Diah Werdhi Srikandi. (BP/rin)

DENPASAR, BALIPOST.com – Kemandirian energi dan ketahanan energi di Bali menjadi salah satu isu penting dalam Perda Nomor 9 Tahun 2020 tentang Rencana Umum Energi Daerah (RUED) Provinsi Bali Tahun 2020-2050. Bicara kemandirian energi, tidak lain adalah terjaminnya ketersediaan energi dengan memanfaatkan semaksimal mungkin potensi dari sumber daya dalam negeri.

Di antaranya menyangkut rasio elektrifikasi dan optimalisasi pengembangan energi energi baru terbarukan (EBT). ‘’Tahun 2017 kondisi kelistrikan di Bali sempat belum merata. Meskipun kemudian sudah dideklarasikan oleh PLN Distribusi Bali pada saat Hari Listrik Nasional, Oktober 2018 lalu, bahwa rasio elektrifikasi sudah 100 persen teraliri oleh listrik,’’ ujar Ketua Komisi III DPRD Bali IGA Diah Werdhi Srikandi, Selasa (29/9) kemarin.

Dengan kata lain, lanjut Diah Werdhi, rasio elektrifikasi di Provinsi Bali sudah mencapai 100 persen pada 2018 lalu. Namun tentunya akan ada dinamika dan fluktuasi bilamana ada keluarga-keluarga baru yang menempati rumah atau hunian baru.

Baca juga:  Tak Punya CHSE, Desa Wisata Tak Direkomendasi Dikunjungi Wisatawan

Terlebih, lokasinya jauh dari jaringan listrik PLN. Pasalnya, infrastruktur ketenagalistrikan masih belum mencakup seluruh wilayah Bali. Antara lain disebabkan oleh kondisi geografis dan demografis Pulau Bali yang sebagian terdiri dari pegunungan dan pesisir. ‘’Terutama aksesibilitas menuju ke lokasi belum bisa dijangkau oleh kendaraan roda empat,’’ ujar politisi PDI-P asal Jembrana ini.

Diah Werdhi menambahkan, jangan sampai di akhir perencanaan RUED-P ini 30 tahun kemudian, masih ada daerah dan wilayah di Bali yang belum terjangkau oleh listrik secara mamadai. ‘’Hendaknya kita berkomitmen bersama-sama,’’ tegasnya.

Selain itu, lanjut Diah Werdhi, kemandirian energi tidak hanya soal menuntaskan rasio elektrifikasi, tetapi juga melakukan optimalisasi pengembangan EBT. Selama ini pengembangan EBT utamanya masih terkendala dengan kultural, sehingga belum dapat mengurangi ketergantungan Bali dengan energi fosil.

Baca juga:  Suku Bunga Naik, Pengusaha Makin Merana

Di sisi lain, pihaknya mengakui pengadaan sistem pembangkit EBT dalam jangka pendek masih relatif lebih mahal daripada pembangkit fosil. ‘’Namun perlu menjadi pertimbangan dalam jangka panjang dan konteks pembangunan berwawasan lingkungan yang berkelanjutan,’’ jelasnya.

Menurut Diah Werdhi, arah kebijakan Pemprov Bali yang akan mengupayakan pasokan listrik dan sumber energi lainnya dipenuhi dari pembangkit yang ada di Bali secara mandiri, atau Bali Mandiri Energi, sudah tepat. Sedangkan pasokan listrik dari Pulau Jawa melalui grid Jamali atau Jawa-Bali Connection (JBC) hanya berfungsi sebagai cadangan bersama (reserve sharing) untuk sistem di Jawa dan sistem di Bali. ‘’Kami juga mengapresiasi terbitnya Pergub Nomor 45 Tahun 2019 tentang Bali Energi Bersih dalam mengelola energi bersih di Bali,’’ tambahnya.

Baca juga:  Tradisi Tektekan, Awalnya Untuk Atasi Gerubug Kini Jadi Atraksi Budaya

Sementara menyangkut ketahanan energi, Diah Werdhi menyebut sebagai suatu kondisi terjaminnya ketersediaan energi, akses masyarakat terhadap energi pada harga yang terjangkau dalam jangka panjang dengan tetap memperhatikan perlindungan terhadap lingkungan hidup.

Dalam tren lima tahunan, penggunaan sumber energi listrik di Bali lebih besar bagi kepentingan produktif daripada konsumtif. Walaupun berarti positif, namun pemerintah juga mesti berhati-hati. ‘’Karena itu juga bisa berarti, subsidi, subsidi silang, atau insentif-disinsentif yang akan diberikan juga lebih banyak dinikmati pada bidang komersial daripada untuk masyarakat secara umum,’’ terangnya. (Rindra Devita/balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *