Umat hendak bersembahyang di Pura Jagatnatha saat Galungan pada 21 September 2020. (BP/Dokumen)

Oleh I Gusti Ketut Widana

Sudah satu semester lebih dunia dilanda pandemi Coronavirus Disease 2019 (Covid- 19), termasuk telah menjelajah bahkan merambah seantero bumi Indonesia. Covid-19 pertama kali dideteksi di Kota Wuhan, Provinsi Hubei, Tiongkok pada bulan Desember 2019, dan ditetapkan sebagai pandemi oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), 11 Maret 2020.

Hingga kini, berdasar update terakhir dilaporkan Covid-19 telah menyebar di lebih dari 210 negara dan wilayah, dengan jumlah kasus terkonfirmasi mendekati angka 30 juta orang, dan mengakibatkan hampir 1 juta orang meninggal dunia. Di Indonesia sendiri jumlah terkonfirmasi mencapai 200 ribuan kasus, dengan korban meninggal mendekati angka sepuluh ribuan.

Kian merebaknya covid-19 tidak hanya merugikan dari sisi kesehatan, tetapi dampaknya telah merusak tatanan ekonomi di Indonesia, hingga menggoyang sendi-sendi kehidupan rakyat di berbagai bidang; sosial, adat, budaya bahkan agama. Suasana kehidupan yang sebelumnya dinikmati dan dijalani dengan penuh kebebasan, kini di tengah situasi pandemi, semuanya serba diatur, tepatnya dibatasi dengan ketat mengikuti protokol kesehatan.

Dalam terminologi budaya Bali protokol kesehatan dimaksud dapat disebut Tri Parikrama Covid, meliputi: 1) Anyaga Angga, menjaga seluruh badan agar terhindar dari penularan virus Corona (mulut dan hidung ditutup masker, mata dan wajah dilindungi face shield, tangan memakai selop, bila perlu mengenakan APD/alat pelindung diri); 2) Anyaga Bayu, menjaga kesehatan dengan meningkatkan imunitas tubuh melalui olahraga, konsumsi makanan/minuman bergizi, menerapkan pola hidup bersih dan sehat, serta rajin mencuci tangan; dan 3) Anyaga Andap (maselat), selalu menjaga jarak fisik (physical distancing) dan melakukan pembatasan sosial (social distancing) dengan menghindari kerumunan/keramaian.

Baca juga:  Selain Vaksin, Penerapan Prokes Mutlak Diterapkan

Terutama imbas poin Anyaga Andap, dirasakan sangat berpengaruh terhadap aktivitas masyarakat Bali (umat Hindu) di bidang sosial, adat, budaya (seni) dan keagamaan yang selama ini selalu menampilkan aroma kegairahan, nuansa kesemarakan dan pastinya suasana kerumunan/keramaian. Semua bentuk ekspresi rasa suka cita, kegembiraan atau kebahagiaan masyarakat Bali melalui berbagai kegiatan di atas, kini seakan sirna didera ketakutan tertular/terpapar virus Corona yang tergolong desti maya dan teramat sulit di-somya.

Tidak heran sejak merebak Desember 2019 lalu hingga detik ini, Covid-19 tiada henti melakukan pralina bhuwana alit (manusia) yang selama ini seakan menjadi ‘’penguasa’’ atas makhluk hidup lainnya.

Kehidupan pun berjalan tidak normal lagi. Apa yang dulu menjadi biasa, wajar dan lumrah, kini tidak dapat dilakukan sebagaimana mestinya. Meski demikian, kehidupan harus tetap berlangsung normal sebagaimana adanya.

Muncul kemudian apa yang disebut era new normal lengkap dengan ‘’adaptasi kebiasaan baru’’. Termasuk menyentuh aktivitas religi/keagamaan yang mau tidak mau wajib mengikutinya demi tetap terjalinnya relasi bhakti antara Hyang Widhi dengan umat-Nya. Salah satu bentuk aktivitas bhakti dimaksud adalah melaksanakan ritual yadnya pada hari suci Galungan, meski masih dalam situasi kian merebaknya pandemi Covid-19 seperti sekarang ini.

Baca juga:  Menteri BUMN dan Dirut BRI Komitmen Dukung UMKM Naik Kelas

Tidak hanya untuk mendekatkan diri, tetapi sekaligus juga menguatkan sradha bhakti umat kepada Hyang Widhi. Di dalam Kitab Atharwa Weda, XII.1.1 disuratkan: ‘’Sesungguhnya satya, rta, diksa, tapa, brahma dan yadnya yang menyangga dunia’’. Artinya, mayadnya termasuk saat Galungan itu adalah sebagai bentuk persembahan atau pengorbanan tulus iklas untuk tujuan mulia dan luhur, terutama memohon kehadapan-Nya agar wabah pandemi Covid-19 yang terus bergerak seolah tiada henti dapat diputuskan mata rantai penyebaran dan penularannya.

Wabah Covid-19 memang telah menjadi masalah besar, namun di balik itu selalu terdapat hikmah bahwa apa pun bentuk musibah yang menimpa atau dirasakan manusia, sejatinya merupakan: 1) ujian bagi umat yang taat bhakti, 2) peringatan bagi umat yang lalai akan kewajiban (lali/lipya), dan 3) hukuman bagi umat yang selama ini telah melakukan berbagai perbuatan yang menyebabkan terjadinya ketidakharmonisan antara bhuwana agung (alam) dan bhuwana alit (manusia).

Baca juga:  Ancaman PHK, Resesi dan Inflasi Melanda Bali

Melalui ritual yadnya seperti halnya Galungan, setidaknya dimohonkan agar apa pun bentuk kejadian/peristiwa, seperti wabah pandemi Covid-19 sebagaimana hukum-Nya akan kembali pulih seperti sediakala, dari wujud bhutakala menjadi bhutahita, sehingga sarwa prani hitangkarah, semua makhluk hidup dapat menikmati kesejahteraan dan kebahagiaannya.

Perjuangan umat sedharma di tengah situasi pandemi sekarang ini adalah memenangkan dharma, dengan cara meningkatkan derajat kesehatan (ayurdehi) dan kesejahteraan (danamdehi), sehingga diharapkan dapat dengan cepat mengatasi dan kemudian mengalahkan adharma (Covid-19) yang sejauh ini belum mampu diputuskan mata rantai penyebaran dan penularannya.

Konkretnya, kemenangan hari suci Galungan di tengah situasi pandemi saat ini adalah bagaimana umat dapat menunjukkan sikap Gelengang Raga, yang kemudian diperilakukan dalam bentuk meneng/mamegeng (tenang: enteg/degdeg) tetapi dengan tetap patuh mengikuti protokol kesehatan.

Praktiknya, pelaksanaan hari suci Galungan yang selama ini terkesan sebagai ‘’hari raya’’, sarat nuansa kegairahan, suasana kesemarakan dan aroma kegembiraan yang terkadang berlebihan (hura-hura), kali ini oleh virus Corona dipaksa dihentikan, setidaknya dikurangi. Apalagi situasi perekonomian masyarakat saat ini cenderung tidak menggembirakan, tentunya dapat menjadi kesempatan menerapkan pola hidup sederhana, tetapi tetap aman, sehat dan produktif, baik secara jasmaniah maupun rohaniah.

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *