Oleh Komang Hevi Prima Dewi
Istilah ‘’generasi sandwich’’ pertama kali diperkenalkan pada 1981 oleh Elaine Brody dan Dorothy Miller, dua ahli gerontologi — ilmu sosial yang mempelajari tentang lanjut usia. Pada masa itu, titel generasi sandwich disandang oleh baby boomers, tetapi seiring berjalannya waktu pada 1990-an hingga 2000-an, sebutan ini seperti diestafetkan kepada generasi X. Saat ini, titel generasi sandwich perlahan berpindah ke tangan generasi Y.
Selayaknya sandwich alias roti lapis, kelompok ini punya tumpukan tanggung jawab yang membebani manajemen finansialnya. Selain memenuhi kebutuhan diri sendiri, generasi sandwich harus menanggung beban finansial seperti mengurus keperluan orangtua, pasangan, anak, termasuk anggota keluarga lainnya. Kondisi terjepit di antara tanggung jawab tersebut membuat generasi sandwich juga harus membagi perhatian antara keluarga inti, terutama anak dan orangtua atau keluarga.
Kemunculan wabah pandemi yang berujung pada tantangan ekonomi global menjadikan fenomena generasi sandwich semakin meluas. Diberlakukannya aturan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), perlambatan perekonomian, serta kerentanan kondisi kesehatan yang terjadi secara serentak membuat tantangan terasa semakin sulit.
Covid-19 membuat pengeluaran menjadi lebih besar daripada pendapatan karena bukan hanya pemenuhan kebutuhan mendasar yang harus diprioritaskan selama pandemi. Banyak kebutuhan ‘’ekstra’’ yang muncul belakangan ini. Layanan jaminan kesehatan yang memadai bagi orang tua yang rentan akan Covid-19, kebutuhan pendidikan anak yang sekarang lebih banyak menggunakan fasilitas daring, serta keharusan memiliki dana darurat di tengah ketidakpastian ini adalah sejumlah hal yang membuat generasi sandwich ‘’baru’’ kesulitan, baik soal mencari penghasilan tambahan maupun mengelola emosi.
Menjalankan peran sebagai generasi sandwich tentu tidak mudah. Apalagi pada kenyataannya generasi sandwich ‘’baru’’ yang sedang berada di usia produktif biasanya belum mencapai kemandirian finansial. Mereka membiayai kehidupan sehari-hari dengan bertahan dari gaji bulanan dan masih harus membaginya ke banyak pos pengeluaran. Alhasil, generasi tersebut harus berjuang lebih keras untuk membiayai masa depan anak-anak sekaligus menjaga kelangsungan hidup pasangan dan orangtua.
Tidak bisa dimungkiri, beban yang dipikul generasi sandwich menimbulkan permasalahan lain, mulai dari perbedaan pendapat antarkeluarga, stres dalam pekerjaan, tidak adanya keseimbangan hidup dan sosial, hingga rasa rendah diri karena merasa belum mampu. Apalagi di tengah masa pandemi Covid-19 seperti sekarang ini, pemasukan berkurang drastis namun pengeluaran jalan terus.
Survei Badan Pusat Statistik (BPS) yang dilakukan pada bulan Juni 2020, memberikan gambaran bahwa penurunan pendapatan dialami oleh hampir sebagian kelompok berpenghasilan. Lebih dalam lagi terungkap bahwa kelompok masyarakat miskin, rentan miskin, dan yang bekerja di sektor informal merupakan yang paling terdampak dari mewabahnya pandemik Covid-19. Sebanyak 70 persen masyarakat berpendapatan rendah (di bawah Rp 1,8 juta) menjadi kelompok yang paling banyak mengalami kemerosotan pendapatan. Tidak hanya itu, ternyata pada kelompok berpenghasilan tinggi pun terungkap bahwa 3 dari 10 responden mengalami hal serupa. Bertambahnya beban hidup generasi sandwich terekam dalam hasil riset yang dilakukan Jakpat, 22-23 April lalu, ditemukan fakta 68 persen generasi sandwich mengalami penurunan pendapatan selama pandemi Covid-19. Rasio yang sama juga ditemukan pada kelompok responden non-generasi sandwich. Akan tetapi, jelas beban hidup mereka lebih ringan dibanding orang-orang yang termasuk generasi sandwich.
Di sisi lain terungkap bahwa di tengah pendapatan yang semakin tergerus, kondisi diperparah dengan pengeluaran yang semakin meningkat dari biasanya. Baru-baru ini BPS kembali merilis hasil survei mengenai perilaku masyarakat di masa pandemi covid-19 dan mengungkap fakta bahwa hampir 53 persen responden mengaku mengalami peningkatan pengeluaran dibandingkan di awal pandemik dan PSBB (April s.d. Juni). Tentu kondisi ini semakin memperburuk keadaan, utamanya bagi generasi sandwich yang beban tanggungannya menjadi lebih besar dan tidak dapat ditunda walaupun kantong mereka terus menipis.
Lantas bagaimana menghadapinya? Akankah generasi sandwich mampu bertahan dan melewati tantangan ini? Beradaptasi di masa pandemi bukanlah hal yang mustahil dilakukan. Apalagi di zaman sekarang generasi yang sebagian besar semakin akrab dengan dinamika global, tentu saja ada kemungkinan besar bertahan dalam menghadapi keadaan krisis. Apalagi dengan kemajuan teknologi yang kian pesat dan cara pandang masyarakat yang lebih terbuka, menjunjung tinggi kebebasan, kritis dan berani, sehingga akan lebih mudah untuk beradaptasi.
Beberapa langkah yang bisa ditempuh saat keadaan seperti ini adalah dengan berusaha mencari sumber penghasilan baru, utamanya bagi mereka yang sama sekali tidak berpenghasilan di kala pandemi Covid-19. Menurut Perencana Keuangan Independen Ahmad Gozali kepada lokadata.id (15/5/2020), sumber pendapatan baru atau tambahan wajib dimiliki masyarakat, khususnya bagi yang penghasilannya turun 50 persen bahkan lebih. Pendapatan baru bisa dicari, misalnya, dengan menjual berbagai barang atau makanan yang laku secara musiman. Menjual produk-produk yang memiliki daya tawar lebih awet juga lebih disarankan. Contohnya seperti makanan, produk segar hasil olahan, makanan beku, serta yang trennya akan tetap meningkat walaupun pandemi adalah produk kesehatan seperti vitamin, produk herbal, madu, dan sejenisnya. Karena masyarakat masih tetap tinggi awareness-nya terhadap kebersihan dan kesehatan.
Langkah kedua adalah mengatur budget/keuangan. Bisa dengan pengaturan kembali pos pengeluaran yang selama ini ditekan melalui efisiensi biaya transportasi, biaya makan di luar serta budget bersosialisasi karena sebagian besar aktivitas dilakukan #dirumahaja. Selain itu, pengelolaan dana cadangan lebih diutamakan berdasarkan tingkat urgensinya. Pengeluaran yang sifatnya tersier seperti melakukan rekreasi hingga konsumsi barang-barang mahal harus dilakukan dengan pertimbangan yang matang. Sadar akan investasi dan mempersiapkan tabungan hari tua juga merupakan salah satu langkah nyata untuk memutus rantai fenomena generasi sandwich. Hal yang tidak kalah penting untuk dilakukan adalah menjaga mental agar tetap sehat dan tidak stres, karena beban yang menumpuk tidak disertai dengan solusi dan kepastian mengenai kapan kondisi ini akan berakhir tentu lebih cepat memacu emosi dan memancing stres.
Penulis, bekerja sebagai Statistisi di Badan Pusat Statistik Provinsi Bali