Agung Kresna. (BP/Istimewa)

Oleh Agung Kresna

Peraturan Gubernur Bali Nomor 25 Tahun 2020 tentang Pelindungan Pura, Pratima dan Simbol Keagamaan merupakan bukti komitmen implementasi konsep “Nangun Sat Kerthi Loka Bali” dalam menata kawasan suci yang diusung dalam Bali Era Baru. Suatu upaya untuk tetap selalu menjaga kesucian Bali dalam menciptakan kesejahteraan krama Bali.

Mewujudkan kehidupan krama dan gumi Bali yang sejahtera dan bahagia; secara sekala-niskala, namun dengan tetap menjaga kesucian dan keharmonisan alam Bali. Pariwisata Bali yang bisa dikatakan terkapar akibat paparan pandemi COVID-19 memang membutuhkan vaksin.

Agar pariwisata Bali dapat tetap tegar dan berjalan beriringan dengan pandemi COVID-19 yang masih ada dalam kehidupan keseharian kita. Saatnya insan pariwisata Bali mulat sarira atas sepak terjang industri pariwisata Bali yang telah merambah kawasan suci gumi Bali dan mengusik keharmonisan alam Bali.

Serbuan mesin ekonomi modern melalui industri pariwisata secara berangsur memang telah mengubah wajah sebagian Bali. Nuansa sebagai kawasan budaya yang penuh wilayah suci/sakral dan muatan sejarah dengan berjuta tradisi, secara perlahan telah kehilangan vibrasi auranya.

Seperti dinyatakan oleh banyak ahli, bahwa kota-kota di Bali saat ini tak ada bedanya lagi dengan kota di daerah lain. Ciri khas yang dulu memberi nuansa warna kota Bali, saat ini telah mulai hilang –- untuk tidak menyatakan tidak berbekas lagi.

Hal tersebut utamanya terjadi di wilayah yang tingkat intensitas pembangunannya –- biasanya atas nama investasi industri pariwisata — demikian tinggi. Pada beberapa daerah sudah tidak dapat kita temukan lagi bau, pemandangan dan suara yang khas Bali.

Baca juga:  Pertaruhan Promosi Bali di IMF-WB

Sebagaimana kondisi pada dekade tahun 70-an sampai 80-an. Aroma wangi dupa beserta bunga dalam canangsari tidak lagi menyengat.

Tergantikan oleh aroma asap knalpot sepeda motor seiring deru mesinnya. Saat ini telajakan sudah sulit kita temui di sepanjang tepi jalan perkotaan Bali.

Keputusan pemerintah Australia untuk menutup kegiatan wisata pendakian kawasan Batu Uluru di Taman Nasional Uluru-Kata Tjuta, barangkali bisa menjadi sarana kita bercermin. Kawasan Batu Uluru merupakan kawasan sakral bagi kaum Aborigin yang merupakan suku asli Australia.

Tindakan penutupan ini merupakan upaya pemerintah Australia guna menghormati kepercayaan religi kaum Aborigin. Kebijakan ini dapat menjadi cermin krama Bali dalam merawat kawasan parhyangan dari ancaman mesin ekonomi industri pariwisata.

Kita juga bisa belajar dari peristiwa ketika Lembaga Adat Baduy Banten  mewacanakan dihapusnya wilayah adat Baduy dari peta objek wisata Indonesia. Wacana ini muncul akibat adanya kegelisahan para tetua adat terkait dampak akivitas wisata yang telah membuat mereka kesulitan dalam membendung terjadinya degradasi sosial, kultur, dan lingkungan di Baduy.

Adat budaya Baduy adalah tuntunan untuk saling menghargai dan menjaga satu sama lainnya; dengan Tuhan, manusia, dan alam semesta. Sebagaimana krama Bali yang berpegang pada filosofi Tri Hita Karana dalam kehidupan kesehariannya, sebagai konsep yang mengatur keseimbangan manusia, Ida Sang Hyang Widhi Wasa, dan lingkungan kehidupan manusia.

Merawat Marwah Bali

Bali yang dikenal dengan pulau seribu pura, memang memiliki banyak bangunan pura dan puri yang telah berusia ratusan tahun sebagai jejak adat-budaya nenek moyang krama Bali. Utamanya bangunan pura yang merupakan kawasan parhyangan, merupakan kawasan suci yang perlu selalu dijaga marwah keagungannya karena merupakan jatidiri krama Bali.

Baca juga:  Bulan Bung Karno

Pengakuan internasional akan potensi kota pusaka dengan keagungan kawasan parhyangan-nya di Bali terlihat dari beberapa kali diselenggarakannya konferensi maupun simposium heritage tingkat dunia di Bali. Pengakuan ini menunjukkan bahwa Bali memiliki keunikan heritage, khususnya dalam hal kota pusaka maupun kegiatan kota/desa yang memiliki keagungan kawasan parhyangan dengan kekentalan sejarah yang luar biasa.

Upaya pembukaan kawasan objek wisata Bali secara bertahap, merupakan langkah untuk mulai menggerakkan ekonomi Bali di tengah situasi pandemi COVID-19. Sementara dengan Pergub Bali Nomor 25 Tahun 2020 adalah upaya pelindungan guna mengendalikan pariwisata Bali yang akan mulai menggeliat, sekaligus menjaga marwah Bali yang tertoreh di kawasan parhyangan sebagai wujud jatidiri Bali.

Paparan pandemi COVID-19 yang membuat pariwisata Bali terkapar harus menjadi cermin bagi pelaku industri pariwisata. Pariwisata Bali harus tetap dapat berlangsung dan memberi kesejahteraan bagi krama Bali, di tengah terpaan kendala safety maupun security.

Pariwisata Bali yang dijalankan dengan tanpa mengusik keharmonisan alam dan adat budaya adiluhung Bali, merupakan vaksin yang ampuh bagi pariwisata Bali. Ada beberapa langkah yang harus dilakukan agar vaksin ini cukup efektif dalam mengawal geliat pariwisata sekaligus menjaga marwah Bali.

Pertama, dibutuhkan paradigma baru dalam mengelola pariwisata Bali. Mass tourism tidak boleh ada lagi di Bali. Pariwisata Bali harus dikembangkan dengan model special interest tourism (wisata minat khusus). Model ini memiliki nilai tambah ekonomi yang tinggi dan mudah dijalankan dengan protokol kesehatan.

Baca juga:  Ekonomi Bali Menuju Keseimbangan Baru     

Kedua, melakukan identifikasi atas jenis special interest tourism yang banyak melibatkan krama Bali dan mengandung potensi ekonomi tinggi bagi krama Bali, bukan semata bagi investor dan PAD (Pendapatan Asli Daerah). Objek wisatanya harus genuine dan hanya ada di Bali, utamanya yang terkait jejak adat dan tradisi budaya krama Bali.

Wisatawan minat khusus datang tidak sekadar rekreasi, namun ingin mendapat informasi dan pengalaman sesuai minatnya. Mereka memiliki tingkat disiplin yang tinggi, sehingga akan patuh dengan protokol kesehatan di sela pandemi COVID-19.

Ketiga, jenis special interest tourism beserta objek dan panduannya harus dituangkan dalam Bali Historic Guide Map, disertai informasi lengkap tentang nilai sejarah adat-budaya yang dikandungnya. Juga perlu dipikirkan tentang model organisasi dan manajemen pengelolaan objek special interest tourism tersebut agar tetap terjaga marwah keagungan dan kesuciannya sebagai jatidiri Bali.

Vaksin pariwisata Bali akan mampu menggeliatkan industri pariwisata Bali di tengah pandemi COVID-19 yang belum jelas kapan akan berlalu. Keharmonisan dalam keindahan bentang alam dan tradisi adat budaya adiluhung Bali harus tetap terjaga marwahnya seiring pengelolaan pariwisata Bali.

Deru ekonomi global yang merasuk atas nama industri pariwisata tidak boleh menggusur marwah jatidiri Bali. Sudah sewajarnya kalau pariwisata Bali lebih memancarkan vibrasi nuansa alam dan tradisi adat budaya dibandingkan warna ekonominya. Namun juga harus diingat bahwa nuansa alam dan budaya Bali harus tetap memberikan kesejahteraan ekonomi bagi krama Bali.

Penulis, arsitek, Senior Researcher pada Centre of Culture & Urban Studies (CoCUS) Bali, tinggal di Denpasar

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *