Rumah warga Banjar Bantas hancur diterjang longsor pada 2017 lalu. Peristiwa ini mengakibatkan 7 orang meninggal dunia. (BP/dok)

BANGLI, BALIPOST.com – Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Bangli dituding tak serius mengurus proses relokasi korban bencana alam di Banjar Bantas, Desa Songan, Kintamani. Pasalnya sudah tiga tahun lebih bencana terjadi, hingga saat ini proses relokasi di Bantas tak kunjung tuntas.

Tudingan itu disampaikan Wakil Ketua DPRD Bangli I Komang Carles, Jumat (23/10). Carles menyayangkan sampai saat ini rencana relokasi belum juga terealisasi.

Ia pun prihatin dengan nasib warga korban bencana yang masih terkatung-katung. Menurutnya, tak kunjung tuntasnya proses relokasi di Bantas karena BPBD Bangli tak serius mengurusnya. “BPBD tidak serius. Kalau memang serius mengurusnya, lakukan koordinasi dengan pusat. Pasti bisa,” ujarnya.

Seharusnya, lanjut Carles, relokasi terhadap warga di sana menjadi prioritas. Sebab itu menyangkut keselamatan.

Bencana alam rawan terjadi di Bantas. “Kasihan warga, apalagi sekarang situasi mulai musim hujan,” kata Carles.

Baca juga:  Sejak Januari Sejumlah Bencana Alam Terjadi di Bangli, Terbanyak di Kecamatan Ini

Ia pun kembali mendorong BPBD agar bekerja serius. Jangan bekerja setengah-setengah.

Soal kendala adanya kekhawatiran BPBD dengan persyaratan pusat bahwa lahan warga harus diputihkan terlebih dahulu sebelum menempati lahan hutan, Carles mengatakan itu tinggal dikoordinasikan dan dikomunikasikan. Menurutnya tidak mungkin pemerintah pusat akan membohongi masyarakat. “Intinya perlu komunikasi. Biar tidak alasan saja BPBD. Kalau mau diurus, bisa. Tapi harus serius. Apalagi Menteri sudah pernah turun di sana saat bencana dulu,” kata politisi Demokrat asal Batur itu.

Selain soal tak kunjung tuntasnya proses relokasi, Carles pun kecewa karena belum ada penanganan terhadap jalan di Banjar Tandang, Batur yang putus akibat bencana alam 2017 lalu. Kata dia, jalan berstatus kabupaten itu seharusnya bisa mendapat prioritas.

Baca juga:  Danlanud Ngurah Rai Sebut Jiwa Heroik di "Kadet 1947" Menginspirasi

“Saya kecewa karena justru jalan-jalan yang tidak produktif malah dihotmix, diutamakan,” pungkasnya.

Sebagaimana yang diketahui bencana tanah longsor terjadi di Banjar Bantas pada Februari 2017 lalu. Tujuh orang warga setempat dilaporkan tewas akibat tertimbun longsor.

Longsor terjadi saat wilayah Banjar Bantas diguyur hujan deras dini hari. Longsoran tanah diakibatkan dari dinding penahan tanah (DPT) yang ambrol.

Selain di Banjar Bantas, di hari yang sama musibah tanah longsor juga terjadi di tiga desa lainnya yakni Desa Awan, Sukawana dan Subaya. Sebanyak enam orang dilaporkan meninggal dunia di tiga lokasi tersebut.

Pasca kejadian itu, pemerintah berjanji merelokasi warga korban bencana di Bantas dan Yeh Mampeh, Batur. Sampai saat ini yang sudah terealisasi hanya relokasi korban bencana di Yeh Mampeh. Untuk warga di Bantas, belum terealisasi.

Baca juga:  Diajukan Sejak 2017, Relokasi Warga Bantas Tak Kunjung Terealisasi

Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Bangli I Ketut Gde Wiredana yang dikonfirmasi Selasa (20/10) mengungkapkan ada beberapa kendala yang dihadapi dalam proses relokasi di Bantas. Salah satunya soal tukar guling lahan.

Jelasnya, seluruh kepala keluarga (KK) warga Bantas yang menjadi korban bencana sudah menyanggupi lahan tempat tinggalnya ditukar dengan lahan milik kehutanan yang ada di Banjar Serongga, desa setempat. Namun untuk bisa tukar guling, ada persyaratan yang harus dipenuhi.

Lahan yang ditempati warga saat ini harus diputihkan terlebih dahulu. Mengenai persyaratan itu, ada kekhawatiran dari pihaknya. “Ketika sudah diputihkan kan hilang tanah warga. Lalu nanti siapa yang akan beri kepastian jaminan lahan penukarnya,” ungkapnya. (Dayu Swasrina/balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *