Ribut Lupiyanto. (BP/Istimewa)

Oleh Ribut Lupiyanto

Agenda politik terbesar tahun ini adalah pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak yang tahapannya sudah bergulir. Kontestasi politik selalu dihinggapi penyakit yang membawa cacat demokrasi. Cacat itu terdiri atas cacat prosedural, berupa karut-marut penyelenggaraan, hingga cacat substansial berupa tingkah polah kontestan yang tidak berintegritas. Cacat yang paling berbahaya dan dikhawatirkan masih akan terjadi pada Pilkada 2020 adalah amoralitas politik.

Ruang kompetisi semakin sempit dan ketat. Antarkandidat akan berjuang keras, saling sikut, bahkan menghalalkan segala cara demi kemenangannya. Moralitas akan menjadi pemandu kontestan demi mewujudkan pilkada yang berkualitas. Permasalahan bangsa menurut Al-Qardhawi (2002) pada dasarnya merupakan persoalan moralitas. Solusi efektifnya adalah revitalisasi nilai-nilai moral. Moralitas dan fatsun politik Indonesia dinilai rendah dalam berdemokrasi (Nahwi, 2014). Amoralitas politik masih menghantui jalannya demokrasi. Banyak praktik politik amoral yang mesti diwaspadai.

Yang pertama adalah politik uang. Politik uang dalam pemilu menjadi kunci yang berpotensi membuka pintu praktik korupsi. Pemilu kerap dijalani dengan logika bisnis. Uang kampanye adalah modal yang mesti kembali dan menjadi laba dalam masa jabatan. Politik uang yang tidak logis jika ditilik dalam kalkulasi gaji, sangat rentan menimbulkan malapraktik politik seperti korupsi, gratifikasi, dan sejenisnya.

Baca juga:  Mengawal Anggaran Pilkada

Setiap jelang pelaksanaan pilkada, sering mencuat kasus tindak pidana korupsi. Belajar pada Pilkada 2018, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) saat itu melakukan tangkap tangan terhadap enam kepala daerah yang akan bertarung dalam kontestasi demokrasi. Yakni Bupati Subang Imas Aryumningsih, Bupati Ngada NTT Marianus Sae, Bupati Nganjuk Taufiqurrahman, Bupati Halmahera Timur Rudi Irawan, Bupati Jombang Nyono Suharli, dan Bupati Kutai Kartanegara Rita Widyasari.

Transparency Internasional (TI) merilis bahwa Indeks Persepsi Korupsi tahun 2018 nilainya 38. Nilai tersebut menempatkan Indonesia di peringkat ke-89. Indeks persepsi korupsi Indonesia dari 2016 ke 2017 sama, yaitu 37, tetapi peringkatnya turun. Sedangkan pada tahun 2017, nilainya 37 dengan peringkat 96. Kedua adalah politik pencitraan. Realitas politik di Indonesia, menurut Yasraf Piliang (2005), didominasi rekayasa seakan-akan. Tradisi politik citra booming sejak era reformasi yang memberikan ruang pers sebebas-bebasnya. Politik citra memiliki konotasi positif sekaligus negatif.

Politik citra positif mengemas realita agar bernilai politis. Sedangkan politik citra negatif adalah merekayasa keadaan dengan menyembunyikan atau bersifat seakan-akan. Pencitraan negatif adalah penipuan publik. Tong kosong dari caleg atau capres direkayasa agar terlihat berbobot. Pencitraan awalnya menyihir, tetapi menjadi malapetaka ketika gagal membuktikan. Ketiga adalah konflik politik. Gesekan horizontal yang berpotensi konflik menjadi tantangan yang perlu diantisipasi. KPU memprediksi potensi konflik Pilkada 2020 meningkat dibanding tahun 2018. Polri telah memetakan 171 titik rawan konflik terkait penyelenggaraan pilkada serentak 2020 dan Pemilu 2019.

Baca juga:  Pagerwesi, Perayaan Pagar Jiwa dan Peneguhan Lahir Batin

Gesekan di lapangan adalah keniscayaan, tetapi tidak semestinya melebar menjadi konflik. Konflik politik yang terjadi selama Pemilu 2014 berpotensi terlanjutkan pada masa selanjutnya. Pihak-pihak yang kalah rawan menunggangi setiap permasalahan hingga menjadi bibit konflik.

Keempat adalah perselingkuhan politik. Perselingkuhan politik yaitu perilaku menjijikkan antara kontestan dengan penyelenggara pemilu, atau kontestan dengan pengusaha. Kontestan dengan penyelenggara berselingkuh untuk saling jual-beli pengaruh demi manipulasi proses pemilu. Kontestan dan pengusaha berselingkuh dalam hal modal politik dengan iming-iming dukungan politik terhadap investasinya.

Strategi Dekonstruksi

Amoralitas politik mesti dikikis, demi peningkatan kualitas demokrasi dan perbaikan nasib bangsa lima tahun mendatang. Semua pihak perlu bergandengan tangan melakukan perbaikan moralitas politik. Beragam pendekatan juga penting dilakukan demi efektivitas upaya rekonstruksi. Langkah pertama yang diambil adalah dengan pendekatan spiritual; spiritualisme setiap manusia. Spiritualisme adalah sisi fundamental dan oase moralitas manusia. Aspek ini diharapkan dapat menyentuh sisi terdalam pelaku politik amoral untuk sadar dan memperbaiki dirinya. Selama ini spiritual hanya di permukaan bahkan dijual kontestan demi suara. Spiritualisme aplikatif mesti ditegakkan dalam menjunjung moralitas politik.

Baca juga:  Dualisme Penataan Ruang Bali

Kedua dengan penegakan hukum. Hukum dapat menjadi efek jera atas praktik politik amoral sekaligus melanggar peraturan. Kuncinya adalah penegakan yang berkeadilan. Hukum mesti tidak pandang bulu dan tidak tebang pilih. Kinerja penyelenggara dan pengawas pemilu menjadi pertaruhan atas optimalisasi penegakan hukum. Ketiga dengan pengawasan publik. Pengawasan publik akan lebih efektif dan masif jika digerakkan. Publik setelah melek politik dan regulasi dapat ikut mengawasi lingkungannya dari praktik politik amoral. Publik menjadi pihak yang sehari-hari paling intens berinteraksi dengan dinamika kontestan.

Pelanggaran dapat langsung dihakimi publik secara sosial, hingga pencabutan dukungan elektoral. Pelanggaran berat dapat dilaporkan ke Bawaslu. Kuncinya publik mesti dididik agar melek politik. Rakyat rindu hadirnya politik bermoral demi menghasilkan kepemimpinan berkualitas. Kontestan penting mengambil teladan dari Muhammad SAW melalui politik profetik. Kepemimpinan profetik mengajarkan empat sifat, yaitu jujur atau benar (shiddiq), bisa dipercaya (amanah), komunikatif (tabligh), dan cerdas (fathonah). Calon kepala daerah penting meneladaninya sebagai modal utama memenangkan Pilkada 2020.

Penulis, Deputi Direktur  Center for Public Capacity Acceleration (C-PubliCA)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *