Krama Adat saat mengikuti prosesi mendak pretima sebelum diberlangsung upacara mlaspas. (BP/ist)

TATANAN kehidupan masyarakat adat di Bali, yang penuh dengan kehidupan sosial, adat dan budaya, ditengah pandemi Covid-19 saat ini benar-benar diuji. Bali yang dikenal dengan istilah banyak libur, karena kegiatan ritual, budaya dan adat yang dilakukan oleh
masyarakatnya, kini harus berhadapan dengan pembatasan – pembatasan prilaku yang dirubah guna tidak menjadi klaster penyebar virus Covid-19.

Di Bali, desa adat mempunyai hak otonom dalam mengatur kehidupan masyarakatnya. Untuk itu menjadi harapan pemerintah, keterlibatan desa adat di dalam menekan angka penyebaran Covid-19 di Bali. Majelis Desa Adat Privonsi Bali pun melalui berbagai surat
edaran dan himbauan, kepada setiap desa adat untuk melaksanakan secara ketat protokol kesehatan pencegahan Covid-19. Hal ini guna mengindari munculnya klaster baru dalam penyebaran wabah viruscorona.

Baca juga:  Terjaring, Oknum Nakes dan Pegawai Tak Bermasker

Seperti yang dilakukan salah satu desa adat di Bali beberapa waktu lalu. Bertepatan dengan hari purnama, 1 Oktober 2020, Desa Adat Keramas, Kecamatan Blahabatuh, Gianyar, menyelenggarakan upacara Pemlaspasan Pretima di Pura Puseh, Desa, dan Pura
Ulun Desa.

Secara umum, kebiasaan yang ada di tengah kehidupan masyarakat adat di Bali, kegiatan ritual tersebut tentu dilaksanakan dengan melibatkan seluruh krama adat (penduduk). Namun disebabkan pandemi Covid-19, pemerintahan desa adat setempat harus bekerja keras malakukan ubah laku kebiasaan masyarakat dan mengharmonisasikan sejumlah pelaksanaan kegiatan upacara (ritual) sehingga tidak sampai melanggar dari
protokol kesehatan. Setiap krama adat (warga-red) yang masuk ke Pura diwajibkan memakai masker, mencuci tangan sebelum masuk Pura, dan menjaga jarak duduk saat akan melakukan persembahyangan.

Tanpa mengurangi makna dari kegiatan ritual yang dilaksanakan, pelaksanaan upacara berlangsung hanya melibatkan prajuru atau pengurus adat saja. Mulai dari persiapan, pelaksanaan dan pakemitan dilakukan oleh prajuru saja.

Baca juga:  Soal Izin Lokasi Reklamasi Teluk Benoa, Pemprov Mengaku Belum Terima Tembusan

Prosesi mendak pretima ke Geria Mas Ubud, dilakukan dengan jumlah terbatas, karena mengikuti prokes penanggulangan Covid-19. Melibatkan lima kendaraan, terdiri dari mobil pecalang, tiga mobil pemundut, dan mobil prajuru. Kemudian, sampai di catur pata desa
dilakukan upacara pemendakan. Selanjutnya, masing -masing pretima dibawa ke masing-masing Pura untuk persiapan dilakukan pemelaspasan.

“Dalam ritual ini kami tidak melibatkan semua krama yang jumlahnya mencapai ribuan. asil keputusan paruman desa adat, semua prosesi dilakukan dengan pembatasan epesertaan krama. Hanya prajuru adat saja yang dilibatkan untuk melaksanakan kegiatan upacara pemelaspasan,” jelas Bandesa Adat I Nyoman Puja Waisnawa, Selasa (28/10).

Baca juga:  Karya Ida Bhatara Turun Kabeh di Pura Agung Besakih "Nyejer" 3 Minggu

Upacara melaspas pretima, dipuput dharma upapati PHDI Kabupaten Gianyar, Ida Pedanda Geria Kekeran. Masyarakat yang hendak sembahyang pun dilakukan pengaturan, secara bergiliran sejak pagi hingga malam, selama empat hari dengan mengikuti secara ketat
protokol kesehatan.

Selain kegiatan ritual keagamaan, dalam hal upacara ngaben yang umumnya dilakukan oleh masyarakat adat dengan melibatkan petedunan (menurunkan-red) krama adat dengan membunyikan kulkul (kentongan), kini ditengah pandemi viruscorona, pelaksanaannya disesuaikan. Pembatasan peserta hanya berdasarkan kerabat terdekat saja, dengan kelengkapan upacara yang sederhana.

Demikian pula halnya dalam kegiatan upacara perkawinan. Harmonisasi pelaksanaan upacaranya disesuaikan dengan kondisi Covid-19, dengan sejumlah pembatasan – pembatasan keterlibatan masyarakat adat, namun tidak mengurangi arti dan makna upacara berdasarkan ajaran agama Hindu, katanya. (Agung Dharmada/Balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *