AA Sri Wahyuni. (BP/dok)

DENPASAR, BALIPOST.com – Wabah COVID-19 tidak hanya membawa dampak ekonomi, tapi juga pada psikis seseorang. Berdasarkan data, terjadi peningkatan jumlah pasien yang berkonsultasi ke dokter spesialis kesehatan jiwa (psikiater).

“Indikasi kenaikan kasus gangguan psikis untuk pasien bukan rawat inap RS atau isolasi pemerintah, ada,” ungkap Dokter Spesialis Kesehatan Jiwa RSUP Sanglah, Dr. dr. AA. Sri Wahyuni, Sp.KJ., Jumat (11/9).

Ia mengatakan virus ini menyebabkan kambuhnya penyakit bagi pasien yang pencemas dan panik. Persentasenya sebesar 20 persen dengan gejala baru, bahkan muncul diagnosis baru yaitu obsesive compulsive disorders. “Mereka bolak balik berpikir dan bertindak tentang kebersihan seperti mencuci tangan, bahkan bolak balik 5 sampai 10 menit,” ungkapnya.

Baca juga:  Pelaku Curanmor Lintas Daerah Dibekuk, Puluhan Motor Diamankan

Penelitian tentang tingkat gangguan psikis seseorang di tengah wabah COVID-19 saat ini sedang berjalan. Namun dijelaskannya dari yang dikonsultasikan ke psikiater RSUP Sanglah, rata-rata mengalami gangguan penyesuaian kondisi. Dengan reaksi cemas, gangguan cemas menyeluruh, gangguan cemas, dan depresi.

Ia menyebut, pandemi ini membuat masyarakat senantiasa menjadi waspada. Rasa kewaspadaan ini memicu hormon kortisol yang diproduksi otak meningkat, lalu munculah gangguan cemas.

Menurutnya, jika kondisi ini berlangsung lama, akan menganggu keseimbangan serotonin dan dopamin sehingga mengalami gangguan depresi. “Jika seseorang terkonfirmasi COVID-19 tanpa gejala, akan muncul berbagai reaksi marah, itu normal. Karena orang tersebut merasa sudah menjalankan protokol kesehatan, namun muncul kekecewaan bahwa dirinya sampai terinfeksi. Hal inilah yang menimbulkan kemarahan dalam diri orang tersebut,” jelasnya.

Baca juga:  Pembuktian Korupsi Aci-aci dan Sesajen, Saksi Akui Adanya Pemotongan Bantuan

Namun, segala perubahan yang terjadi dalam diri dipengaruhi neurotransmitter di otak. Kondisi ini menimbulkan penurunan kondisi fisik, apalagi muncul sulit tidur. “Walaupun diisolasi di hotel yang fasilitasnya cukup mapan, namun orang tersebut tetap merasakan suasana berbeda,” ungkapnya.

Bahkan meskipun usai menjalani isolasi dan telah sembuh dari COVID-19, akan mengalami dampak psikis lanjutan. Beberapa pasien yang datang pasca-isolasi di hotel, menderita gejala trauma seperti sulit tidur, takut keluar rumah, takut dengar suara ambulance, dan takut dijemput petugas. “Penyembuhan COVID-19 tidak hanya penyembuhan fisik tapi juga jiwanya, sehingga perlu waktu untuk pemulihan,” imbuhnya.

Baca juga:  Tingkatkan Derajat Kesehatan Krama Bali, SIK-KBS Diatur dalam Perda Ini

Sementara bagi seseorang yang terkonfirmasi COVID-19 dengan gejala, apalagi dengan penyakit penyerta, ditambah dengan adanya reaksi marah yang lebih berat, akan semakin memperburuk kondisi orang tersebut.

Demi kesehatan jiwa di masa wabah, menurutnya hal yang perlu dilakukan adalah upaya pencegahan dengan protokol kesehatan, beraktivitas olahraga, berkebun, selalu berpikir positif, dan hidup seimbang. “Jangan pernah marah apalagi menyalahkan Tuhan. Siapapun mungkin terinfeksi, lalu bagaimana agar tetap menyeimbangkan tubuh, keluarga, lingkungan dan berdoa,” sarannya. (Citta Maya/balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *