Dr. I Putu Gede Diatmika, S.E., M.Si.Ak., CA., CPA. (BP/Istimewa)

Oleh Dr. I Putu Gede Diatmika, S.E., M.Si.Ak., CA., CPA.

Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) yang mewabah secara global telah berdampak pada sektor pariwisata di Bali. Wabah Covid-19 memukul dunia pariwisata Bali, wabah Covid-19 mengakibatkan kerugian pariwisata Bali mencapai Rp 9,7 triliun setiap bulan, perekonomian Bali saat ini merupakan kondisi terburuk sepanjang sejarah.

Sejak April, hampir 96 persen hotel sudah tutup, karena tidak ada kunjungan wisatawan lagi, jumlahnya bahkan akan terus meningkat hingga 100 persen. Pariwisata Bali kehilangan pendapatan hingga miliaran rupiah per harinya.

Bagaimana Indonesia pada umumnya dan Bali khususnya dapat bangkit? Apa yang bisa dilakukan untuk memitigasinya? Untuk menjawab pertanyaan tersebut perlu memperhatikan beberapa hal; Pertama, sampai kapan wabah ini akan terjadi? Siapa yang dapat menjawabnya? Tentu bukan saya.

Wabah virus Corona/Covid-19 baru pertama kali terjadi, karena itu tidak ada yang tahu persis bagaimana kesudahannya. Akan tetapi, dalam kondisi ini tentu kita juga tidak harus pasrah terhadap keadaan dan berdiam diri. Mencoba merekonstruksi dampak wabah SARS tahun 2003 sebagai pembanding bisa dilakukan. Data menunjukkan bahwa wabah SARS telah menurunkan pertumbuhan ekonomi China dari 11,1 persen (triwulan I-2003) menjadi 9,1 persen (triwulan II-2003).

Namun perekonomian China membaik kembali dan tumbuh menjadi 10 persen dalam triwulan III dan IV tahun itu. Data menunjukkan bahwa pertumbuhan sektor retail dan output industrial di China mengalami penurunan yang sangat tajam. Jika benar bahwa wabah SARS dapat dijadikan pembanding, maka Indonesia dapat membuat skenario untuk perekonomian Indonesia bangkit dan pariwisata Bali dapat kembali pulih.

Baca juga:  Tanggung Jawab dalam Pelayanan Publik

Kedua, bagaimana dampaknya terhadap perekonomian? Tentu terlalu pagi untuk menyimpulkan. Namun kita bisa menduga, perlambatan output industrial di China akan menurunkan permintaan terhadap bahan baku dan bahan pembantu dalam proses produksi. Sekitar 29 persen dari barang yang diekspor China, bahan mentah dan penolongnya berasal dari Indonesia (terutama batu bara dan kelapa sawit).

Implikasinya yakni kita perlu mengantisipasi penurunan permintaan untuk produk-produk tersebut. Dapat diduga bahwa harga komoditas dan barang tambang berisiko menurun. Jika ini terjadi, sektor ekspor kita akan terganggu. Selain itu, penurunan harga komoditas dan barang tambang akan berdampak kepada penurunan pendapatan pekerja di sektor tersebut. Karena ekonomi kita masih tergantung pada komoditas dan barang tambang, maka daya beli akan menurun. Jika daya beli menurun, tidak menutup kemungkinan bahwa tidak ada insentif bagi pengusaha untuk meningkatkan investasinya. Artinya, untuk apa menambah produksi jika permintaan tak ada.

Ketiga, berapa besar dampaknya? Perhitungan sensitivitas yang dilakukan menunjukkan bahwa jika perekonomian China melambat sebesar 1 persen, maka perekonomian Indonesia akan menurun sebesar 0,1-0,3 persen. Dapat dibayangkan bahwa dampak sepanjang paruh pertama 2020 cukup signifikan, dengan skenario ini ada risiko pertumbuhan ekonomi Indonesia akan berada di bawah 5 persen atau dalam kisaran 4,7-4,9 persen di tahun 2020 jika tidak melakukan mitigasi.

Ekonomi Indonesia sendiri memang sudah tumbuh di bawah 5 persen dalam triwulan IV-2019. Lalu apa yang dapat dilakukan Indonesia? Jika ekonomi global dan sektor perdagangan terganggu, maka Indonesia perlu fokus kepada ekonomi domestik.

Baca juga:  Indonesia Sudah Masuk Zona Hijau COVID-19, Tetap Semangat Jaga Prokes

Pemerintah perlu melakukan kebijakan kontrasiklus. Instrumen yang paling efektif untuk itu adalah mendorong permintaan domestik melalui fiskal. Permasalahan ekonomi Indonesia dalam jangka pendek adalah lemahnya permintaan. Dalam kondisi tersebut, penurunan bunga tidak akan berdampak banyak untuk mendorong produksi, karena untuk apa menambah investasi jika permintaan tak ada. Oleh karena itu, langkah pertama yang harus dilakukan adalah mendorong permintaan.

Namun perlu diingat peran dari APBN relatif terbatas. APBN hanya dapat menjadi pemicu untuk mengembalikan kepercayaan dan harus diikuti oleh investasi swasta. Itu sebabnya, stimulus fiskal butuh prioritas dan kualitas belanja yang baik.

Bukan sekadar berapa defisit anggaran harus naik, namun apakah dapat memiliki dampak kepada pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu, langkah pertama yang harus dilakukan adalah mendorong permintaan. Berikan stimulus fiskal kepada kelompok menengah bawah, bukan kelompok atas. Karena kelompok menengah bawah memiliki kecenderungan Marginal Propensity to Consume atau konsumsi yang relatif lebih tinggi.

Caranya dengan perpanjang dan memperluas program seperti conditional cash transfer, cash for work atau padat karya tunai dan Bantuan Pangan Non-Tunai. Untuk kelas menengah, program kartu Prakerja dapat dimanfaatkan untuk membantu daya beli sekaligus meningkatkan kemampuan. Dengan kebijakan ini, setiap individu masyarakat tetap dapat bekerja dan daya beli masyarakat dapat terjaga. Lalu kombinasikan dengan belanja infrastruktur prioritas. Menjaga inflasi dan yang paling penting adalah mengelola ekspektasi serta tidak membuat sinyal yang membingungkan. Adapun dari sektor keuangan, jika wabah virus Corona menjadi berkepanjangan, perlu dipikirkan kemungkinan relaksasi restrukturisasi kredit dan di sisi moneter, dengan inflasi yang terjaga dan kemungkinan The Fed untuk mempertahankan suku bunga. Keputusan Bank Indonesia menurunkan suku bunga adalah langkah yang tepat dan perlu diapresiasi. Ke depan, jika inflasi terkendali dan The Fed belum akan menaikkan suku bunga, masih ada ruang bagi Bank Indonesia untuk menurunkan suku bunga.

Baca juga:  Saatnya Guru Merespons “Artificial Intelligence”

Bagaimana dengan pariwisata Bali? dalam hal ini pemerintah dapat membantu untuk mendorong sektor pariwisata dengan memberikan subsidi. Baik berupa potongan harga bagi jasa angkutan pesawat, bus atau penginapan agar sektor pariwisata tetap berjalan. Para penyelenggara wisata, baik itu hotel atau tempat wisata lainnya harus benar-benar disiplin terhadap protokol kesehatan. Pengelola tempat wisata juga dituntut menyediakan tempat mencuci tangan serta wajib memakai masker, baik pengunjung maupun pengelola wisata. Mereka juga harus aktif mengingatkan pengunjung untuk menjaga jarak. Ini harus benar-benar diperhatikan karena masih ada saja yang tidak mematuhi protokol kesehatan Covid-19.

Pemerintah juga dapat mendorong agar aktivitas pemerintahan, seperti pertemuan, bisa dilakukan di daerah wisata di akhir pekan. Bantuan ini tentunya bersifat sementara. Istilah sustainable tourism dalam makna yang paling murni adalah industri yang mengupayakan untuk membuat dampak yang ringan terhadap lingkungan dan budaya lokal.

Penulis, dosen tetap Fakultas Ekonomi Universitas Pendidikan Ganesha, Pimpinan Kantor Jasa Akuntan I Putu Gede Diatmika

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *