Agung Kresna. (BP/Istimewa)

Oleh Agung Kresna

Hingga akhir 2020 Indonesia tidak menerima turis asing. Headline Bali Post (14/8) ini semakin menegaskan bahwa hingga kini memang belum ada tanda-tanda pemerintah pusat akan mencabut ataupun merevisi Permenkumham Nomor 11 Tahun 2020 tentang Pelarangan Sementara Orang Asing Masuk Wilayah Republik Indonesia. Seperti juga diungkapkan oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan bahwa pemerintah pusat menetapkan larangan bagi turis asing untuk berwisata ke Indonesia hingga akhir 2020.

Kondisi ini tentu berseberangan dengan rencana Pemerintah Daerah Bali yang akan melakukan pembukaan tahap ketiga sektor pariwisata bagi wisatawan mancanegara mulai 11 September 2020. Pembukaan tahap ketiga ini dimaksudkan sebagai upaya Bali secara berkelanjutan dan berkesinambungan dalam menciptakan kerangka hidup baru yang produktif dengan tatanan kehidupan Bali Era Baru.

Portal satu pintu pariwisata budaya Bali juga telah disiapkan Pemerintah Daerah Bali dalam menyiasati situasi pascapandemi Covid-19 yang telah membuat peta industri pariwisata dunia berubah. Portal satu pintu ini sekaligus juga sebagai antisipasi virtual tourism yang sudah banyak berkembang di era industri 4.0 ini, guna mengurangi potensi economic loss krama Bali.

Bali tidak bisa menghindar dari dampak pandemi Covid-19, utamanya dampak ekonomi yang telah menerpa segenap masyarakat Bali beserta segala sendi kehidupannya. Apalagi Bali selama ini sangat bergantung pada pariwisata, sementara pariwisata merupakan sektor ekonomi yang paling terdampak oleh pandemi Covid-19. Pariwisata Bali dapat dikatakan sedang limbung, untuk tidak mengatakannya sebagai kolaps atau bahkan mati suri akibat pandemi.

Data statistik menunjukkan bahwa Bali sudah bisa disebut mengalami resesi ekonomi, mengingat laju pertumbuhan ekonomi Bali berada pada angka minus/negatif dalam dua kuartal berturut-turut. Laju pertumbuhan ekonomi Bali dalam kuartal I 2020 berada pada angka minus 1,14% (yoy/year on year), dan minus 10,96 % (yoy) pada kuartal II 2020. Sedangkan secara quartal to quartal (q t q), berada di angka minus 7,67% (kuartal I 2020) dan minus 7,22 (kuartal II 2020).

Baca juga:  Hak Waris Wanita Menurut Adat Bali

Sementara laju pertumbuhan ekonomi nasional secara y o y adalah positif 2,97% (I/2020) dan minus 5,32% (II/2020). Sedangkan secara q t q minus 2,41% (I/2020) dan minus 4,19% (II/2020). Kondisi ini menunjukkan bahwa ekonomi Bali sudah berada di angka merah dan harus ada upaya luar biasa (extra ordinary) agar ekonomi Bali kembali normal, lepas dari jurang resesi.

Harus ada paradigma baru dalam perekonomian Bali. Kita tidak boleh lagi terjebak pada pola pikir lama yang telah meninabobokan berbagai pelaku ekonomi di Bali. Harus berani melakukan lompatan besar sektor ekonomi dari yang selama ini sudah dijalani. Pola ekonomi lama harus kita ubah menjadi kerangka ekonomi Bali yang baru, pola ekonomi yang sepenuhnya mandiri. Semaksimal mungkin lepas dari ketergantungan dengan pihak di luar Bali.

Tinggalkan Zona Nyaman

Perekonomian Bali sendiri sebenarnya telah dua kali lolos dari lubang jarum keterpurukan ekonomi yang berkepanjangan. Tentu masih terekam dalam benak krama Bali, bagaimana peristiwa Bom Bali dan erupsi Gunung Agung yang telah melumpuhkan perekonomian Bali. Hanya setelah keterpurukan ekonomi itu bisa dilewati, kita kembali terlena ke dalam zona nyaman ekonomi Bali di bidang industri pariwisata.

Jika kita ingin tidak berada kembali dalam keterpurukan ekonomi, maka kita harus berani tinggalkan zona nyaman yang selama ini sudah dinikmati segenap krama Bali. Situasi pandemi Covid-19 ini harus kita hadapi dengan menjalani tatanan kehidupan Bali Era Baru, dalam paradigma ekonomi Bali yang baru; tidak sepenuhnya bergantung pada industri pariwisata.

Baca juga:  Mewujudkan Bali Bersih Era Baru, Bali Post Gelar Bali Bersih Touring and Fun

Tanpa kita sadari, selama ini sebenarnya ekonomi Bali sangat bergantung pada para pendatang dari luar Bali. Para pendatang yang hadir sebagai wisatawan di Pulau Bali, selama ini telah menjadikan ekonomi Bali bergerak menggeliat hingga ke pelosok Pulau Bali. Semakin nyata terlihat bahwa ekonomi Bali pada saat ini kurang memiliki kemandirian.

Meski memiliki rantai ekonomi secara backward chain (rantai keterkaitan ke belakang) dan forward chain (rantai keterkaitan ke depan) yang cukup panjang, namun industri pariwisata merupakan sektor ekonomi tersier. Sektor ini sangat rentan terhadap perubahan yang terjadi akibat faktor security (keamanan) dan safety (keselamatan).

Sementara rantai pasok pangan untuk kebutuhan hotel dan restoran dalam industri pariwisata, justru memiliki ketergantungan besar pada pasokan dari luar Bali. Padahal produk pangan berasal dari sektor ekonomi primer pertanian yang lebih stabil, krama Bali belum sepenuhnya dapat memenuhi kebutuhan yang memiliki potensi ekonomi cukup besar ini.

Kita juga dapat belajar dari ketergantungan krama Bali pada saat hari raya Galungan dan Kuningan. Pasokan janur dari Jawa pada masa itu bisa mencapai 100 ton/hari, sementara aneka buah bisa mencapai 1.100 ton per pekan. Suatu potensi ekonomi sangat besar yang sebenarnya dapat diraup krama Bali, dalam upaya memenuhi kebutuhan rutin kehidupan mereka sendiri.

Budaya bertani para leluhur krama Bali sendiri sebenarnya telah melahirkan tatanan fisik eksotik lahan sawah berundak yang mendunia, beserta tatanan manajemen air subak yang diakui sebagai warisan budaya dunia. Melalui budaya bertani juga, para leluhur krama Bali dapat mewariskan ribuan pura megah secara mendiri. Terlahir juga tradisi kesenian, handicraft dan upakara dalam keseharian krama Bali dari budaya tradisi pertanian sebagai manifestasi jati diri kehidupan kebudayaan masyarakat Bali.

Baca juga:  Peduli Seniman Muda

Harus ada keberanian krama Bali untuk melakukan format ulang ekonomi Bali. Kerangka ekonomi Bali harus disandarkan pada sektor ekonomi primer. Sementara sektor ekonomi sekunder (melalui industri handicraft) dan tersier (pariwisata) menjadi pendukung sektor ekonomi primer Bali. Kerangka ekonomi ini dimaksudkan agar secara internal ekonomi Bali memiliki ketangguhan dari hantaman berbagai faktor eksternal.

Saatnya krama Bali mulat sarira atas apa yang selama ini dikerjakan dalam mengawal perekonomian Bali. Belum cukupkah teguran dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang telah dua kali diberikan pada krama Bali, sebagai bukti betapa sayang-Nya pada kita semua. Karena nyatanya setelah keterpurukan ekonomi itu berhasil kita lalui bersama, kita tetap saja kembali menjalani paradigma ekonomi yang lama.

Kini saatnya kita berani berubah, melompat ke dalam paradigma ekonomi yang baru. Berani meninggalkan zona nyaman yang selama ini kita nikmati, namun justru telah membuat kita lupa pada kemandirian ekonomi Bali. Tidak ada salahnya kita belajar dari pepatah lama yang awalnya dipopulerkan oleh penulis Yunani pada era sebelum Masehi, Homer dan Aesop: ‘’Keledai saja tidak jatuh di lubang yang sama sampai dua kali’’.

Penulis, Arsitek, Senior Researcher pada Centre of Culture & Urban Studies (CoCUS) Bali, tinggal di Denpasar

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *