DENPASAR, BALIPOST.com – Tahapan pendaftaran kandidat di Komisi Pemilihan Umum (KPU) mulai bergulir Jumat (4/9). Ini juga menandakan regenerasi kepemimpinan di Bali berproses.
Terlepas dari proses politik ini, penduduk Bali berharap penguasa hasil Pilkada 9 Desember 2020 jangan sampai menjadi penguasa pragmatis. Penguasa harus mampu mendedikasikan kekuasaan politiknya untuk mengawal Bali, peradaban dan bergerak menuju keharmonisan hidup penduduk.
Pandangan itu dilontarkan Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Strategis Dharma (LKSD) Dr. I Wayan Jondra. Dikatakannya, proses politik hendaknya tetap menjadi momentum menjaga dan mengawal peradaban Bali.
Momentum ini jangan sampai menjadi hak otonom para politisi dan para elite politiknya. “Krama Bali harus melakukan daya tawar politik yang jelas kepada para kandidat. Kini bukan eranya lagi memilih kandidat pragmatis yang hanya ingin kekuasaan politis namun abai mengatasi peremasalahan Bali. Kandidat harus jelas komitmenya dalam mengawal Bali,” tegasnya.
Dikatakannya, kandidat harus memiliki program unggulan yang bisa memastikan ada keberpihakan jelas kepada alam Bali. Dalam konteks sederhannya, keberpihakan tak hanya sebatas wacana tetapi riil dalam pengalokasian anggaran untuk mengawal peradaban, budaya dan pertanian Bali. “Jika hal ini tak jelas dalam program kandidat, publik pantas meragukan komitmen para calon dalam menjaga perdaban Bali. Krama Bali jangan lagi terpengaruh kepentingan pragmatis kandidat. Tolok ukur keterpilihan kandidat harus jelas, sehingga publik memiliki daya tawar,” sarannya.
Jondra yang juga akademisi dan mantan anggota KPU Bali ini berharap proses politik tahun 2020 ini benar-benar menjadi era baru bagi kebangkitan Bali. Regenerasi kepemimpinan mudah-mudahan memberikan keberpihakan yang utuh dan totalitas menjaga pertanian Bali. “Selama ini pertanian hanya menjadi komoditi politik. Satanya penduduk bali membangun daya tawar politis kepada para kandidat,’’ ujarnya.
Jika pada masa kampanyenya kandidat berani menyebut persentase anggaran dalam pengawalan pertanian dan budaya Bali, publik juga patut mengapresiasinya. “Kita harus berani keluar dari pola-pola pemilihan pemimpin yang pragmatis. Jika pemilih tak berani melakukan hal itu, maka lima tahun ke depan Bali tetap akan tersandera pemimpin yang pragmatis. Pemimpin semacam itu hanya akan menjadi beban bagi Bali apalagi hanya berpikir untuk kepentingan kekuasaan dan komunitasnya,” jelasnya.
Ia mengatakan, figur-figur pragamatis dalam perebutaan kekuasaan politik mudah dikenali. Sering kali ambisinya melebihi realitas yang ada dan mengabaikan hal-hal mendasar dalam menjaga Bali. “Mungkin fanatisme terhadap kearifan lokal bagi Bali saat ini penting disuarakan publik. Kini saatnya Bali bangkit dan benar-benar bisa menentukan pemimpinnya sesuai nurani, sehingga tidak tersandera bantuan sosial,” ujarnya. (kmb/balipost)