IGK Manila. (BP/Eka)

Oleh IGK Manila

Jika vaksin dan obat Covid-19 sudah berhasil diuji-coba dan diproduksi massal, apakah kunjungan wisatawan mancanegara (wisman) akan seperti sebelumnya ke Bali, terutama karena ekonomi dunia yang mengalami resesi? Berapa persentase berkurang dan berapa lama akan pulih?

Jika tidak, mungkinkah pariwisata Bali tetap bisa berkontribusi signifikan bagi perekonomian Bali tanpa atau dengan tingkat kunjungan (wisman) yang tak seperti sebelumnya?

Pertanyaan ini tentu tak mudah dijawab. Pertama-tama, penyelenggara pemerintahan daerah harus memetakan terlebih dahulu kurva normal ekonomi Bali dengan atau tanpa kunjungan wisman. Kedua, secara hati-hati tentu harus dihitung tingkat kunjungan wisatawan nusantara (wisnus) yang diperlukan supaya bisa mencapai taraf normal perekonomian Bali. Dan ketiga, aspek kenormalan baru harus diperhitungkan, seperti terkait daya tampung unit-unit objek wisata yang tak bisa diasumsikan sama dengan sebelumnya.

Dengan melihat situasi saat ini, pilihan paling aman, termasuk dalam membangun asumsi pengelolaan perekonomian, pemerintah daerah lebih baik membuat pilihan moderat. Dan pilihan itu terkait dengan pariwisata adalah dengan memaksimalkan wisnus. Preseden kuatnya adalah pembatalan rencana membuka kunjungan wisman pada September 2020 dan bahwa batas waktunya tak ditentukan.

Alasan di balik pembatalan tersebut tentu saja soal unpredictability, bahwa masih banyak ketidakpastian yang membuat wisman, pemerintah negara asal, pemerintah Indonesia dan pemerintah daerah tak punya dasar yang kuat untuk mengambil keputusan pembukaan. Selain karena faktor keselamatan, harus diterima kenyataan bahwa hampir semua negara saat ini berhitung soal ekonomi atau pemanfaatan devisa demi kepentingan negara sendiri.

Peraturan Menkumham (Permenkumham) Nomor 11 Tahun 2020 tentang Pelarangan Sementara Orang Asing Masuk Wilayah Negara Republik Indonesia juga, oleh karena itu, punya dasar yang kuat. Secara nasional, Indonesia masih termasuk zona merah dan belum kondusif.

Baca juga:  Literasi Olahraga Kesehatan

Sementara itu, belum ada satu negara pun di dunia yang telah memberlakukan kebijakan mengizinkan warganya melakukan kunjungan wisata ke luar negeri. Secara internal, pemerintah Provinsi Bali juga perlu melakukan persiapan matang. Sistem, infrastruktur dan tata-cara penyelenggaraan pariwisata yang aman harus betul-betul dipersiapkan. Untuk hal ini, ukurannya sangat sederhana: Bali berhasil terus-menerus berzona hijau.

Oleh karena itu, pilihan penyelenggara pemerintahan Bali untuk fokus pada wisnus di sepanjang 2020 — yang masih tersisa empat bulan — harus diteruskan. Dengan segala daya dan upaya, promosi, pemanfaatan jasa influencer, serta fasilitasi kegiatan-kegiatan kepemerintahan supaya dilaksanakan di Bali adalah langkah-langkah yang sangat baik.

Terkait wisnus, sejak dibuka kembali per tanggal 31 Juli, harapan sebenarnya sudah terasa kembali. Sejauh ini rata-rata sudah terdapat 35 penerbangan per hari menuju Bali. Dengan memperhatikan tren kenaikan, per 1 Agustus jumlah wisnus mencapai 1.840 orang, naik menjadi 2.419 orang pada 2 Agustus dan turun menjadi 2.085 orang pada 3 Agustus. Pada hari-hari berikutnya, kedatangan bergerak antara 3.000-5.000 orang per hari. Secara akumulatif, dalam periode 31 Juli–15 Agustus jumlah wisnus mencapai 38.986 jiwa.

Di sisi pengusaha pariwisata — seperti pengelola hotel, restoran, dan objek tempat wisata — ini adalah saat di mana hal yang paling utama adalah memanaskan mesin usaha dan bagaimana roda ekonomi berputar dulu. Keinginan untuk memperoleh keuntungan besar dengan cepat harus dikalahkan sementara waktu. Selain dengan diskon dan promosi, pelayanan terbaik adalah insentif yang kuat menuju normalisasi baru.

Baca juga:  Parpol, Korupsi, dan Peradaban

Kebijakan lain yang patut diapresiasi dan harus diteruskan oleh pemerintah daerah adalah fasilitasi pariwisata yang lebih ‘’aman’’, yakni pariwisata yang memungkinkan protokol kesehatan seperti social distancing dijalankan. Dari segi objek, pariwisata berorientasi alam dan luas secara fisik — seperti pantai, danau, air terjun, persawahan, cagar alam —termasuk pilihan ‘’aman’’. Sementara untuk pariwisata budaya dan lainnya, yang mudah menimbulkan kerumunan, harus dikelola secara hati-hati, namun tak mengurangi kenyamanan wisatawan.

Seiring dengan itu, promosi variasi objek dan dispersi kunjungan wisatawan termasuk alternatif yang bisa dilakukan. Artinya, wisatawan diberi berbagai alternatif — atau katakanlah diedukasi — tentang destinasi-destinasi yang kurang populer namun tak kalah menarik, indah atau menantang. Selain untuk menghindari penumpukan kunjungan, variasi dan dispersi pada dasarnya memperkaya pengetahuan publik atau wisatawan tentang pariwisata Bali.

Secara sosio-politik, supaya denyut pariwisata terus berlanjut, adalah tanggung jawab penyelenggara dan aparat pemerintahan, tokoh masyarakat dan pelaku pariwisata sendiri untuk memastikan Bali tetap menjadi Zona Hijau. Namun, supaya efektif, menjadikan dan mempertahankan Bali sebagai wilayah berzona hijau tak cukup dengan hanya ‘’meminta’’ masyarakat dan wisnus untuk disiplin dan patuh pada protokol kesehatan.

Selain konsistensi terkait berbagai peraturan daerah, edukasi publik adalah pendekatan yang sudah semestinya dijalankan. Akan tetapi cara-cara tradisional seperti penyuluhan, sosialisasi atau imbauan tidak akan efektif. Sebab, cara-cara ini bersifat satu arah dan cenderung berupa formalitas.

Publik tidak akan sampai pada pengetahuan dan kesadaran yang kuat tentang pentingnya protokol kesehatan. Sebaliknya, edukasi publik harus menggunakan pendekatan kultural, struktural dan ekonomi. Lembaga-lembaga adat, struktur-struktur pemerintahan sampai ke tingkat terendah dan lembaga serta pranata ekonomi harus dilibatkan. Singkat kata, dengan segenap instrumen yang tersedia, setiap warga Bali maupun wisnus harus sampai pada taraf perilaku aman dan sehat.

Baca juga:  Serangan Ideologi di Tahap Mengkhawatirkan

Demikian pula, edukasi publik tak hanya harus dilakukan di wilayah-wilayah yang terkait langsung dengan aktivitas pariwisata. Sebab, interaksi sosial — sebagai salah satu jalan utama melalui mana Covid-19 menyebar — adalah hal yang bisa terjadi di mana, kapan dan antar siapa saja. Edukasi publik terkait protokol kesehatan supaya Bali tetap berzona hijau harus terjadi di seluruh wilayah Bali.

Sebagai penutup, industri kreatif dan berbasis Usaha Mikro, Kecil dan Menangah (UMKM) adalah harapan berikutnya dalam pengembangan pariwisata Bali dan oleh karena itu perekonomian Bali ‘’Small is beautiful’’, tulis E.F. Schumacher pada 1973. ‘’Kecil itu Indah’’ dan ekonomi berskala kecil yang melibatkan orang sebanyak-banyaknya dan dengan hasil produksi yang bisa diserap oleh sektor pariwisata adalah harapan.

Wisnus yang datang ke Bali harus dikondisikan supaya tidak hanya menikmati keindahan alam, budaya atau wahana-wahana pariwisata dalam pengertian lazim. Mulai sejak memasuki Bali, wisatawan harus diupayakan untuk memakai, mengonsumsi dan menggunakan produk-produk UMKM Bali. Demikian pula, ketika pulang, mereka harus dikondisikan supaya membawa sebanyak-banyaknya hasil karya warga Bali.

Pemetaan, pendampingan dan intervensi seperti dengan pemberian berbagai bentuk insentif dengan sendirinya harus dilakukan. Di samping itu, pemerintah daerah sendiri harus membangun dan mengembangkan sistem purchasing serta distribusi dari produk-produk UMKM. Sebab, salah satu momok utama UMKM adalah soal pemasaran dan dengan sendirinya stabilitas harga dan kelanjutan usaha.

Penulis, Gubernur Akademi Bela Negara (ABN) Partai NasDem

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *