, tidak seperti yang direncanakan.

Tahun 80-an mulai dilanggar kesepakatan perencanaan pariwisata, sehingga pariwisata menyebar ke segala arah, akhirnya di mana-mana terjadi pariwisata. “Melihat hari ini hampir semua infrastruktur yang kita bangun adalah untuk pariwisata. Tol, revisi tata ruang, membangun kawasan beridentitas Bali demi pariwisata,” bebernya.

Bahkan ia mengatakan pariwisata yang mendikte tingkah laku masyarakat Bali. (Citta Maya/balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *