DENPASAR, BALIPOST.com – Hampir semua wilayah Indonesia terutama sebelah barat Sumatera, Selatan Jawa, termasuk Bali, dan Nusa Tenggara hingga laut Maluku mempunyai potensi gempa-gempa besar (Megathrust) yang dapat menimbulkan tsunami. Bahkan, berdasarkan peta Buku Pusgen 2017, di wilayah selatan Jawa dan Bali terdapat segmen-segmen gempa dengan magnitudo bervariasi, yaitu 8.5 sampai dengan 8.7.
Apabila segmen-segmen tersebut pecah secara bersamaan dapat menghasilkan Gempa dengan Magninuto 9.1. “Dengan magnitudo 9.1 dapat menimbulkan tsunami setinggi 20 meter di sepanjang Pantai Jawa, termasuk Bali. Untuk itu perlu ditingkatkan mitigasi kesiapsiagaan masyarakat, pemerintah bila mana gempa tersebut terjadi, karena sampai sekarang kita tidak bisa memprediksi gempa-gempa tersebut,” ujar Kasubbid Pengumpulan dan Penyebaran BBMKG Wilayah III Denpasar, Dwi Hartanto, S.Si, M.DM., Rabu (30/9).
Dikatakan, Zona Megathrust sejatinya sudah ada sejak jutaan tahun lalu saat terbentuknya rangkaian busur kepulauan Indonesia. Zona Megathrust berada di zona subduksi aktif, yaitu Subduksi Sunda (mencakup Sumatera, Jawa, Bali, Lombok dan Sumba), Subduksi Banda, Subduksi lempeng Laut Maluku, Subduksi Sulawesi, Subduksi lempeng Filipina dan Subduksi utara Papua.
Melihat sejarahnya, gempabumi tektonik akibat aktifitas sesar aktif pernah melanda pulau Bali yang diikuti tsunami. Salah satunya adalah struktur sesar yang terbentuk akibat hujaman balik proses subduksi, yaitu Sesar Naik Flores.
Keberadaan struktur geologi Sesar Naik Flores di timurlaut Bali bertanggungjawab terhadap sejumlah gempa besar yang diikuti tsunami, seperti gempa Bali pada tahun 1815, 1857, dan 1976. Gempabumi yang terjadi 22 November 1815 memiliki magnitudo M=7,0 dan diikuti tsunami. Peristiwa bencana ini menelan korban jiwa sebanyak 1.200 orang. Sedangkan, gempabumi (M=7,0) yang terjadi pada 13 Mei 1857 di wilayah Bali Utara dengan episenter di laut ini dilaporkan memicu tsunami, namun tidak ada laporan korban jiwa meninggal.
Sementara itu, gempabumi dengan M=6,2 yang terjadi pada 14 Juli 1976 atau yang lebih populer disebut sebagai Gempa Seririt ini menyebabkan kerusakan parah di Buleleng, Tabanan dan Negara. Gempa ini dilaporkan memicu tsunami kecil di pantai utara Bali. Tercatat sebanyak 573 orang meninggal dunia di Buleleng, Jembrana, dan Tabanan. Sementara 4.000 orang lainnya luka-luka dan sekitar 450.000 orang kehilangan tempat tinggal.
Keberadaan zona subduksi lempeng di selatan Bali juga bertanggungjawab terhadap sejumlah gempa kuat di Bali yang diantaranya diikuti tsunami. Beberapa gempa yang berkaitan dengan aktivitas subduksi lempeng adalah gempa Bali 1917, 2011, dan 2019.
Gempa Bali pada 21 Januari 1917 memiliki episenter yang terletak di sebelah tenggara Pulau Bali. Gempa ini menyebabkan longsoran yang hebat di berbagai tempat di Bali.
Sekitar 80 persen dari jumlah korban gempa diakibatkan oleh longsoran. Dalam buku “Pura Besakih”, Fox (2010) menceritakan bahwa gempa ini menelan korban jiwa sebanyak 1.500 orang meninggal, merusak 64.000 rumah termasuk istana, 10.000 lumbung beras, dan 2.431 Pura, termasuk Pura Besakih.
Masyarakat Bali menjulukinya sebagai “Gejer Bali” yang artinya “Bali Berguncang”. Menurut Soloviev and Go (1974), gempa ini memicu tsunami di Klungkung dan Benoa dengan tinggi mencapai 2 meter.
Gempa Bali berkekuatan M=5,5 yang terjadi 15 September 2004 di Denpasar dilaporkan menelan 1 orang korban jiwa dan 2 orang luka-luka. Sedangkan gempa berkekuatan M=6,8 yang terjadi pada 13 Oktober 2011 melukai puluhan orang di Denpasar, Kuta, dan Nusa Dua.
Bahkan, gempa ini dirasakan di berbagai daerah seperti Mataram, Malang, dan Yogyakarta. Akibat gempa ini beberapa rumah di Bali mengalami kerusakan hingga tingkat sedang. Selain di Bali, gempa ini juga merusak rumah di Jember, Banyuwangi, dan Lumajang.
Pada 22 Maret 2017 Bali juga dilanda gempa dengan kekuatan M=6,4 yang mengakibatkan 1 orang luka-luka di Karangasem. Sementara itu, pada 16 Juli 2019 gempa dengan M=6,0 mengguncang wilayah selatan Bali.
Gempa ini merupakan bagian dari rangkaian gempa Bali akibat aktivitas subduksi Lempeng Indo-Australia di zona Benioff bagian atas. Gempa ini merusak 2 gedung sekolah di Jembrana, 1 rumah roboh dan 1 rumah rusak di Buleleng, Kantor DPRD Gianyar, Pura Lokanatha Lumintang di Denpasar, dan kerusakan beberapa gedung sekolah, hotel, dan fasilitas umum.
Sejak periode 1 Januari hingga 30 September 2020 (pukul 10.30 Wita), Bali telah diguncang gempabumi sebanyak 526 dengan magnitudo bervariasi. (Winatha/balipost)