Mery Linda Kesuma. (BP/Istimewa)

Oleh Mery Linda Kesuma

Mengakhiri perkawinan anak merupakan salah satu Tujuan Pembangunan Berkelanjutan tepatnya Tujuan 5.3 yaitu ‘’Mengakhiri semua praktik yang membahayakan seperti perkawinan anak, perkawinan dini dan paksa, serta sunat perempuan’’. Sejalan dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan tersebut, mengakhiri perkawinan anak juga telah menjadi perhatian pemerintah Indonesia.

Di awal tahun ini, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kementerian PPPA) di bawah komando Menteri PPPA, I Gusti Ayu Bintang Puspayoga, meluncurkan program Gerakan Bersama Pencegahan Perkawinan Anak (Geber PPA).

UNICEF mencatat sekitar 21 persen perempuan di dunia menikah sebelum ulang tahunnya yang ke-18 dan sekitar 12 juta perempuan berusia di bawah 18 tahun menikah setiap tahunnya. Di Indonesia, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat angka perkawinan anak sebesar 10,82 persen di tahun 2019. Angka ini turun sebesar 0,39 poin dibandingkan angka perkawinan anak tahun 2018 yang tercatat sebesar 11,21 persen.

Melalui Geber PPA, Kementerian PPPA menargetkan angka perkawinan anak turun hingga 8,4 persen pada tahun 2024. Bagaimanakah dampak perkawinan anak, sehingga menjadi isu global? Perkawinan anak berdampak pada kesehatan, pendidikan, dan juga kesejahteraan anak.

Baca juga:  Pertanian Perkotaan Futuristik

Perempuan yang menikah sebelum berusia 18 tahun cenderung tidak melanjutkan sekolahnya dan lebih rentan terhadap kekerasan dalam rumah tangga. Anak-anak yang terlibat dalam perkawinan anak belum siap secara fisik, mental, dan ekonomi untuk menikah dan membangun keluarga. Selanjutnya, putusnya pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi seringkali berdampak pada rendahnya kemampuan ekonomi keluarga yang dibangun.

Perkawinan anak juga berdampak kepada komplikasi kehamilan dan kelahiran pada ibu berusia sangat muda dibandingan dengan ibu yang telah berusia 20 tahun ke atas. Anak-anak yang dilahirkan dari ibu yang berusia terlalu muda juga memiliki kemungkinan kematian lebih tinggi.

Di tahun 2017, World Bank dan International Center for Research on Women (ICRW) melakukan penelitian tentang dampak ekonomi dari perkawinan anak. Dalam laporan tersebut, mengakhiri perkawinan anak disebutkan akan menurunkan laju pertumbuhan penduduk.

Dampak ekonomi global dari turunnya laju pertumbuhan penduduk tersebut diestimasikan dapat mencapai hingga lebih dari USD 500 miliar dalam setahun. Di Uganda, diestimasikan bahwa dampak dari menurunnya laju pertumbuhan penduduk dapat mencapai hingga USD 2,4 miliar, sedangkan di Nepal estimasinya mencapai hampir USD 1 miliar.

Baca juga:  Angka Pernikahan Dini di Indonesia Tinggi, Siswa Diedukasi Tunda Dulu Demi Masa Depan

Dampak ekonomi lainnya yang didapat dengan mengakhiri perkawinan anak yaitu menurunnya angka kematian balita dan kasus stunting. Secara global, dampak ekonomi dari menurunnya angka kematian balita dan stunting diestimasikan dapat mencapai USD 90 miliar dalam setahun.

Selanjutnya, seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, mengakhiri perkawinan anak dapat memengaruhi lamanya perempuan untuk tetap berada di bangku sekolah dan meningkatkan daya saingnya dalam dunia kerja. Di Nigeria, dampak ekonomi dari meningkatnya tingkat pendidikan perempuan diestimasikan sebesar USD 7,6 miliar dalam setahun.

Melihat besarnya dampak ekonomi yang bisa diperoleh dengan mengakhiri perkawinan anak menimbulkan pertanyaan, apa yang dapat dilakukan untuk mengakhiri perkawinan anak? World Bank menyatakan bahwa cara paling efektif untuk mencegah perkawinan anak adalah dengan menjaga anak-anak perempuan tetap bersekolah. Sebuah studi menyatakan bahwa bertambahnya tingkat pendidikan menengah dari seorang anak perempuan selama setahun akan mengurangi peluang terjadinya perkawinan anak sebesar 5 poin persen.

Baca juga:  Mewujudkan “Smart City”

Di tahun 2019, BPS mencatat bahwa di Provinsi Bali sebesar 21,91 persen penduduk perempuan berusia 15 tahun ke atas tidak punya ijazah SD, sedangkan penduduk laki-laki sebesar 12,35 persen. Selanjutnya, sebesar 37,32 persen penduduk perempuan berusia 15 tahun ke atas memiliki ijazah SMA ke atas, sedangkan persentase penduduk laki-laki mencapai sebesar 50,28 persen.

Angka-angka tersebut mengindikasikan bahwa kita masih memiliki ruang untuk meningkatkan partisipasi perempuan dalam pendidikan hingga ke tingkat pendidikan menengah atas dan bahkan pendidikan tinggi sebagai salah satu cara untuk menekan praktik perkawinan anak. Selanjutnya, keberadaan payung hukum yang tegas melindungi anak-anak dari perkawinan anak serta edukasi orangtua dan masyarakat tentang hak-hak anak tentunya juga sangat berperan dalam mengakhiri praktik perkawinan anak.

Penulis, ASN di BPS Provinsi Bali

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *