Oleh IGK Manila
Secara matematis, ekonomi Bali telah mengalami resesi dengan terjadinya dua kali kontraksi dalam dua kuartal berturut-turut. Pada kuartal pertama, Januari-Maret, pertumbuhan ekonomi mengalami kontraksi -1,14%, dan di sepanjang kuartal kedua, April-Juni, ekonomi terkontraksi drastis pada angka -10,98%.
Penyebabnya tentu saja penurunan pendapatan dari sektor pariwisata, yang biasanya menyumbang sekitar 80%. Karena saling berkaitan dengan sektor ini, terjadi juga penurunan drastis pada pendapatan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM), transaksi produk pertanian dan penyerapan hasil industri rumah-tangga.
Ketika harapan pariwisata kini beralih pada wisatawan nusantara (wisnus), tingkat pertumbuhan sejak kembali dibuka sebenarnya cukup memberi harapan. Sampai Agustus 2020, jumlah kedatangan wisnus melalui jalur udara mencapai 2.300-2.500 orang. Ini belum termasuk wisnus yang berkendaraan pribadi dan menyeberang terutama melalui jalur Pelabuhan Ketapang-Gilimanuk.
Tentu saja jika dibandingkan angka-angka ini tentu sangat kecil. Di sepanjang 2019, misalnya, ketika kini sudah di akhir September 2020, jumlah wisnus mencapai 10 juta orang, ketika wisman mencapai 6,3 juta orang. Tak heran jika secara makro perekonomian terjun bebas.
Namun kita tak bisa terus-menerus meratapi bagian cawan yang kosong. Sebab, jika itu yang dilakukan roda kehidupan akan menggilas. Ketika air di cawan habis diteguk dan gantinya tak kunjung tiba karena hanya menunggu, hidup secara perlahan akan selesai.
Bagi penyelenggara pemerintahan, terutama eksekutif dan legislatif, seperti beberapa kali sudah saya sampaikan melalui kolom di media ini, wajib bertanggung jawab mendesain dan menjalankan alternatif apa pun yang mungkin. Industrialisasi Bali melalui UMKM dengan orientasi pasar lokal dan luar Bali dan sektor pertanian harus secara serius difasilitasi dan dikembangkan. Namun, karena shifting dari sektor pariwisata ke sektor-sektor lain pasti memerlukan waktu, sektor primadona ini tetap diperjuangkan.
Di tengah perekonomian global dan nasional yang juga mengalami kontraksi, hal paling pokok saat ini adalah ketahanan pangan dan keterpenuhan kebutuhan pokok lainnya bagi warga Bali. Ini bukan waktu yang tepat bagi pejabat atau aparatur negara untuk, misalnya, berpikir dan bertindak egosentris: memburu rente di tengah resesi yang bisa jadi akan semakin dalam dan pada titik nadirnya akan menimbulkan keresahan sosial.
Demikian pula bagi para pengusaha. Selain ada baiknya untuk merintis shifting atau diversifikasi usaha bagi yang belum melakukannya, membangun atau mengembangkan people-oriented business tak ada salahnya. Wujudnya bisa beragam, tetapi intinya adalah bagaimana bisnis dijalankan dengan melibatkan sebanyak mungkin orang sehingga juga menggerakkan ekonomi mereka.
Contoh paling dekat dan aktual adalah apa yang dilakukan Gojek dan berbagai perusahaan yang menggerakkan jutaan tenaga kerja tanpa harus mengkaryawankan mereka. Gojek sebagai perusahaan mendapatkan penghasilannya sendiri, ketika jutaan orang yang bekerja dengan platform-nya juga mendapat penghasilan sendiri.
Bagi para pemilik lahan yang luas, sebagai contoh, bisa jadi ini adalah waktu untuk reaktivasi dan menjalankan pola kerja sama pemanfaatan dengan masyarakat banyak. Membiarkan lahan tidur atau eksploitasi lahan untuk tujuan-tujuan usaha yang tidak lagi atau belum tentu produktif sudah waktunya ditinggalkan. Dan bagi Bali, di mana akumulasi lahan oleh pengusaha atau perusahaan telah terjadi secara masif, gerakan reaktivasi lahan juga akan menjadi jaring pengaman sosial yang efektif.
Hal berikutnya adalah reaktivasi alat-alat produksi nonlahan yang selama ini biasanya digunakan untuk pariwisata seperti perahu, kapal, mobil, bus dan lainnya. Perahu-perahu yang sebelumnya untuk membawa wisatawan, misalnya, tentu saja dengan perjanjian dan pengaturan yang jelas dan tegas, bisa dialihfungsikan sementara untuk menangkap ikan di laut Bali yang kaya-raya. Jika bukan untuk konsumsi di wilayah Provinsi Bali, hasil tangkapan bisa diolah dan dijual ke wilayah lain.
Pilihan reaktivasi lahan dan alat produksi dalam pola people-oriented business lebih moderat ketimbang, misalnya, land-reform yang bisa diartikan sebagai pengalihan lahan secara paksa. Sebab, membangun ulang perekonomian harus dilakukan dengan cara-cara yang beradab dalam rangka pendidikan ekonomi masyarakat dan menjadi preseden yang baik dalam tahap dan masa-masa selanjutnya.
Dengan struktur sosio-kultural Indonesia yang paternalistik — di mana Bali adalah salah satu miniatur yang paling terkenal — reaktivasi lahan dan alat produksi ini menjadi lebih mungkin dalam rangka perubahan sosio-ekonomi yang fundamental. Dan perubahan karena tangan besi pandemi ini paling mungkin bermula dan digerakkan oleh kedua ujung tombak ini: pemilik lahan dan alat produksi dan para penyelenggara pemerintahan.
Dalam struktur ini, masyarakat banyak pada dasarnya manut dan bersifat menunggu, terutama karena tujuan utama kehidupan ekonomi mereka masih dalam rangka pemenuhan kebutuhan dasar atau subsistensi. Bahkan bagi mereka yang secara ekonomi terdampak langsung oleh pandemi, pilihan apa pun yang tersedia tentu akan dilakoni tanpa banyak embel-embel. Sebab, mereka seperti orang-orang yang terendam air sampai ke leher. Sedikit saja gelombang datang, mereka akan mudah tenggelam.
Patokan awal bagi segenap pihak — pengusaha, penyelenggara pemerintahan dan masyarakat yang akan memanfaatkan lahan dan alat produksi yang tersedia — oleh karena itu adalah pemenuhan kebutuhan dasar. Dalam bahasa yang lebih sederhana, dalam situasi dan kondisi saat ini, hal paling penting adalah bagaimana caranya supaya tak ada masyarakat yang lapar dan mengalami gizi buruk.
Jika skema reaktivasi lahan dan alat produksi ini dijalankan, penyelenggara pemerintahan harus memastikan fasilitasi faktor-faktor pendukung. Dalam sektor pertanian dan perikanan, misalnya, selain penyediaan pupuk dan kebutuhan produksi lainnya, sistem distribusi harus dibangun. Dan belajar dari Tiongkok, pemerintah bukan sekadar menjamin dengan berbagai janji bahwa hasil produksi dibeli dengan harga wajar, tetapi wajib membeli langsung dan menyalurkannya.
Ini tidak terkait dengan ketidakpercayaan pada sistem pasar. Dalam sistem pasar yang berjalan baik dan benar — dengan regulasi dan penegakan hukum yang efektif — tentu intervensi semacam ini tak perlu. Namun, dalam sistem pasar yang karut-marut, insentif pemerintah dalam bentuk pembelian langsung hasil produksi adalah harga mati.
Terakhir, saya percaya bahwa masyarakat kita yang pada dasarnya tidak neko-neko ini adalah anugerah Tuhan Yang Maha Kuasa. Di tengah pandemi saat ini, siapa pun yang memiliki sedikit kekuasaan — terutama secara ekonomi dan politik — berkewajiban memfasilitasi mereka. Sebab, jika tidak, Tuhan sendiri yang akan mencabut anugerah tersebut.
Penulis, Gubernur Akademi Bela Negara (ABN) Partai NasDem