Oleh Ir. Anak Agung Dalem, S.T., M.T.
Dampak La Nina telah memberi peringatan bahwa saat ini Bali sedang menghadapi ambang batas La Nina. BMKG dan Pusat Layanan Iklim lainnya seperti NOAA (Amerika Serikat), BoM (Australia), JMA (Jepang) memperkirakan La Nina dapat berkembang terus hingga mencapai itensitas La Nina Moderate pada akhir tahun 2020. Catatan historis menunjukkan bahwa La Nina dapat menyebabkan terjadinya peningkatan akumulasi jumlah curah hujan di Indonesia hingga 40% di atas normalnya.
Prakiraan cuaca BMKG ini seperti menjadi sebuah pembuktian apa yang sudah dianalisis sebelumnya oleh Departemen Lingkungan Hidup di mana akan terjadi peningkatan curah hujan jauh di atas normal. Seperti menjadi sesuatu yang tak terhindarkan bahwa di akhir tahun ini wilayah di Bali, terutama kawasan cepat tumbuh akan mengalami bencana banjir dan tanah longsor.
Di samping curah hujan yang meningkat tajam, besarnya perubahan tata guna lahan yang terus menurunkan luasan ruang terbuka hijau dan meningkatnya perkerasan permukaan tanah telah meminimalisasi resapan air ke dalam tanah serta melipatgandakan aliran air permukaan (run off). Terancamnya keberadaan badan-badan air juga menjadi fenomena yang lazim di kawasan perkotaan, menjadi membudaya konstruksi masyarakat yang melanggar sempadan sungai ataupun membangun bangunan melintang saluran yang serampangan, sehingga penampang badan airnya semakin sempit, yang menurunkan kapasitas tampung air permukaan sementara debitnya semakin meningkat.
Hujan merata tanggal 10 Oktober 2020 seolah menjadi pembuktian awal bahwa kita akan menghadapi perulangan bencana akibat cuaca ekstrem. Bali Post mencatat hujan lebat di hari akhir pekan tersebut menyebabkan banjir, longsor dan kerusakan di 57 titik di Kabupaten Tabanan, 12 titik di Gianyar, 8 titik jaringan air bersih di Bangli, longsor di Jembrana, banjir dan jebolnya jalan di Klungkung, banjir besar di Jalan Tangkuban Perahu dan Tukad Badung yang viral di medsos, bahkan ada korban meninggal dalam kejadian longsor di Karangasem.
Sebagian besar banjir dan longsor terjadi akibat ketidaksiapan kita menghadapi musim penghujan, drainase yang berfungsi mengeringkan wilayah kurang terpelihara bahkan tertutup sampah liar. Air yang tersumbat berkembang menjadi genangan, sebagian membanjiri permukiman, sebagian lagi membebani lahan sekaligus menurunkan daya kohesi material tanah dan akhirnya longsor. Dapat diamati jalan-jalan berubah menjadi sungai akibat bahu jalan yang semakin meninggi dan menghalangi air permukaan mengalir ke drainase jalan.
Prakiraan BMKG Bali mencatat curah hujan rata-rata bulan Oktober ini sebesar 86,7 mm, terjadi peningkatan dibandingkan rata-rata bulan September 49,7 mm. Walaupun belum melampaui 100 mm (ciri bulan basah) namun sudah memicu besarnya bencana, beruntung hujan di akhir pekan tersebut tidak bersamaan dengan rob atau air laut pasang pada bulan Purnama atau Tilem.
Pasang air laut akan semakin memperlambat aliran air menuju muara-muara sungai yang tentu akan memperparah tingkat banjir. Rata-rata hari hujan bulan Oktober yang hanya delapan hari mengindikasikan bahwa hari hujan masih akan berselingan dengan sebagian besar hari kering.
Cuaca seperti ini biasanya mengakibatkan berkembangnya penyakit demam berdarah (DB) akibat genangan air menjadi media sarang nyamuk. Kali ini bencana hidrometeorologi semakin mengkhawatirkan, seperti pernyataan Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut B. Panjaitan bahwa kejadian banjir akan berisiko meningkatkan pandemi Covid-19, karena sulitnya penerapan protokol kesehatan, menjaga jarak, memakai masker dan mencuci tangan.
Pada bulan November dan Desember, curah hujan rata–rata akan mencapai 217,8 mm hingga 335,8 mm, bahkan akan menemui puncak musim penghujannya pada bulan Januari – Februari 2021, perkiraan cuaca tersebut dapat menggambarkan semakin besarnya ancaman bencana hidrometeorologi yang akan terjadi, yang kemudian akan diikuti berbagai dampak lainnya.
Sudah dilakukan upaya mitigasi bencana guna mengurangi risiko bencana, upaya nonstruktural berupa peringatan cuaca sudah rutin dilakukan BMKG dengan teknologi yang terus berkembang, pemetaan daerah rawan bencana cuaca juga sudah tersedia disertai dengan sosialisasi kepada segenap stakeholder. Mitigasi struktural dilakukan dengan melakukan normalisasi saluran dan badan-badan air, membangun pompa-pompa banjir, juga mendirikan Dinding Penahan Tanah (DPT) pada tebing-tebing rawan longsor. Namun sejalan dengan berbagai mitigasi yang dilakukan, bencana banjir, longsor, putusnya jalan raya dan jaringan air bersih tetap terjadi merata di seluruh wilayah Bali yang tentunya akan mengganggu aktivitas keseharian masyarakat, memperburuk ekonomi yang sedang lesu, menderita kerugian materi dan mengancam kondisi kesehatan masyarakat.
Upaya adaptasi terhadap bencana hirdometeorologi menjadi penting diterapkan untuk melakukan penyesuaian diri terhadap berulangnya kejadian bencana, penyesuaian diri akan dapat mengurangi keterpaparan, menurunkan sensitivitas dan peningkatan kapasitas menghadapi bencana. Adaptasi adalah tindakan langsung mengantisipasi dampak, baik dengan pendekatan reaktif maupun antisipasif seperti meninggikan bangunan rumah lebih dari level genangan banjir, membersihkan endapan yang menumpuk di badan air atupun segera membersihkan sumbatan saluran ketika diketahui air drainase mulai tersumbat, membersihkan bahu jalan depan rumah yang menghalangi air permukaan menuju drainase, menebang dahan-dahan pohon yang rawan patah, melakukan pengelolaan sampah, sehingga tidak menyumbat inlet drainase dan tidak menjadi sarang nyamuk. Adaptasi harus dilakukan sendiri oleh masyarakat dan tidak berharap hanya pada proyek-proyek pemerintah.
Penulis, anggota Forum Bali Lestari