DENPASAR, BALIPOST.com – Bali boleh dikatakan gelagapan ketika lokomotif utama pendorong ekonominya macet. Pariwisata yang selama ini menjadi penggerak ekonomi tersandera dan tidak berdaya.
Menggandengkan sektor pertanian dengan lokomotif pariwisata harus segera dievaluasi. Bali idealnya segera menyiapkan rel khusus bagi pertanian agar benar-benar bisa menjadi lokomotif alternatif penggerak perekonomian Bali. Industri manufaktur untuk mengolah produk pertanian mesti dibangun di Bali.
Kekhawatiran terhadap tersanderanya ekonomi Bali ke jurang resesi menguat. Terlebih empat bulan ke depan Bali hanya akan mengandalkan wisatawan domestik.
Ini akan menggiring Bali ke jurang yang paling dalam terkait upaya mengawal perekonomianya. ‘’Meskipun banyak pihak masih optimis bahwa perbaikan akan terjadi, namun realitanya rakyat sudah nyaris kehilangan daya beli. Transaksi lesu. Ini akan menjadi tantangan serius bagi Bali. Kini harga produk pertanian juga anjlok akibat pariwisata melambat,’’ ujar Ketua Forum Daerah Aliran Sungai (DAS) Bali Dr. Made Sudarma mengawali perbincangannya dengan Bali Post, Selasa (25/8).
Akademisi Unud ini menegatakan, selama ini kita terlalu yakin dengan satu rel, yakni rel yang dilintasi pariwisata. Sementara pertanian sebagai penyangganya menggandeng pada rel yang sama. Ketika lokomotif utama yakni pariwisata macet, maka sektor pertanian juga terdampak hebat. Harga anjlok.
Petani gagal menjual produknya dan merugi. ‘’Saya berharap Bali segera membangun rel baru untuk pertanian. Rel pariwisata mari kita benahi bersama sambil menunggu perbaikan, namun rel khusus sektor pertanian harus dibangun,’’ sarannya.
Sudarma menambahkan, pihaknya yakin pemberdayaan pertanian jika difasilitasi berbagai insentif dan kemudahan akan tumbuh dan berkembang. Selama ini pariwisata dimanja berbagai fasilitas dan kemudahan. Kredit juga lebih banyak mengalir ke sektor ini.
Dampaknya, ketika melambat, kini Bali memasuki fase menuju kelumpuhan ekonomi. ‘’Bali sebaiknya mendesain pengelolaan sektor pertanian berkelanjutan dengan membangun infrastruktur pendukungnya yakni industri manufaktur pengolahan produk pertanian. Selama ini petani Bali memasarkan produknya ke hotel dan pasar. Ketika dua pasar ini tersandera, maka terjadi overproduksi. Harga menjadi anjlok. Ke depan, ruang penyerapan harus diperluas dengan industri pengolahan. Hal ini akan menjadi rel khusus bagi kebangkitan pertanian Bali sebagai lokomotif ekonomi,’’ ujarnya.
Untuk mendukung terwujudnya hal ini, katanya, regulasi harus jelas. Keberpihakan terhadap pertanian dan industri manufakturnya harus difasilitasi. Jika kita mau berbagai insentif untuk mendukung pertanian Bali, maka harapan Bali harmoni pada tatanan Bali Era Baru akan sangat terbuka.
Terlebih sasarannya mengembalikan Bali sebagai pusat peradaban dunia. Jika alam dan budaya tak terawat, maka untuk membangun jati diri Bali sebagai pusat peradaban akan makin jauh. ‘’Saya hanya berharap ada rencana aksi yang jelas untuk mengawal pertanian Bali dan industri manufakturnya sebagai lokomotif baru penyangga perekonomian,’’ sarannya.
Sudarma berharap kebangkitan sektor pertanian ini juga menjadi bagian dari kepedulian pelaku pariwisata. Pelaku pariwisata hendaknya ikut berdaulat untuk menjaga alam Bali dengan memberikan kontribusi yang jelas pada pelaku pertanian yang selama ini merawat alam Bali. ‘’Selama ini objek yang dikomersialkan untuk mendukung pariwisata Bali adalah alam Bali. Kinilah saatnya pelaku pariwisata Bali merenung dan mendesain sinergi untuk ikut berkontribusi merawat Bali,’’ sarannya.
Pengamat Lingkungan Hidup Unud ini mengatakan, masih ada waktu bagi semua elemen di Bali bergerak membangun ketahanan ekonomi. Jangan lalai menjaga pertanian. ‘’Kita selama ini terlalu asyik dengan kenikmatan, lupa memikirkan penyangga. Ketika lokomotif utama semua tersandera, maka berdampak serius bagi anggaran pemerintahan dan kebertahanan ekonomi,’’ ujarnya.
Sudarma berharap masa-masa sulit ini dikelola sebagai masa perenungan dan mulat sarira. Sinergi harus segera dibangun dan lakukan evaluasi secara total terhadap pengelolaan ketahanan ekonomi Bali. Optimisme memang harus tetap dibangun, namun optimisme tanpa solusi hanya akan membuat Bali jatuh lebih dalam pada jurang resesi ekonomi. (kmb/balipost)
munyi munyi dogen,jangan mimpi jadikan pertanian maju di bali…kita di bali tidak punya tanah bagaimana cara bertani tanpa tanah????????? coba praktekan sama anak cucunya yang ngomong itu,apakah mau dan mampu???? kalau saya punya tanah pastilah bertani tanpa disuruh suruh bertani,jani faktanya tanah tidakk punya….,kalau dirata ratakan orang bali mungkin saja punya tanah 20 -30 are per orang,apakah dengan jumlah itu cukup mampu memenuhi hidup????????