SINGARAJA, BALIPOST.com – Penyebaran kasus penyakit Demam Berdarah (DB-red) di Buleleng tergolong tinggi. Buktinya, sampai pertengahan tahun ini, Buleleng mencatat sebanyak 3.290 kasus.
Dari ribuan kasus itu, sejumlah penderita meninggal dunia. Dari data yang ada sebanyak 7 orang yang terjangkit DB meninggal dunia.
Dibandingkan tahun 2019, kasus ini meningkat hingga 2 kali lipat. Data di Dinas Kesehatan (Diskes) Buleleng, kasus terbanyak ditemukan di Kecamatan Buleleng yaitu 843 kasus. Sedangkan 386 kasus di Kecamatan Banjar, 366 kasus ditemukan di Kecamatan Tejakula, dan 365 kasus terjadi di Kecamatan Seririt.
Kemudian di Kecamatan Sukasada tercatat 324, Kecamatan Gerokgak 318, Kecamatan Sawan 233, Kecamatan Busungbiu 228, dan Kecamatan Kubutambahan terdapat 227 kasus. Kalau dibandingkan data tahun 2019 tercatat sebanyak 1.631 kasus dan hanya 1 penderitanya meningal dunia.
Wakil Bupati dr. I Nyoman Sutjidra, Sp.OG belum lama ini mengatakan, dari kajian yang sudah dilakukan penyakit DB sudah dikategorikan endemis di Bali Utara. Ini karena, setiap tahun penyakit yang ditularkan oleh Nyamuk “Si Poleng” ini datang menyerang. Kasus DB memuncak tahun 2016 lalu dengan catatan kasus 4.000.
Kasus DB tahun ini juga banyak ditemukan di perdesaan, terutama di Kecamatan Tejakula. Diduga kondisi ini terjadi karena banyak bak penampungan air bersih di wilayah itu.
Idealnya, bak penampungan itu dicek secara berkala dan ditaburi bubuk abate, karena nyamuk kerap bersarang di air yang bersih. “Kasus ini terjadi di semua daerah yang menjadi endemis DB, dan tidak di Buleleng saja. Kalau dihitung jumlah kasus dengan jumlah kematian akibat DB, case fatality rendah yakni 0,2 persen,” katanya.
Di sisi lain pejabat asal Desa Bontihing, Kecamatan Kubutambahan ini menyebut, lonjakan kasus DB tahun ini juga diakibatkan karena mobilitas penduduk tergolong tinggi. Jumlah kasus juga berbanding lurus dengan jumlah penduduk Buleleng yang terbanyak di Bali dan banyak di perantauan.
Saat penduduk yang merantau kembali ke kampung halamannya diprediksi rentan membawa penyakit DB. “Mobilitas penduduk kita yang sangat tinggi dan ini berpotensi sekali memicu terjadi penyebaran penyakit DB. Contoh kalau ada yang merantau begitu pulang ke kampung justru jatuh sakit dan padahal itu belum tentu terjangkit di daerah asal, tapi di luar daerah,” tegasnya. (Mudiarta/balipost)