Oleh IGK Manila
Penolakan terhadap Undang-undang Cipta Kerja (UU Ciptaker) yang terjadi di mana-mana dan dengan berbagai cara adalah bagian dari proses demokratisasi. Amat disayangkan tentu saja bahwa terjadi berbagai laku vandalisme seperti perusakan dan pembakaran berbagai fasilitas publik yang tak bersalah.
Padahal, daripada melakukan tindakan anarkis, memaksimalkan penggunaan jalur konstitusional dengan mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK) adalah langkah berikut yang lebih arif.
Pilihan sebagian elemen masyarakat yang menolak untuk tidak turun ke jalan di Bali tentu saja amat bijaksana. Selain karena situasi pandemi di mana rawan terjadi penularan, sektor pariwisata amat sensitif dengan aksi-aksi sosial yang bisa berujung anarki. Di tengah pariwisata yang babak belur, ketidaknyamanan sosial karena aksi-aksi tersebut akan semakin bertambah. Berdemonstrasi itu demokratis, tetapi mengantisipasi berbagai ekses merusak dari sebuah gerakan sosial amat diperlukan saat ini.
Saya sendiri memilih pandangan yang lebih optimis dan dalam tulisan ini menyarankan tindakan antisipatif menyusul disetujuinya UU Ciptaker tersebut oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Menurut pemerintah, anggota legislatif serta massa yang mendukung, UU Ciptaker dilihat sebagai cara untuk memulihkan perekonomian nasional dan memastikan pertumbuhan lapangan kerja. Di tengah ekonomi yang lesu terutama karena bencana pandemi saat ini, UU Ciptaker betul-betul diharapkan akan membuka keran aliran investasi karena berbagai kemudahan dan kepastian bagi para pengusaha di dalamnya.
Tanpa terlibat dalam kontroversi yang menyebabkan demonstrasi penolakan –karena menunggu uji materi di MK adalah pilihan yang lebih rasional — kita mulai dari antisipasi terhadap hal yang paling krusial, yakni ketenagakerjaan atau perburuhan. Sebagai daerah dengan pariwisata sebagai andalan, di mana jasa adalah komoditas utama, isu utama yang perlu diantisipasi oleh penyelenggara pemerintahan dan masyarakat sipil adalah nilai tawar tenaga kerja. Dalam dunia usaha, ketika tenaga kerja ahli langka atau terdapat tenaga kerja ahli yang lebih murah, outsourcing adalah alternatif yang cenderung dipilih.
Namun dalam konteks Bali pada dasarnya ini tidak terlalu bermasalah karena mengandalkan pariwisata kultural, di mana sebagian aspek kultural tersebut melekat langsung pada diri orang Bali sendiri. Ketika wisatawan nusantara dan mancanegara datang ke Bali untuk menikmati objek alam atau buatan, misalnya, mereka tak akan betul-betul menikmatinya jika tidak ada orang Bali yang secara langsung bersama mereka. Orang Bali dengan kultur dan cara hidup mereka adalah pusat dari pariwisata itu sendiri.
Masalah akan muncul, oleh karena itu, ketika orang-orang Bali yang terlibat dalam pariwisata justru tidak lagi mempraktikkan nilai-nilai dan budaya yang menjadi identitas sosial mereka. Ketika itu terjadi, misalnya ketika seorang pemandu wisata berubah menjadi robot yang tidak memberikan kehangatan manusiawi dan kultural, para wisatawan atau pengusaha pariwisata akan memilih menggunakan tenaga outsourcing, yang lebih fasih berbicara dalam ragam bahasa, ramah, disiplin, bersih dan seterusnya.
Supaya nilai tawar tenaga kerja Bali tetap ada atau bahkan naik, dua kunci utamanya adalah mempertahankan berbagai tradisi kehidupan yang khas sebagai lembaga pendidikan alamiah dan penguatan pendidikan formal yang memanusiakan manusia Bali. Terkait yang pertama, masyarakat Bali harus terus-menerus diajak dan difasilitasi — baik oleh penyelenggara pemerintahan daerah, pengusaha dan lembaga swadaya masyarakat — untuk terus menjalankan berbagai kegiatan kultural, kegiatan-kegiatan ibadah, serta menghidupkan lembaga-lembaga adat yang menjadi wadah sekaligus simbol solidaritas sosial mereka. Bagi anak-anak muda Bali, di tengah badai budaya global yang hebat, harus tumbuh identitas sosial sebagai orang Bali dan mampu bersikap sebagai orang Bali. Bagi generasi yang lebih tua, kebanggaan sebagai orang Bali harus ditularkan dengan memfasilitasi terjadinya pewarisan kultural secara wajar dan kontekstual.
Para penyelenggara pemerintahan — baik eksekutif, legislatif dan yudikatif — lebih baik mengalihkan semua energi, biaya dan waktu yang biasanya digunakan untuk seremoni-seremoni atau kegiatan-kegiatan simbolik-birokratis menjadi kegiatan-kegiatan kultural ke-Bali-an langsung bersama masyarakat. Para pengusaha pariwisata atau terkait pariwisata tidak saja harus betul-betul berusaha mem-Bali-kan usaha mereka, tetapi secara jujur dan sukarela harus memaksimalkan penggunaan dana corporate social responsibility (CSR) untuk tujuan-tujuan kultural.
Sementara bagi berbagai kelompok masyarakat sipil, lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan lembaga lainnya, selain terus-menerus bersikap kritis terhadap apa yang dilakukan oleh pemerintah dan pengusaha pariwisata, harus menjalankan suatu proses pendidikan kultural yang memberdayakan masyarakat. Setelah penguatan pendidikan kultural-alamiah berdasar ke-Bali-an, berbagai bentuk pendidikan formal, informal dan non-formal harus bergerak dan dikuatkan secara seirama. Sekolah-sekolah di Bali, mulai dari pendidikan anak usia dini sampai perguruan tinggi, tidak saja harus memiliki warna simbolik Bali, tetapi lebih jauh betul-betul mengakar secara kultural.
Ukuran keberhasilan pendidikan sendiri sebenarnya bukanlah nilai, ranking atau piala dalam lomba-lomba. Akan tetapi, dalam praktik pendidikan yang sebenarnya, keberhasilan pendidikan ditunjukkan dengan berbagai pikiran, sikap dan karya belajar yang kreatif. Anak-anak muda Bali harus tumbuh sebagai manusia matang, yang tidak manja, yang paling kurang bisa berbuat sesuatu bagi diri dan lingkungan terdekatnya. Anak-anak Bali harus mampu menjadi orang dengan tangan di atas, bukan mereka yang mengemis atau berlaku koruptif dengan tangan di bawah.
Sementara bagi angkatan kerja saat ini, yang sebagian masih bisa bekerja dan sebagian lainnya dirumahkan atau beralih profesi, pemerintah, pengusaha dan masyarakan sipil harus cepat bertindak. Sambil berdaya-upaya menghidupkan kembali sektor pariwisata dan berbagai sektor ekonomi lainnya, pelatihan-pelatihan gratis yang bukan basa-basi wajib diselenggarakan. Bukan basa-basi di sini berarti bahwa para peserta mengikuti pelatihan bukan hanya supaya dapat sertifikat, tetapi sampai pada tahap mahir dan mampu berdikari dengan keterampilan tersebut.
Ukuran keberhasilan pelatihan adalah berdirinya ribuan usaha mikro baru dengan diversifikasi yang luas di seluruh Bali. Dalam hal ini, pemerintah, pengusaha dan lembaga masyarakat sipil harus sampai pada pengelolaan dan distribusi permodalan, quality control dan aspek distribusi. Bahkan pemerintah, melalui dinas-dinas terkait sesuai jenis industri mikro atau usaha yang dijalankan masyarakat — satu hal yang sudah berulang saya sampaikan melalui media ini — wajib menjadi penjamin pemasaran dan bahkan pembeli dan kemudian mendistribusikan.
Selain akan mengokohkan ekonomi kerakyatan Bali yang mengakar kuat ke bawah — ketika ekonomi pasar yang oligarkis pada dasarnya labil karena tak berakar kokoh — serta angka pengangguran dan outsourcing akan pupus, ketergantungan Bali pada ekspor juga akan menurun. Ketergantungan pada banjir barang-barang murah, misalnya, yang pada dasarnya juga bisa diproduksi dengan muatan kultural yang khas di Bali sendiri, akan tertekan.
Penulis, Gubernur Akademi Bela Negara (ABN) Jakarta