Prof. Ratminingsih. (BP/Istimewa)

Oleh Prof. Dr. Ni Made Ratminingsih, M.A.

Berita dan informasi terkait virus Corona atau Covid-19 belum beranjak pergi meski sudah bercokol selama enam bulan sejak bulan Maret lalu. Semakin banyaknya informasi yang beredar dari berbagai media, baik cetak maupun noncetak yang sedemikian gencar berbanding terbalik dengan realitas yang terjadi.

Semakin banyak informasi yang diberikan kepada masyarakat untuk menyetop dan memotong penularannya, justru malah membuat semakin bertambah kasus mereka yang terinfeksi dan yang positif.

Idealnya sebuah informasi yang diberikan baik oleh lembaga formal yakni pemerintah maupun sumber-sumber yang terpercaya lainnya (para dokter misalnya) dapat dimaknai sebagai pembelajaran yang bertujuan untuk memberikan pengetahuan dan penyadaran kepada mereka betapa virus tersebut sangat berbahaya bagi kesehatan yang tak segan-segan dapat membunuh siapa saja yang terinfeksi. Bahkan tidak sedikit dokter yang notabene memiliki kemampuan profesional pun tak luput dari paparan si virus yang mematikan.

Semakin banyaknya jumlah kasus mereka yang terinfeksi dan berujung pada kematian tampak bagai berita yang tak penting dan sekadar lewat. Fenemona apakah ini?

Informasi yang diberikan tentu sudah berbasis data dan fakta akurat dan mengandung kebenaran. Sebuah kebenaran mestinya ditindaklanjuti dengan usaha untuk pengamalan dalam kehidupan sehari-hari demi menjaga kesehatan baik diri sendiri, keluarga, dan kerabat. Tidak mungkin informasi yang diberikan dari berbagai sumber tersebut dinafikan. Apakah mereka ada tendensi memang tidak mau tahu, karena menganggap virus tersebut tidak pernah ada?

Baca juga:  Adat dan Budaya sebagai Kebutuhan Primer

Jika demikian adanya, itu berarti bahwa semua informasi yang disampaikan oleh pemerintah dan sumber-sumber resmi lainnya (para dokter) tidak dipercaya atau ditolak. Sementara fakta dan data orang yang terinfeksi dan yang sudah jelas banyak dimasukkan ke liang lahat dengan protokol penanganan Covid-19 pun dianggap tidak pernah ada, padahal sudah jelas data tersebut ada bahkan dengan jumlah yang terus kian melonjak. Lalu, kepada siapakah mereka itu akan percaya?

Apakah mungkin karena faktor bosan? Enam bulan adalah waktu yang panjang untuk mendengar, berbicara, membaca, dan menonton hal-hal monoton tentang Covid-19. Sudah terlalu banyak informasi yang berjejal di kepala, sehingga mereka mulai bosan untuk mengikuti aturan. Ada yang bahkan sengaja melanggar aturan, padahal aturan dibuat demi untuk menjaga kesehatannya sendiri dan menghormati kesehatan orang lain. Apakah kebosanan tersebut menjadi dasar ketidakpedulian dan pelanggaran?

Protokol kesehatan dengan jelas menegaskan bahwa kita tidak diperkenankan bergerombol dan berkumpul yang melibatkan banyak orang. Karena kita tidak pernah tahu apakah orang yang kita ajak bergerombol itu sehat atau OTG yang setiap saat bisa menularkan virus dengan cepat dan masif. Namun, masih saja terjadi berbagai event dan kegiatan yang mengumpulkan banyak orang. Tidak takutkah mereka terinfeksi dan lalu mati? Ketidakdisiplinan pada diri sendiri bukan saja berdampak fatal langsung bagi diri sendiri tetapi juga pada orang lain di sekitar kita.

Baca juga:  LPD Cermin Pemajuan Kebudayaan Bali

Adakah memang mereka menganggap remeh-temeh pada virus yang berbahaya ini? Bila saja tidak banyak realitas korban yang berjatuhan di berbagai negara, daerah, dan di sekeliling kita, mungkin kita bisa saja menganggap enteng virus tersebut. Yang jelas sampai dengan saat itu, obat dan vaksin yang sedang diteliti secara intensif pun belum ada.

Menyadari hal itu, orang yang memiliki nalar dan akal mestinya sudah kontrol diri dan mengikuti dengan ketat protokol kesehatan dan semua anjuran serta regulasi yang dikeluarkan pemerintah ataupun berbagai informasi terpercaya dari berbagai media dan sumber terpercaya lainnya.

Kita mesti menjadi pribadi yang bukan hanya pintar memahami informasi, memilih dan memilah, tetapi juga bijaksana dalam memaknai dan merefleksikan semua hal yang terkait dengan baik atau buruknya fenomena pandemik ini dan kemudian mengamalkan hidup yang lebih sehat untuk kelangsungan umat manusia.

Baca juga:  Testimoni Bali Dikepung Hotel

Mungkinkah mereka hanya berkiblat pada satu kata, yaitu pasrah? Pasrah mengandung arti berserah diri. Kepada siapakah mereka berserah diri? Bila berserah diri kepada kenyataan lalu melakukan hal-hal yang benar dan sesuai aturan, maka tentu pasrah tersebut akan bermakna kebaikan. Namun, bila pasrah pada kondisi disertai dengan pelanggaran pada protokol kesehatan dan aturan, hal ini tentu tidak bisa dianggap benar. Sebab, mereka tampak salah kaprah memaknai pasrah tersebut.

Bila pasrah yang dijalankan adalah berserah kepada yang memiliki kehidupan ini yaitu Hyang Maha Kuasa, maka pasrah tersebut bermakna kebijaksanaan. Sebab, sumber kehidupan memang dari-Nya. Napas kehidupan kita semua hanyalah pinjaman belaka, maka sewaktu-waktu memang akan dikembalikan tanpa perlu menolak atau memintanya. Mengembalikan semua properti kehidupan yang diberikan dan dipinjamkan sementara ini oleh-Nya memang sudah menjadi kehendak Beliau.

Namun, kita perlu menjaga dan merawatnya dengan sebaik-baiknya. Ikhtiar dan usaha untuk menjaga kesehatan adalah sebuah keharusan yang perlu dilakukan oleh kita semua utamanya dari kesadaran diri sendiri agar makhluk manusia selamat dan terhindar dari virus yang belum ada obat dan vaksinnya tersebut.

Penulis, Dosen Prodi Pendidikan Bahasa Inggris Undiksha

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *