Salah satu PLTS di Karangasem. (BP/dok)

DENPASAR, BALIPOST.com – Pengamat lingkungan Dr. I Made Sudarma, M.S. mengapresiasi pemberlakuan resmi Perda Nomor 9 Tahun 2020 tentang Rencana Umum Energi Daerah (RUED) Provinsi Bali Tahun 2020-2050. Menurutnya, perda ini sangat baik terutama dalam menjaga pelestarian lingkungan demi menjaga kesucian dan keharmonisan alam Bali.

Apalagi, Bali sebagai daerah pariwisata berbasis budaya. Sebab, dilihat dari gas rumah kaca, penyumbang terbesar karbondioksida (CO2) adalah dari sektor energi (sumber pembangkit dan transportasi), yaitu sebesar 90 persen (kajian tahun 2019). Kendati demikian, untuk mewujudkan energi bersih sesuai Perda Nomor 9 Tahun 2020 harus dilihat potensi yang ada di Bali.

Apalagi, bahan baku untuk penggerak pembangkit energi baru terbarukan (EBT) harus didatangkan dari luar, seperti bahan bakar fosil yaitu gas, karena Bali belum memiliki bahan bakar tersebut. ‘’Kenapa memakai bahan bakar gas, karena dari segi emisi, gas paling rendah emisinya dibandingkan batu bara, apalagi HSD atau bahan bakar diesel. Namun, yang menjadi pertanyaan besar dari mana gas tersebut didatangkan? Karena selama ini untuk mendapatkan gas cukup sulit,’’ ujar Sudarma, Selasa (29/9).

Baca juga:  Penggunaan Panel Surya Diberlakukan Selambatnya 2024, REI Minta Dua Faktor Ini Diperhitungkan

Berbicara listrik, katanya, tidak cukup hanya dengan potensi, tetapi bahan baku yang digunakan dan kendalanya juga harus diperhitungkan. Sebab, dalam RUED Provinsi Bali memprioritaskan penggunaan sumber energi bersih yang meliputi gas bumi dan EBT.

Seperti halnya Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS), pemanfaatan sampah untuk pembangkit listrik dan hydropower. Sudarma mengingatkan, khusus potensi EBT dari hydropower sangat kecil untuk diterapkan di Bali.

Sebab, saat ini Bali mempunyai 422 daerah aliran sungai (DAS) yang terbagi ke dalam 12 satuan wilayah pengelolaan (SWP) DAS. Dari 422 DAS tersebut, 12 DAS masuk klasifikasi DAS kecil (luas 10.000-100.000 ha) dan sisanya 410 DAS klasifikasi DAS sangat kecil (luas < 10.000 ha). ‘’Dengan kondisi DAS seperti itu rasanya potensi EBT dari hydropower sangat kecil untuk Bali,’’ kata Ketua Forum DAS Bali ini.

Baca juga:  Indonesia Siap Ekspor Listrik EBT ke Singapura

Begitu juga PLTS dan pemanfaatan sampah menjadi pembangkit listrik sangat kecil dari harapan, karena untuk PLTS akan membutuhkan lahan yang sangat luas. Sementara pemanfaatan sampah juga membutuhkan biaya yang sangat besar untuk pengelolaannya menjadi pembangkit tenaga listrik.

Oleh karena itu, untuk menuju Bali mandiri energi bersih harus dipetakan secara konkret dan strategis, sehingga potensi yang ada benar-benar bisa diwujudkan. Apalagi, berbicara mengenai energi baru terbarukan yang ramah lingkungan membutuhkan biaya yang lebih mahal. ‘’Sebenarnya kita punya potensi yang memang bisa dan bisa tersedia adalah panas bumi (geothermal) di Bedugul, tetapi itu sudah closing karena mendapat penolakan dari masyarakat dengan berbagai pertimbangan,’’ katanya.

Baca juga:  Satreskrim Ungkap Penipuan Rekrutmen CPNS

Sudarma menyarankan agar dalam penggunaan EBT yang ramah lingkungan tidak dilakukan setengah-setengah. Namun harus diperhitungkan secara matang terhadap potensi yang memungkinkan untuk dikembangkan. “Mari kita coba lakukan lagi pemetaan kembali dari setiap potensi sumber daya listrik yang bersumber dari alam atau EBT. Mana prioritas yang bisa kita garap, apakah sampah, surya, atau hydro, biar tidak gebyah uyah. Jangan sampah ambil sedikit, PLTS ambil sedikit dan hydropower ambil sedikit, karena itu akan menjadi hal yang sia-sia,” tegasnya.

Menurut Sudarma, EBT yang paling potensial dikembangkan menjadi sumber listrik di Bali adalah sampah. Karena permasalahan sampah sampai saat ini masih menjadi problem yang belum terpecahkan yang mengganggu lingkungan di Bali. (Winatha/balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *