Suasana Rapat Paripurna DPRD Bali, Rabu (5/8) yang membahas tentang Ranperda RZWP3K. (BP/dok)

DENPASAR, BALIPOST.com – Ranperda Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RZWP3K) salah satunya mengakomodir adanya tambang pasir seluas 900 hektare. Zonasi dan koordinatnya sementara ditentukan di wilayah perairan Jembrana dan Badung Selatan.

Tambang pasir ini disiapkan untuk keperluan reklamasi perluasan Bandara Ngurah Rai dan penanganan abrasi pantai di Bali. “Ada koordinatnya, luasnya kurang lebih 900 hektar. Itu sudah dengan kajian tidak merusak biota laut, terumbu karang dan lain sebagainya,” ujar Koordinator Pembahasan Ranperda RZWP3K DPRD Bali, I Nyoman Adnyana di gedung dewan, Kamis (27/8).

Menurut Adnyana, pesisir di zonasi dan koordinat untuk tambang itu memiliki dasar batu karang yang terisi pasir. Pada musim-musim tertentu, pasirnya hilang dan di musim tertentu penuh lagi.

Jadi, berbeda dengan pesisir di Pulau Seribu, Jakarta yang hanya terisi pasir sehingga saat disedot, di sekitarnya langsung amblas atau tenggelam. Tambang pasir itupun tidak berada di pinggiran, namun di perairan yang agak dalam.

Baca juga:  Kadisnaker dan ESDM Bali Meninggal Usai Main Tenis

“Kita atur untuk reklamasi bandara yang merupakan kawasan strategis nasional. Kemudian untuk perbaikan karena kerusakan atau abrasi,” jelas Politisi PDIP ini.

Sedangkan untuk kepentingan selain perluasan bandara dan penanganan abrasi, lanjut Adnyana, harus seijin Gubernur Bali. Dikatakan, reklamasi untuk perluasan bandara tidak mungkin mengambil pasir di daerah lain seperti Lombok.

Sebab, daerah tersebut pasti tidak mengijinkan. Oleh karena itu, tambang pasir disiapkan pada Ranperda RZWP3K untuk kebutuhan Bali. Dengan catatan, harus memberikan kontribusi dan manfaat kepada pemerintah dan masyarakat Pulau Dewata. “Supaya ada imbas positif dari pemanfaatan pesisir dari 0-12 mil,” imbuhnya.

Baca juga:  Kusta Masih Jadi Stigma, Penderita Malu Didata

Adnyana menambahkan, ada sanksi yang juga diatur kalau sampai ada pelanggaran terhadap zonasi dan koordinat tambang pasir. Sanksi bahkan cukup berat, karena tidak hanya sebatas sanksi di Ranperda yakni denda Rp 50 juta dan kurungan 6 bulan.

Tapi juga sanksi dari Undang-undang Lingkungan Hidup dengan nominal denda bisa mencapai miliaran rupiah. “Zona, koordinat dan luasnya sudah ditentukan. Tidak boleh ngawur, ngambil pasir semaunya walaupun boleh. Kita juga tidak saklek tidak boleh, nanti kalau ada kepentingan Bali bagaimana. Maka kita atur,” paparnya.

Adnyana menegaskan, tambang pasir boleh dilakukan asal pada zona dan koordinat yang ditentukan berdasarkan kajian. Kemudian aman atau tidak menimbulkan kerusakan lingkungan, dengan konsekuensi mengembalikan dan memelihara lingkungan.

Salah satunya, dengan membayar retribusi kepada pemerintah daerah. Oleh karena itu, terlebih dulu harus ada ijin dan kajian amdal. “Untuk kepentingan rakyat juga harus tetap berjalan. Misalnya untuk melasti, atau nelayan/bendega. Malah bendega itu kita buatkan tempat mangkal. Mereka tidak boleh diusir atau tempatnya diklaim milik hotel karena itu public area,” tegasnya.

Baca juga:  Kemenparekraf Resmi Luncurkan Program 'We Love Bali'

Menurut Adnyana, Ranperda RZWP3K pada intinya memberikan kepastian dan penegasan bahwa Pemprov Bali mengatur wilayah pesisir secara terbuka dengan pola partisipatif. Hanya di Bali saja, regulasi ini khusus memperhatikan kawasan suci di pesisir. Termasuk kearifan lokal bendega yang ada di pesisir. “Sepanjang untuk kegiatan keagamaan atau bendega, tetap berjalan, tidak bayar. Kemudian ada tempat-tempat tertentu yang bisa digunakan tapi dengan izin, mereka harus bayar ke Provinsi,” tandasnya. (Rindra Devita/balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *