I Gst. Ngr. Bagus Suryawan, S.T., S.Ag., M.M. (BP/Istimewa)

Oleh I Gst. Ngr. Bagus Suryawan, S.T., S.Ag., M.M.

Sebagai orang Bali Hindu, walaupun belum pernah membaca Bhagavad-Gita, paling tidak mengetahui bahwa Bhagavad-Gita diawali dengan kata dharma dan diakhiri dengan kata mama. Sangat jelas bahwa kata dharma berada di Bab I, seloka satu yang menyatakan tempat suci yang bernama Kuruksetra yang dalam bahasa Sansekerta diungkapkan sebagai dharma-ksetre kuru-ksetre.

Begitu juga Bab XVIII yang merupakan bab penutup Bhagavad-Gita  dengan sangat jelas memuat seloka yang terakhir dan diakhiri dengan kata mama yang berarti kepunyaan atau menyatakan sebagai milik. Itu artinya bila ada orang yang memiliki Bhagavad-Gita yang seloka terakhirnya bukan kata mama, menandakan ada yang kurang lengkap.

Bhagavad–Gita menyimpan rahasia spiritual yang bisa diketahui dan dibaca  oleh semua umat manusia dari segala golongan, tidak peduli apakah ia petani, pedagang, pengangguran, pegawai, buruh, kaum terpelajar, pejabat, para bujangan, orang berkeluarga, dan yang lainnya, dan bila Bhagavad–Gita diniatkan untuk dibaca dengan tulus berulang–ulang akan dapat lebih memahami dan dapat mengetahui cara–cara meningkatkan kesadaran dari kesadaran fisik hingga mencapai kesadaran Atma (Tuhan).

Dengan hanya mendengar atau mengetahui saja dan belum melihat atau membaca tentu  Bhagavad-Gita hanya dapat dibayangkan sebagai kitab yang menyimpan rahasia kesadaran. Tentu ini masih lebih baik dari tidak sama sekali,  dan paling tidak bisa mengatakan inilah dharma mama yang merupakan dharmaku atau kewajibanku.

Dalam Veda (baca: Weda) kita sering menemukan istilah sanatana dharma yang merupakan jalan yang abadi untuk mengabdikan diri pada Tuhan, Ida Hyang Widhi Wasa. Dalam Weda Smrti ada kata widhi yang diartikan sebagai  peraturan dan aturan, jadi Sang Hyang Widhi adalah Beliau yang menguasai segala peraturan. Itu artinya kita diikat dengan peraturan yang telah diciptakan-Nya, dan harus tunduk pada aturan–aturan itu sendiri. Menyalahi aturan tentu akan diikuti dengan konsekuensi sebagaimana hukum karma phala dan hukum rta yang telah diberlakukan-Nya di bumi.

Semua kerja, termasuk pikiran juga dilandasi aturan, dan aturan itu juga mengacu pada niat baik atau buruk, niat jujur atau tidak, bertindak benar atau tidak, niat ikhlas atau tidak dan itulah juga aturannya. Karena semuanya berkaitan dengan peraturan, maka tidak ada apa pun yang terjadi di bumi ini tanpa kehendak-Nya, bahkan kalau boleh menggunakan pendapat  beliau Shrii Shrii Ananda Murti, mahaguru Ananda Marga, bahwa sehelai rumput pun tidak mampu bergoyang bila Tuhan tidak menghendaki-Nya.

Baca juga:  Guru dan Kompetensi Utama Pendidikan

Orang–orang bijaksana memandang semua yang ada di dunia ini adalah pemain  yang harus memerankan lakon drama Tuhan yang tidak disadarinya. Itulah sebabnya kadang kita bertanya, mengapa virus Corona yang lebih keren disebut Covid–19 itu tiba–tiba muncul di bumi dengan wujud yang saru, tidak bisa dilihat tanpa ada kaca pembesar, menakutkan dan bahkan mematikan. Adakah ia hadir di bumi untuk membunuh manusia atau menjalankan dharmanya?

Seperti halnya api dharmanya membakar, air membasahi, lalu apa sesungguhnya dharmanya Covid–19. Adakah ia diperankan hadir di bumi untuk mengingatkan kembali dharmanya manusia? Yang jelas kehadiran Covid–19 di bumi telah melahirkan kewaspadaan agar satu sama lain saling menjaga, paling tidak menghindari obrolan–obrolan langsung yang tidak perlu, menjaga jarak, tidak sembarang menyentuh, bersalaman, apalagi berpelukan cipika-cipiki di muka umum, dan itu kita diingatkan kembali akan etika leluhur dalam menjaga etika sopan santun tanpa harus berbasa-basi berlebihan.

Adanya Covid–19 juga membuat dunia spiritual menggeliat sehingga ada banyak penawaran latihan online seperti meditasi, yoga asanas, reiki, buka hati, latihan pranayama, dan masih banyak yang lainnya. Dampak lain yang mesti dicermati adalah agar kita mengupayakan upaya yang lebih mengedepankan kesederhanaan.

Covid-19 membuat orang agak sadar dan menerima untuk melakukan kegiatan ritual yang lebih sederhana, baik itu pernikahan (wiwaha), kematian, piodalan, mapandes, dan yang lainnya. Adakah semua ini adalah bagian dari rencana Tuhan untuk membuka kesadaran jiwa kita dengan membiarkan kehadiran Covid-19 di dunia demi menjalankan dharmanya?

Baca juga:  Deflasi, Daya Beli dan Ekspektasi Konsumen  

Bila ini yang terjadi, ini mengingatkan kita kembali pada peristiwa di Brindavan, di mana penduduk Brindavan digempur oleh Dewa Indra yang marah sehingga menyisakan rasa takut, rasa cemas yang berkepanjangan. Sri Krishna yang waktu itu berada di Brindavan sebagai Avatara tidak serta merta menghentikan serangan Dewa Indra, karena Sri Krishna tahu akan dharmanya Dewa Indra. Bila itu dihentikan maka Dewa Indra tidak dapat menjalankan dharma-Nya. Begitu juga bila saat ini Sang Hyang Widhi menghentikan pandemi Covid–19, adakah itu juga menghalangi Covid-19 menjalankan dharmanya?

Ada masa yang tepat, seperti penduduk Brindavan (baca: Brindawan) yang mengalami dampak dari serangan Dewa Indra, dan Sri Krishna akhirnya membantu melindungi penduduk pada waktu yang tepat dengan mengangkat Bukit Govardhana, sehingga penduduk Brindavan dapat berlindung di bawah Bukit Govardhana. Ini juga cara Tuhan menepati janji-Nya ketika hadir dalam wujud Sri Rama dan akan membuat Bukit Govardhana ini berguna pada kelahiran-Nya sebagai Sri Krishna.

Walaupun saat ini dunia dilanda Covid–19, tetapi bila kita tabah dan sabar menjalankan dharma, maka semuanya nampak beradab. Orang bijaksana mengatakan bahwa orang yang suka menyalahkan dirinya sendiri disebut setengah beradab, orang suka menyalahkan orang lain disebut tidak beradab, dan orang yang tidak menyalahkan siapa–siapa disebut orang beradab. Karena itu kita bisa menjadi setengah beradab, tidak beradab atau menjadi beradab dan itu pilihan dengan segala akibatnya. Kewajibanku (dharma mama) sering dilupakan, dan kini banyak orang berbicara spiritual, bicara cara pemujaan, dan sebagian berdebat tanpa kesimpulan yang hanya memuaskan ego.

Ada dua hal yang menjadi musuh utama spiritual yaitu: pertama, kesombongan muncul tanpa sadar merasa telah mengetahui semuanya, dan kadang ingin menggurui dan bahkan ingin menjadi guru. Yang kedua, menjadi sangsi akan tujuan dan ragu akan tujuan yang ingin dicapai apakah itu benar–benar ada atau tidak, apakah benar–benar bisa dicapai atau tidak.

Bila seseorang merasa sangsi, seperti ungkapan Sansekerta mengatakan  samsayaatma vinasyathi, bahwa orang yang penuh keraguan akan Atma (Tuhan) akan menjerumuskan dirinya menuju jurang kehancuran. Karena itu orang yang belajar spiritual mesti tahu tujuannya, dan bila tujuannya untuk moksha maka tidak terpancing perdebatan dan perbantahan, dan fokus pada tujuan.

Baca juga:  Bebaskan Bali dari Politik Identitas

Seperti Buddha fokus pada tujuan dan mendapatkan apa yang dicari, Beliau menyelidiki akar kesedihan, dan bukan mencari moksha. Beliau  memasuki Nirwana, mendapatkan apa yang dicari dengan tiga pernyataan, semuanya sementara, semuanya penderitaan, dan semuanya adalah hampa. Ramakrishna Paramahansa, Jayadeva, Chaitanya semuanya moksha dan mendapatkan apa yang dicari dengan fokus pada jalan bhakti yoga, utamanya madhura bhakti, dan sangat teguh dengan keyakinannya bahwa Tuhan meresapi semua yang ada (vyapi vyapaka) termasuk meresapi lima elemen panca maha butha. Kini kita sedang mencari apa di bumi ini, dan orang mesti fokus pada tujuan sehingga mendapatkan apa yang dicari.

Kita harus menyadari bahwa ada tiga penyebab mengapa orang lahir kembali ke bumi, dan salah satunya adalah ada orang–orang tertentu yang sengaja ingin lahir lagi ke bumi karena ingin memenuhi hasrat duniawinya yang belum terpenuhi dan sengaja lahir bukan untuk mencari moksha atau ada sebagian kecil yang lahir dengan kesadaran untuk membantu orang–orang tertentu yang sudah siap mentalnya untuk meningkatkan spiritualnya. Tiap orang sudah punya peran tersendiri dan membawa bekal samskara tersendiri dalam kelahiran ini.

Samskara merupakan bentuk karma yang sudah dilakukan dalam kelahiran terdahulu dan buahnya belum dinikmati, sehingga berpeluang untuk dinikmati dalam kelahiran yang sekarang. Karena itu tidak seorang pun bisa meniru orang lain yang sudah membawa samskara-nya dari kelahiran sebelumnya. Apa pun cara menyemangatinya, cara–cara yang diberikannya agar bisa menjadi kaya seperti orang yang telah membawa samskara-nya, atau menjadi pejabat tertentu kalau dalam kelahiran sebelumnya tidak punya samskara yang selaras, maka semua itu tidak akan terjadi.

Penulis, pemerhati budaya, pensiunan Telkom

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *