Beberapa perajin tengah menyelesaikan pembuatan gerabah di Denpasar. (BP/eka)

Oleh Dwi Yustiani, S.ST.

Bertahun-tahun sebagai wilayah destinasi terbaik dunia, bahkan menurut Tripadvisor, Bali masih menjadi salah satu destinasi terpopuler dunia di tahun 2020. Meskipun di tengah pandemi, angin segar di sektor pariwisata mulai berembus. Namun senyatanya, seiring dengan naiknya kasus positif Covid-19, pembukaan pariwisata sedikit tidaknya masih terkendala.

Kepercayaan akan keamanan Bali untuk dikunjungi sangat dipertanyakan. Bahkan seiring dengan collaps-nya industri pariwisata menyisakan permasalahan, yakni permasalahan hajat hidup para pekerja di sektor pariwisata yang telah kehilangan sumber penghidupannya. Data Badan Pusat Statistik menyebutkan bahwa sesungguhnya pada bulan Februari 2020 persentase penduduk yang bekerja di sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan capai nilai paling tinggi, yakni 19,60 persen dari total penduduk Bali yang bekerja, sementara hanya 12,04 persen penduduk Bali bekerja pada sektor pariwisata yang diwakili oleh kategori penyedia jasa akomodasi dan makan minum.

Jika dikaitkan dengan fenomena yang dialami Bali saat ini yakni di mana-mana industri pariwisata tengah collaps, restoran berangsur ‘’sesak napas’’ maka diduga akan ada 12,04 persen penduduk Bali yang bekerja bertransformasi menjadi pengangguran dengan catatan belum ada pekerjaan alihan yang dapat ditempuh.

Ekonomi pandemi memang sangat spesial. Ia mampu mengubah paradigma perekonomian dan mampu memberi patahan pada skema-skema ekonomi yang ada. Sebagai contoh saja saat bulan hari raya Idul Fitri, yang secara teori ekonomi biasanya membentuk sebuah kondisi harga barang menjadi melonjak yang menghasilkan sebuah kondisi inflasi, maka saat pandemi terjadi, justru terjadi deflasi pada saat hari raya tersebut. Hal ini diduga disebabkan karena daya beli masyarakat menurun di tengah pandemi.

Diduga juga dengan tutupnya industri pariwisata seperti restoran yang notabene menjadi konsumen utama dari produk pertanian Bali, menyebabkan harga pangan kembali jatuh. Fenomena menjamurnya pedagang telur dadakan seperti yang ada di sepanjang Jalan Puputan Renon, memberi isyarat akan ketakutan pedagang ayam untuk menetaskan telurnya, karena isu resesi yang akan dihadapi, bahkan ketakutan ayam dagangannya tidak laku. Para pemain besar pun turut andil dalam fenomena ekonomi pandemi, betapa restoran-restoran besar kini ikut dalam pasar pinggir jalan, menjajakan makanannya dan harus bersaing dengan pedagang nasi jingo di pinggir jalan.

Baca juga:  Problem Migrasi Iklim

Tidak hanya dari sisi pergerakan harga barang, bahkan kemerosotan perekonomian dari sisi foreign trading tengah membuat skema baru. Negara berlomba-lomba untuk meningkatkan ekspornya, tentu untuk menyelamatkan ekonomi. Inilah hanya beberapa bukti dari legacy yang ditimbulkan oleh pandemi di tahun 2020 ini. Sebuah peninggalan yang akan memberikan pelajaran berharga bahwa tidak ada yang tahu dan tidak ada yang bisa serta tidak ada satu pun negara yang bersiap menghadapi peristiwa sebesar ini.

Ekonomi pandemi dalam konteks legacy, mengisyaratkan bahwa apa dampak yang telah ditimbulkan oleh pandemi dari sisi ekonomi yang memberikan tantangan kepada Bali untuk kembali berupaya bereinkarnasi menjadi wilayah dengan ekonomi yang kokoh. Katakan saja UMKM di Bali yang mulai digalakkan, serta industri kreatif yang telah mulai bermunculan. Dengan memanfaatkan keunikan dan kekhasan Bali saja dirasa akan ada sangat banyak kemungkinan industri kreatif yang bermunculan bak jamur. Sebelumnya industri kreatif menjadi sumber ekonomi alternatif, tidak menutup kemungkinan bahwa pada ekonomi pandemi industri kreatif mampu menjadi sumber ekonomi utama selain pertanian.

Menyoroti langkah Pemerintah Provinsi Bali dalam menyediakan payung hukum bagi pelaku industri dipandang menjadi langkah yang tepat. Pembangunan industri bebasis budaya branding Bali yang ditegaskan oleh Gubernur Bali memiliki nilai luhur yakni mengembangkan potensi pertanian dan industri kerajinan rakyat berbasis kearifan lokal. Kemampuan masyarakat Bali dalam berkecimpung pada industri kreatif cukup menjanjikan, pasalnya budaya Bali yang sudah tumbuh mengakar pada masyarakat Bali dapat menjadi sumber penghidupan masyarakat Bali dengan cara yang berbeda. Dengan adanya Ranperda tentang Rencana Pembangunan Industri Provinsi Berbasis Budaya Branding Bali ini diharapkan dapat meningkatkan nilai tambah produk dari Bali. Sebelumnya telah terbit pergub mengenai pemasaran dan pemanfaatan produk lokal Bali yaitu Pergub Nomor 99 Tahun 2018, yang juga memiliki misi mulia yakni mewujudkan kemandirian pangan, meningkatkan nilai tambah dan daya saing pertanian, perikanan, dan industri kerajinan rakyat. Beberapa payung hukum ini diharapkan mampu menjembatani permasalahan industri kreatif Bali serta mampu membuat semakin berkembangnya industri kreatif, sehingga mampu memperkokoh perekonomian Bali secara umum.

Baca juga:  Sepanjang 2023, Ekonomi Indonesia Tumbuh 5,05 Persen

Untuk mendukung secara penuh akan perkembangan perekonomian, dilihat dari sisi industri, dalam membentuk ekonomi kreatif berbasis branding budaya Bali terdapat beberapa strategi yang mungkin dapat dioptimalisasikan. Pertama adalah kreativitas dan keterampilan dari SDM yang berkecimpung dalam sektor kreatif. Orang Bali dikenal sangat kreatif. Orang Bali dikenal dengan cara pribadinya yang sangat menghargai budaya lokal. Oleh karena itu, peran SDM Bali dalam menguatkan sektor kreatif menjadi modal utama. Pembangunan SDM yang dapat dilalui dengan mengadakan pealatihan-pelatihan untuk memperkuat potensi kreativitas SDM dapat diupayakan. Provinsi Bali telah melakukan berbagai pelatihan industri kreatif seperti pemanfaatan digitalisasi pemasaran di tengah pandemi. Kementerian Perindustrian pun menargetkan ada 2.000 pelaku industri kreatif lahir dari Bali dengan memanfaatkan Balai Diklat Industri di Denpasar. Optimisme pemerintah pusat akan berkembang pesatnya industri kreatif di Bali turut memberikan dorongan penuh dalam pengembangan industri kreatif di Provinsi Bali.

Baca juga:  Mewujudkan Ekosistem Keluarga Berliterasi

Kedua adalah meningkatkan nilai tambah produk. Satu produk bisa saja identik dan bisa saja hampir sama. Bedanya adalah bagaimana storytelling yang berhasil diciptakan. Misalnya seperti produk cokelat. Kita bisa lihat di toko oleh-oleh bahwa produk cokelat yang ditawarkan memiliki kemasan unik, mengandung kata-kata, yang bagi setiap orang yang membelinya mampu tersenyum menggelitik, karena ada cerita yang disampaikan hanya melalui kemasan. Jadi, untuk memberikan nilai tambah, ada sebuah proses kreatif yang tertuang.

Ketiga yakni teknologi dan E-Commerce. Perdagangan elektronik saat ini tengah menjadi tren utama dalam dunia usaha. Dalam sehari selama 24 jam kita bisa melakukan proses jual-beli, mengalahkan toko, kios, bahkan mall yang buka dari jam 8 pagi hingga jam 10 malam contohnya. Dampak yang ditimbulkan adalah perpanjangan waktu usaha, yang berdampak pada peningkatan penjualan. Dari sisi harga pun mungkin lebih murah dibandingkan usaha konvensional, karena tidak memasukkan biaya sewa toko, atau gaji karyawan bagi usaha rumahan. Untuk menjalankan bisnis di dunia e-commerce, pengetahuan mengenai pemanfaatan teknologi dibutuhkan untuk masuk di dunia tersebut.

Keempat, yakni tetaplah mematuhi protokol kesehatan. Tidak hanya pelaku usaha. Setiap orang pun harus mematuhi protokol kesehatan. Tidak usah menunggu kapan vaksin tiba, tetapi lakukanlah saat ini apa yang kita bisa. Dan vaksin sesungguhnya adalah pengenaan masker secara tepat. Jika bukan kita yang saling mendukung satu sama lain maka siapa lagi. Hanya dengan sinergitas kita akan membawa Bali keluar dari permasalahan krisis kesehatan yang berujung krisis ekonomi ini. Lebih baik pengap memakai masker daripada pengap menghadapi ekonomi yang kian merosot.

Penulis, Fungsional Statistisi Pada Badan Pusat Statistik Provinsi Bali

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *