Agung Kresna. (BP/Istimewa)

Oleh Agung Kresna

Tarik ulur penutupan kompleks gedung DPR/MPR-RI berakhir sudah setelah ditetapkan penutupan seluruh kompleks gedung DPR/MPR dalam rentang waktu sekitar empat minggu terhitung sejak tanggal 11 Oktober 2020 hingga 8 November 2020; seiring reses masa sidang DPR. Hal ini dipicu oleh adanya 18 anggota DPR yang terkonfirmasi positif Covid-19 (satu orang meninggal dunia), dari total 41 orang positif Covid-19 di lingkungan gedung DPR/MPR.

Di Bali sendiri delapan anggota DPRD Bali positif Covid-19 (Bali Post, 19/9). Semua itu bagai mengonfirmasi lonjakan pasien positif Covid-19 yang terjadi di kawasan perkantoran sejak dibukanya berbagai fasilitas publik. Virus Corona atau Covid-19 masih menjadi pandemi dalam lingkungan keseharian kehidupan kita, setelah persebaran pada klaster ruang terbuka mereda.

Organisasi Kesehatan Dunia WHO (World Health Organization) juga sudah merilis bahwa Covid-19 juga dapat menyebar melalui udara (airborne transmission) dalam bentuk aerosol. Penyebaran melalui airborne transmission ini tentu menambah tingkat kerentanan rantai penyebaran Covid-19. Karena selama ini kita meyakini bahwa virus ini hanya dapat menular melalui percikan/titis pernapasan (droplet).

Banyaknya klaster baru penyebaran Covid-19 di perkantoran, semakin menguatkan bukti akan rantai penyebaran virus melalui airborne transmission. Sehingga tidak salah jika kita harus semakin mewaspadai tata udara ruangan dalam suatu bangunan. Tata udara ruangan harus memiliki ventilasi yang cukup/sehat, agar pergerakan udara dapat berlangsung dengan baik guna mengurangi potensi penyebaran Covid-19.

Baca juga:  Ketimpangan Semakin Lebar

Perkantoran di Indonesia saat ini hampir sebagian besar menggunakan sistem tata udara buatan (air conditioning). Sistem tata udara ini acapkali kurang mengindahkan adanya pertukaran/pergerakan udara dalam ruangan. Air conditioning cenderung lebih pada upaya pengendalian suhu dan kelembaban udara ruangan, agar pengguna ruangan merasa nyaman. Sehingga tata udara ruangan perkantoran maupun ruangan fungsi publik yang lain lebih sering berupa ruangan yang tertutup. Kondisi ini tentu sangat tidak menguntungkan bagi upaya memutus rantai penyebaran Covid-19 yang ditengarai dapat terjadi melalui airborne transmission. Karena udara ruangan yang terpapar virus justru menjadi sarana penyebaran.

Bagi masyarakat Bali sebenarnya dapat belajar dari tatanan arsitektur tradisional Bali. Bangunan dengan fungsi publik pada arsitektur tradisional Bali, cenderung berwujud ruangan yang terbuka; sehingga memiliki tata udara dengan pertukaran udara yang cukup sehat. Wantilan dapat menjadi contoh local wisdom krama Bali sebagai bangunan untuk pertemuan publik. Kesiapan untuk memutus rantai penyebaran Covid-19 di dalam ruangan — utamanya perkantoran — menjadi kunci untuk menekan lonjakan pasien positif Covid-19 pada masa PSBB yang dilonggarkan ini. Tata udara ruangan dalam bangunan harus kita kelola dengan baik agar tidak menimbulkan korban positif Covid-19 bagi pengguna ruangan. Hal ini sangat mungkin dilakukan, selama kita mendesain bangunan sesuai kaidah konstruksi dengan benar.

Baca juga:  Politik Kebohongan Hancurkan Pembohongnya

Harus kita akui bahwa saat ini masih banyak bangunan untuk fungsi publik — seperti pusat perbelanjaan, hotel, perkantoran, gedung bioskop, sekolah — yang belum memberikan sarana perlindungan secara maksimal bagi kesehatan penggunanya. Sarana perlindungan ini diperlukan guna memberi rasa aman dan nyaman bagi para pengguna bangunan tersebut.

Undang-undang RI No. 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung telah mengatur perihal persyaratan kesehatan bangunan gedung, sebagai salah satu bagian dari persyaratan keandalan bangunan. Di dalamnya terkandung persyaratan sistem penghawaan, pencahayaan, sanitasi, dan penggunaan bahan bangunan gedung, sebagaimana termaktub dalam Pasal 21.

Unsur sistem penghawaan bangunan gedung ini diwujudkan dalam bentuk pemenuhan kebutuhan sirkulasi dan pertukaran udara yang harus disediakan pada bangunan gedung melalui bukaan dan/atau ventilasi alami. Utamanya pada bangunan tempat tinggal, pelayanan kesehatan, pendidikan, dan bangunan pelayanan umum lain, sebagaimana dipersyaratkan dalam Pasal 22.

Di sisi lain, Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 25/PRT/M/2007 tentang Sertifikat Laik Fungsi (SLF), juga mensyaratkan bahwa bangunan gedung –utamanya bangunan fungsi publik — harus memiliki SLF, sesuai fungsi bangunan tersebut; sebelum suatu bangunan difungsikan penggunaannya.

Terkait dengan fungsi kesehatan bangunan tersebut di atas, ada beberapa hal yang harus menjadi catatan kita bersama. Pertama, bahwa para pihak yang terkait dengan dunia konstruksi bangunan — baik pelaku jasa konstruksi maupun pemilik/pengelola bangunan — dituntut untuk bersikap profesional. Dalam hal ini memberi pelindungan publik berkenaan dengan kesehatan masyarakat ketika menggunakan suatu bangunan.

Baca juga:  TI sebagai Jangkar Kemajuan Lembaga Komunitas Adat

Kedua, adanya mekanisme perizinan yang bertanggung jawab. Upaya pelindungan keselamatan publik dapat dilakukan secara profesional melalui proses perizinan yang ditangani pemerintah selaku pemegang kendali kebijakan publik. Seperti halnya Izin Mendirikan Bangunan, Izin Tempat Usaha, Sertifikat Laik Fungsi, dll. Semua proses perizinan itu harus berlangsung secara ketat dan bertanggung jawab, utamanya dalam upaya memberikan pelindungan kesehatan publik pengguna bangunan.

Ketiga, diperlukannya sosialisasi tentang kesehatan bangunan kepada pemilik/pengelola/pengguna bangunan. Utamanya terkait dengan tata udara ruangan bangunan fungsi publik. Bahwa sirkulasi dan pertukaran udara harus disediakan pada bangunan gedung melalui bukaan dan/atau ventilasi alami, demi kesehatan para pengguna ruangan. Ada hal sederhana yang harus dipahami para pengguna bangunan.

Bahwa ruangan pada bangunan berarsitektur tropis membutuhkan bukaan ventilasi udara pada dinding minimal seluas 1/3 x luasan lantai ruang tersebut. Jika luasan ventilasi udara ini terpenuhi, niscaya akan terjadi pertukaran udara yang cukup dan sehat. Sehingga tata udara ruangan tersebut akan mampu mengurangi potensi penyebaran Covid-19 bagi pengguna ruangan.

Penulis, Arsitek, Senior Researcher pada Centre of Culture & Urban Studies (CoCUS) Bali, tinggal di Denpasar

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *