DENPASAR, BALIPOST.com – Mengiringi kesuksesan penayangan Drama Keraton “Jayaprana” selama empat episode, Bali TV kembali hadir dengan program kreatifnya untuk menghibur pencinta seni di Bali. Pada Jumat (9/10) pekan ini pukul 20.00 Wita, stasiun TV kebanggaan masyarakat Bali ini akan menayangkan secara perdana Tembang Semara “Jayaprana.”
Sebuah kisah yang mengabadikan cinta sejati Jayaprana dan Layonsari yang sudah melegenda tersebut. Berbeda dengan Drama Keraton “Jayaprana” yang mengeksplorasi kekuatan akting para seniman pendukungnya, dalam Tembang Semara “Jayaprana” ini para seniman akan menunjukkan kepiawaiannya berolah vokal khususnya melantunkan berbagai variasi Pupuh Ginada.
Kisah asmara sepasang anak manusia yang berujung tragis ini dipastikan semakin mengharubiru perasaan penonton lewat alunan musik pengiring Semara Pegulingan yang ritmis dan artistik. Semara Pegulingan inilah yang menjadi identitas sekaligus membedakan produksi Bali TV bekerjasama dengan Sanggar Kayon, Pejeng, Gianyar dan Pemprov Bali ini dengan kesenian sejenis yang umumnya menggunakan geguntangan sebagai musik pengiring.
Sutradara Tembang Semara “Jayaprana” yang juga Ketua Sanggar Kayon, Dewa Ngakan Gede Suastika, S. Sn. mengatakan, pihaknya memboyong puluhan seniman papan atas Bali untuk mendukung produksi ini. Sebagai pelantun pupuh (penembang), pria yang akrab disapa Dewa Bondres ini mempercayakannya kepada Jero Mangku Ratna, Mangku Wayan Mutri, Ni Putu Sucita Dewi, S.Pd., IGN Edy Arta Gunawan, S.Pd., M.Si., Dewik Binoh, Dra. Ni Wayan Rumasih, M.Si., Dewa Ayu Rai Parwati, S.Pd., Ketut Wiari, Mamik Adnyana, Ida Ayu Dianawati, Gung Gita, Ni Wayan Rusmiati, Made Ariani, Ninik Melody, Sinta, Kadek Mirah Kesumadewi, Ketut Citawati, Mangku Made Suwerni, Mangku Alit Kembar, Ni Wayan Sariningsih, Jiwa Jimmy, Dewa Ayu Oka Yuniari, dan Dwipayana.
Sementara sebagai peneges atau penerjemah untuk memudahkan pemirsa mencerna makna yang terkandung dalam alunan pupuh tersebut, tampil Dr. Drs. I Wayan Sugita M.Si., I Made Apel, S.Sn.M.Sn., Mangku Nyoman Sudanta, S.Ag. M.Si., I Wayan Tablo, I Nyoman Surata, S.H. , Jinggo, Drs. I Wayan Selat Wirata, Ida Dalang Sri Aji Parangan, Ketut Eka Jaya, I Gede Tilem Pastika, S.Sn., M.Sn., Komang Suendra, S.E., Kak Lole, Dewa Aji Kusamba, Putu Sutresna Putra, S.Sn., Gusti Putu Yasa, I Wayan Sukeman, Mangku Mantra, Ketut Sariyasa, Ajik Bayad, I.B. Wiryanata, dan Ida Bagus Giri Adnyana. “Pendukung Tembang Semara Jayaprana ini merupakan perpaduan seniman-seniman senior dan seniman-seniman muda yang namanya sudah tidak asing lagi di telinga pencinta seni pertunjukan Bali. Mayoritas dari mereka merupakan pragina arja dan drama gong yang sudah malang-melintang di panggung seni pertunjukan Bali,” ujar Dewa Bondres kepada Bali Post, Senin (5/10).
Menurut Dewa Bondres, Tembang Semara “Jayaprana” dikemas dalam 20 episode di mana tiap-tiap episode berdurasi satu jam. Seluruh pupuh yang dilantunkan para penembang berdasarkan Lontar Geguritan Jayaprana yang dibuat pada Buda Kliwon Wuku Gumbreg Sasih Kelima Tahun Saka 1564 yang sudah dialihaksarakan oleh Ketut Ginarsa.
“Seluruhnya merupakan Pupuh Ginada dengan beragam variasinya seperti Ginada Eman-eman, Ginada Linggar Petak, Ginada Jayaprana, Ginada Dasar, Ginada Manis, Ginada Basur, Ginada Bagus Semara dan sebagainya. Pemilihan jenis Pupuh Ginada disesuaikan dengan cerita yang terangkum dalam larik-larik pupuh tersebut. Misalnya untuk mencuatkan nuansa kesedihan yang menyayat hati digunakan Ginada Eman-eman. Sedangkan untuk menghembuskan nuansa yang romantis digunakan Ginada Linggar Petak dan seterusnya,” katanya memaparkan.
Dewa Bondres menambahkan, kisah sejati Jayaprana-Layonsari dalam balutan Pupuh Ginada dan Semara Pegulingan ini akan dibuka dengan alunan pupuh yang menceritakan wabah yang melanda desa kelahiran I Nyoman Jayaprana. Wabah yang membuat Jayaprana hidup sebatangkara karena ayah, ibu dan saudara-saudara kandungnya meninggal dunia.
Selanjutnya, Jayaprana kecil diboyong ke istana oleh Raja Kalianget kemudian tubuh dewasa menjadi abdi kesayangan Sang Raja, bertemu kekasih hati Nyoman Layonsari dan menjadi sepasang suami istri. Pada episode pamungkas dikisahkan roh Jayaprana yang terbunuh di ujung keris Patih Saunggaling bertemu roh Layonsari yang memilih mengakhiri hidupnya (bunuh diri) di sunyaloka.
Layonsari memilih jalan kematian itu lantaran tak kuasa berpisah dengan sang kekasih hati dan jalinan kisah cinta sejati mereka berlanjut di dunia lain. Menariknya, lantunan pupuh demi pupuh itu akan diiringi dengan cuplikan-cuplikan adegan dalam Drama Keraton “Jayaprana” yang sudah lebih dulu ditayangkan di Bali TV. “Kami sengaja menampilkan cuplikan-cuplikan adegan dalam Drama Keraton Jayaprana itu untuk menghidupkan suasana sekaligus memudahkan pemirsa untuk mencerna makna yang terkandung dalam lantunan pupuh-pupuh tersebut,” tegas Dewa Bondres. (Sumatika/balipost)