Adi Nugroho. (BP/dok)

Oleh Ir. Adi Nugroho, M.M.

Masih terkait COVID-19. Sudah bosan sebetulnya kita mendengar pembicaraan tentang itu. Bahkan geram. Sama sekali tidak ada yang menghibur dari pemberitaan itu. Ancaman yang terus diberitakan semakin terasa tidak menakutkan, sementara harapan yang digulirkan juga semakin terdengar hanya sebagai lamunan kosong untuk menghibur diri sendiri.

Enam bulan (jika dihitung sejak Maret 2020) sudah kita diombang-ambing oleh situasi yang tidak kunjung bisa dimengerti ini; sebetulnya sebesar apa ancamannya, dalam bentuk apa dan siapa yang terancam.

Demikian pula; kapan (ancaman-ancaman yang tidak jelas) ini akan berakhir dan bagaimana akhirnya nanti ketika pandemi ini sudah tidak ada lagi. Hiruk-pikuk pembicaraan di koran, di televisi, di media-media sosial dan di berbagai tempat tongkrongan ketika orang antara sengaja dan tidak sengaja ngobrol, pun tidak kunjung mendatangkan pemahaman yang bisa diterima bersama.

Saling menyalahkan bahkan turut memperkeruh kesemrawutan yang melelahkan ini. Jadi, sesungguhnya ke mana kejengkelan kita harus kita alamatkan. Apakah kepada butiran protein mikro kecil (karena kabarnya tidak bisa disebut sebagai makhluk hidup) virus SARS-Cov-2 yang merebak menjadi pandemi Covid-19, atau kepada cara kita dalam menghadapi pandemi itu?

Yang jelas, pandemi Covid-19 ini kemudian dirasakan sebagai sebentuk bencana bagi dunia. Di Bali, bencana itu lebih nyata jika kita tengok angka pertumbuhan ekonominya. Setelah drop pada triwulan I 2020 dengan pertumbuhan negatif (belakangan lebih sering disebut sebagai ‘’kontraksi’’) -1,14%, lebih buruk lagi yang didapati pada triwulan II yaitu kembali terkontraksi, bahkan dengan besaran -10,98% atau 11% jika dibulatkan. Barangkali tidak semua orang bisa langsung merasakan derita yang dicerminkan oleh terpuruknya angka pertumbuhan tersebut.

Apalagi pegawai pemerintah yang sekalipun sedang tidak boleh bekerja di kantor, gaji dan tunjangan yang diterima tetap genap. Tetapi coba tanyakan kepada mereka yang mata pencahariannya berada pada lingkup usaha perhotelan, tidak sedikit di antara mereka yang merasakan bahwa penyusutan perekonomian yang dialaminya hingga mencapai -100% atau tidak jauh dari itu.

Baca juga:  Kecenderungan Pragmatisme Politik Indonesia Kontemporer

Itu pula yang kemudian cukup banyak diperbincangkan bahwa pariwisata adalah yang paling terpukul oleh merebaknya pandemi. Usaha perhotelan adalah usaha yang berada pada lingkup pariwisata, bersama dengan angkutan, industri kerajinan dan perdagangan. Bali sebagai wilayah yang lebih dari separuh (50,84% angka tahun 2015) perekonomiannya berasal dari aktivitas pariwisata, tentu saja yang paling harus menanggung derita, dengan menyusutnya perekonomian -10,98% ketika hampir semua provinsi lain masih bisa tumbuh positif sekalipun melambat.

Mengapa lebih separuh perekonomian Bali berasal dari pariwisata dan apa salahnya? Itu juga sudah cukup banyak diperbincangkan, yaitu karena Bali mendapat keberkahan diminati oleh wisatawan, bahkan dari seluruh pelosok dunia. Tidak salah pula bahwa kemudian keberkahan itu menghidupi dan menjadi gantungan hidup masyarakat Bali.

Yang sering mengemuka dalam memperbincangkan konteks ini di Bali adalah agaknya kita di Bali terlena oleh keberkahan pariwisata tersebut. Kita terlena bahwa keberkahan yang tercurah di Bali, bukan hanya pariwisata satu-satunya. Sebagai bagian dari wilayah agraris, Bali juga sesungguhnya diberkahi pula dengan pertanian. Ini yang agaknya terabaikan dalam keterlenaan.

Akibatnya, Bali seperti meninggalkan pertanian ketika terlena oleh godaan pariwisata. Gambaran itu cukup jelas terlihat dari sumbangan sektor pertanian pada perekonomian Bali yang terus menurun. Dari 21,95% pada 2002 menyusut terus hampir secara konsisten setiap tahun hingga menyisakan 13,53% pada 2019.

Di saat sektor jasa yang didominasi pariwisata terus meningkat dari 62,61% pada 2002 hingga menjadi 69,54% pada 2019. Juga tidak terasa ada yang salah, ketika semua berjalan normal. Tetapi ketika dihadapkan pada bencana seperti pandemi Covid-19 ini, baru terasa ada yang menyesakkan. Di tengah keterpurukan perekonomian hingga triwulan II 2020, ternyata sumbangan sektor pertanian tercatat meningkat menjadi 14,62% padahal sektor jasa yang didominasi pariwisata melambat menjadi 68,39%.

Baca juga:  Ekonomi Berbasis Komunitas

Gambaran ini mengisyaratkan bahwa ketika menghadapi kesulitan, ternyata sektor pertanian tidak goyah dan bahkan bisa dipandang sebagai sebentuk benteng pertahanan dari keterpurukan yang lebih dalam. Dari situlah rasa sesak itu bermula. Coba saja jika selama ini kita cukup bijaksana memperlakukan sektor pertanian sejalan dengan kita memperlakukan pariwisata, barangkali perekonomian Bali bisa bertahan lebih baik dari ini.

Pertanian bukanlah satu-satunya wakil dari sisi produksi pada sistem perekonomian. Masih ada pertambangan dan industri manufaktur. Karenanya untuk menjadi bijaksana, kita perlu terus memberi perhatian yang berimbang atas ketiganya dalam sistem perekonomian wilayah kita.

Tetapi karena tidak/belum memiliki potensi pertambangan, tidak salah kiranya Bali cukup memperhatikan yang dua saja, yaitu pertanin dan industri manufaktur. Karena seperti halnya ditunjukkan oleh kinerja sektor pertanian, sektor industri manufaktur juga terbukti tidak goyah ketika perekonomian Bali dilanda keterpurukan.

Dari 16,93% sumbangannya pada 2019, meningkat menjadi 16,99% pada triwulan II 2020 ketika perekonomian Bali terjerembab -10,98%. Secara umum, sekalipun tidak sederas penurunan sumbangan sektor pertanian, fluktuasi sumbangan sektor industri manufaktur di Bali juga mengindikasikan kurangnya dioptimalkan. Kembali, seandainya saja kita bijaksana dalam memperlakukan sektor industri bersama-sama dengan sektor pertanian di tengah keberkahan pariwisata, mungkin sistem perekonomian Bali memiliki ketangguhan yang lebih baik.

Baca juga:  76 KK Korban Bencana Direlokasi ke Lahan Hutan

Berkah pariwisata memang melenakan. Betapa tidak, semua seperti instan pada pariwisata. Apa yang dikerjakan hari itu, hari itu pula bisa dinikmati hasilnya. Sangat berbeda dengan industri manufaktur dan pertanian, yang membutuhkan keuletan untuk menekuninya. Padahal terdapat pula keberkahan di dalam keduanya.

Adalah tidak bijaksana terlena hanya kepada satu keberkahan dengan mengabaikan keberkahan lainnya. Karenanya, nanti jika tekanan pandemi Covid-19 ini berlalu seperti yang kita inginkan, maka hendaknya kita di Bali bisa berlaku lebih bijaksana.

Mengelola sistem perekonomian sedemikian rupa, sehingga tidak terlalu bergantung hanya pada pariwisata, tetapi mengimbanginya dengan sektor yang lain, sekurangnya pertanian dan industri manufaktur. Untuk itu, berbagai program perlu disiapkan sejak sekarang. Sehingga nanti, ketika kita dapatkan kembali zaman tanpa pandemi, kita bisa lebih siap, tidak tergagap-gagap lagi, dengan program perekonomian yang bijaksana.

Kita masih belum tahu sampai kapan tekanan pandemi ini akan terus menyiksa kita. Mungkin memang tidak seorang pun tahu. Sebagai orang yang tidak tahu, tidak bijaksana pula jika kita mengabaikan semua dan menganggap tidak apa-apa hanya karena kita sudah tidak tahan menanggungnya lagi.

Adanya anjuran menjaga jarak, sering mencuci tangan dan mengenakan masker, kiranya datang dari mereka yang lebih tahu. Karenanya cara bijaksana dari kita yang tidak tahu, adalah mengikuti anjuran mereka yang tahu, untuk maksud melindungi diri kita dan melindungi sekeliling kita.

Jangan salahkan mereka yang ketakutan dan merasa terancam. Jangan pula terlalu disalahkan mereka yang sudah merasa tidak mampu menahan diri. Mari kita saling ketemu dan berinteraksi dengan saling menjaga. Seperti itulah barangkali yang disebut sebagai normal baru.

Penulis, Kepala BPS Provinsi Bali

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *