GIANYAR, BALIPOST.com – Desa Taro, Kecamatan Tegallalang kini memiliki tambahan objek wisata baru berupa konservasi atau penangkaran kunang-kunang. Kawasan konservasi serangga bercahaya saat malam hari itu pun, sudah ditata sedemikian rupa, dengan mempertahankan panorama alam yang masih asli. Objek ini pun berlokasi cukup dekat dengan Pura Gunung Raung, Gajah Taro dan objek lainya di seputaran Desa Taro.
Wayan Wardika menuturkan objek dilahan seluas 3,5 hektar ini merupakan hasil kolaborasi antara dirinya selaku konseptor dengan pemilik lahan yakni I Komang Petak. Objek wisata dengan sebutan The Fire Flies Garden ini terletak di Banjar Taro Kaja ini cukup mudah dicari, dengan lokasi tidak jauh dari Pura Gunung Raung. “Ini adalah sebuah konservasi alam dan lingkungan. Ingin menciptakan keseimbangan semesta, ekosistem terjaga dan semua makhluk hidup bisa berdampingan. Salah satunya kunang-kunang,” jelasnya.
Melalui upaya penangkaran kunang-kunang, Wardika sendiri ingin memperdalam penelitiannya kembali. Bahkan penangkaran ini dibantu Fakultas MIPA, Universitas Udayana, untuk mendampingi sisi ilmiah dan biologis Kunang-kunang tersebut.
Hanya saja, melihat kelipan cahaya kunang-kunang hanya bisa dinikmati pada malam hari. Sehingga untuk mengisi waktu kunjungan, area konservasi disulap menjadi taman dengan beberapa spot selfie. Selain itu, di area ini terdapat restoran yang menyajikan menu lokal. “Pemandangan alam disini bisa dinikmati 360 derajat, karena sekeliling masih sangat asri. Pengunjung bisa jalan di pematang sawah, ada lembah, bisa juga berkebun. Dan sedang kami rancang atraksi matekap membajak sawah yang bisa dicoba,” ujarnya.
Wardika mengaku memang sengaja merancang konsep objek wisata kekinian dengan tetap menjaga keseimbangan ekosistem alam. Menjaga keseimbangan alam tersebut, area persawahan yang ada di sekitar tempat penangkaran dikelola dengan konsep pertanian organik.
Tidak hanya itu, pihaknya juga menggunakan pupuk organik yang berasal dari hasil pengolahan sampah organik diperkaya dengan biomasa hewan. Terutama kotoran Lembu Putih. Hewan yang disakralkan oleh masyarakat setempat. “Sejak dulu memang tata kelolanya tanpa menggunakan pestisida dan bahan sintetis lain, itu dipertahankan sehingga kami bisa menciptakan pertanian organik. Semua habitat di sawah ini terjaga,” jelasnya.
Sementara Komang Petak, tempat penangkaran kunang-kunang sudah dirancang sejak beberapa bulan lalu. Hingga dibuatkan tempat penangkaran khusus berukuran 6 kali 10 meter dengan tinggi 6 meter. Dikatakan kunang kunang di tempat penangkaran itu juga sudah bereproduksi. ” Sudah bereproduksi, sehingga jumlahnya sudah terus bertambah dari saat pertama kali kami kumpulkan di tempat penangkaran, ” katanya.
Petak mengatakan sebelum dibuatkan penangkaran memang di areal tersebut sudah banyak ditemukan kunang-kunang. Dikatakan hal ini menjadi pertanda areal tersebut masih alami. ” Sebelumnya disekitar sini memang banyak kunang-kunang, jadi bisa kami temukan dengan mudah, ” katanya. (Manik Astajaya/Balipost)