Oleh I Putu Hendra Wirawan
Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) di masa pandemi Covid-19 mungkin merupakan sesuatu yang baru dalam dunia pendidikan di Sekolah Dasar. Apalagi Home Schooling yang biasanya dianut oleh orang Barat kebanyakan adalah hal baru.
Sejak Indonesia menetapkan wilayahnya sebagai zona darurat Covid, guru-guru dan siswa seakan mengalami perubahan yang drastis. Guru mau tidak mau dipaksa untuk berinovasi menyajikan pembelajaran guna keberlangsungan pendidikan di wilayahnya.
Namun kerap pembelajaran yang dilangsungkan terdapat banyak sekali kendala. Teknologi menjadi suatu solusi di tengah keadaan yang tidak pasti seperti sekarang ini.
Namun sejalan dengan hal itu kesulitan untuk melangsungkan pembelajaran dengan berbasis teknologi informasi perlu dijadikan catatan. Seperti contohnya kendala jaringan, siswa yang tidak memiliki gawai karena ekonomi siswa yang bersangkutan masih berada di ekonomi menengah ke bawah, jadwal siswa dan orangtua berbenturan, sehingga siswa tidak sepenuhnya didampingi orangtuanya untuk belajar dan menyelesaikan tugas yang diberikan gurunya serta kendala-kendala lain yang perlu dievaluasi bersama.
Di akhir Maret 2020, siswa SD Negeri Hindu 1 Bukian pertama kalinya melaksanakan pembelajaran jarak jauh. Pembelajaran yang dirasa efektif adalah pembelajaran daring asinkron dengan memanfaatkan WhatsApp group yang sebelumnya dibuat oleh guru lalu siswa diinstruksikan untuk bergabung. Pembelajaran seperti ini memudahkan siswa untuk mengikuti pembelajaran walaupun sebenarnya mereka lebih baik mendapatkan pembelajaran sinkron secara langsung tatap muka dengan gurunya.
Selain itu pembelajaran sinkron dengan tatap muka justru lebih efektif karena guru lebih mudah melakukan interaksi terhadap siswa yang mengalami kesulitan belajar maupun memberikan penguatan kepada siswa yang sudah mengikuti pembelajaran dengan capaian kompetensi memuaskan. Namun pembelajaran asinkron juga bukan juga hal mudah.
Banyak kesulitan yang ditemukan di lapangan terkait pembelajaran jarak jauh ini. Salah satunya adalah ketepatan pengerjaan tugas yang sudah disepakati bersama siswa. Ternyata setelah ditelusuri ada siswa yang kesulitan karena siswa bersangkutan tidak memiliki kuota belajar, atau siswa yang kampungnya berada di zona yang sulit sinyal, sehingga ini juga akan menghambat pembelajaran.
Di Desa Bukian tepatnya di Banjar Subilang, ada salah satu siswa yang mengalami kesulitan belajar ketika mengikuti pembelajaran dalam jaringan. Hingga bulan keempat sekolah juga masih belum berani untuk bertindak sehingga konsultasi dan membangun hubungan bersama orangtua siswa dilakukan.
Pertama, guru berkonsultasi kepada kepala sekolah mengenai masalah yang dialami guru dan juga siswanya. Kemudian setelah berkoordinasi dengan kepala sekolah dilanjutkan kepada pengawas di gugus sehingga dapat ditarik kesimpulan dilakukanlah kunjungan ke rumah siswa yang awalnya bertujuan untuk menanyakan kendala yang dialami oleh siswa dan orangtua selama pembelajaran jarak jauh dilakukan.
Siswa yang kami kunjungi ke rumahnya adalah siswa yang berada di daerah minim sinyal. Seperti yang dikutip dalam Buku Saku ‘’Asesmen Diagnosis Kognitif Berkala’’ yang diterbitkan oleh Pusat Asesmen dan Pembelajaran Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, asesmen untuk mengetahui hambatan dan kelemahan siswa pada saat belajar dari rumah perlu dilakukan.
Asesmen yang meliputi aspek kognitif dan nonkognitif perlu dilakukan agar pembelajaran yang dilakukan sesuai dengan kondisi siswa. Hasil asesmen memberikan dasar kepada guru untuk menetapkan perlakuan atau strategi yang tepat kepada masing-masing siswa. Remedial atau pengayaan yang dilakukan sebagai tindak lanjut hasil asesmen merupakan upaya untuk memastikan tidak ada siswa yang tertinggal atau dirugikan.
Namun secara detail, asesmen diagnosis nonkognitif di awal pembelajaran diberikan pada siswa untuk mengetahui kesejahteraan psikologi dan emosional siswa, aktivitas siswa selama belajar di rumah dan kondisi keluarga siswa. Dalam melaksanakan asesmen diagnosis di awal pembelajaran, guru perlu melakukan tahap persiapan, tahap pelaksanaan, dan tahap tindak lanjut.
Guru memberikan gambar-gambar ekspresi emosional kepada siswa, meminta mereka untuk mengekspresikan perasaan mereka selama belajar dari rumah, meminta siswa untuk mengekspresikan perasaan tersebut dengan bercerita, melalui tulisan atau lukisan, serta mengidentifikasi siswa-siswa yang memilih ekspresi emosional negatif.
Pihak orangtua mengatakan senang karena gurunya telah berkunjung untuk memantau anak-anak mereka, sehingga dari kunjungan tersebut mereka merasa anak mereka diperhatikan. Namun ada juga siswa yang menganggap kedatangan guru merupakan suatu hukuman bagi mereka, sehingga ada pula siswa yang menangis ketika dikunjungi gurunya.
Setelah hasil disampaikan kepada kepala sekolah dan usul dari guru-guru maka ditempuh program guru kunjung untuk memeratakan pembelajaran dan memastikan semua siswa mendapat haknya untuk belajar tanpa memandang kondisi sosial, ekonomi dan sebagainya. Semua siswa berhak mendapatkan pembelajaran yang bermakna.
Sekalipun guru kunjung diberlakukan kepada siswa yang mengalami kendala, pembelajaran secara daring tetap dilakukan. Seperti pembelajaran melalui Whatsapp group, memanfaatkan sumber belajar dalam bentuk video, blog ataupun dalam bentuk audio.
Penulis, guru SD Negeri Hindu 1 Bukian, Payangan, Gianyar-Bali