DENPASAR, BALIPOST.com – Bali telah mengalami deflasi tiga kali berturut – turut, sehingga harga komoditi menjadi rendah. Hal ini dikhawatirkan akan membawa dampak lonjakan inflasi ke depannya, karena produsen yaitu petani dikhawatirkan enggan berproduksi ke depannya.
Wakil Gubernur Bali Tjokorda Oka Artha Ardana Sukawati, dalam acara High Level Meeting (HLM) Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) Provinsi Bali, Kamis (10/9) mengatakan, indikator ekonomi Bali dengan terjadinya deflasi dua kali berturut – turut menandakan adanya penurunan demand akibat daya beli masyarakat.
Sementara konsumsi masyarakat merupakan penopang ekonomi Bali yang cukup besar yaitu lebih dari 50 persen. Maka dalam rangka menguatkan daya beli masyarakat, salah satu upaya yang dilakukan dengan memperpendek rantai produsen ke konsumen.
“Walaupun sekarang kita sadari peredaran uang mulai menipis, tapi memperpendek jalurnya kita harapkan kemampuan dari daya beli masyarakat masih bisa kita penuhi. Seperti melalui pasar gotong royong,” tandasnya
Ia berharap triwulan III dan IV ada perbaikan – perbaikan di bidang ekonomi. Namun kenyataan di lapangan berbeda. Angka positif Covid terus meningkat, sehingga perbaikan ekonomi belum bisa diprediksi. “Nanti kita ada rapat dengan rumah sakit – rumah sakit, semoga kita bisa kendalikan sehingga tidak harus menghentikan kegiatan – kegiatan yang selama ini sudah mulai menggeliat,” ungkapnya.
Kepala Kantor Perwakilan Bank Indonesia Bali Trisno Nugroho mengatakan, sangat berbahaya jika deflasi terjadi tiga kali berturut – turut. Perlu menjadi pertimbangan penting untuk memberi insentif buat petani ataupun pengusaha untuk berproduksi karena harga -harganya turun. “Jika sampai mereka berpikir engga usah menanam, kan itu berbahaya,” ujarnya.
Oleh karena itu dengan pasar gotong royong dan digitalisasi, penggunaan produk krama Bali, mengutamakan produk dari Bali, kerjasama antar kabupaten, antar provinsi menjadi upaya – upaya yang bisa dilakukan untuk menjaga harga komoditi di tingkat petani.
Jika kondisi ini disamakan dengan krisis menurutnya tidak karena UMKM masih bisa berjualan, masyarakan masih bisa membeli makanan, sehingga berbeda dengan krisis 1998.
“Sedangkan yang terjadi sekarang adalah harga produk pertanian murah karena demand berkurang. Sehingga potensi kekurangan supply nantinya menjadi ancaman inflasi melambung tinggi ke depannya karena adanya keengganan berproduksi dari petani,” bebernya.
Disamping itu, perlu adanya neraca pangan di masing masing kabupaten antara produk yang masuk ke Bali dan keluar dari Bali.
Inflasi Bali diharapkan stabil pada angka 3 plus minus 1. Tidak seperti saat ini, di bawah range tersebut atau naik sampai di atas range itu. “Kita jaga, permintaannya harus dibangun terus dengan cara pasar gotonga royong dimasifkan semua, digitalisasi, mau tidak mau digitalisasi, market place instagram website menjadi penting, suatu keharusan untuk dimanfaatkan, ” ujarnya. (Citta Maya/Balipost)