DENPASAR, BALIPOST.com – Luas panen dan produksi padi di Bali pada tahun 2020 mengalami penurunan. Luas panen di Bali pada 2020 yakni 94.730 hektar dengan total produksi padi 570.319 ton gabah kering giling (GKG).
Jika dikonversikan menjadi beras, produksi beras pada 2020 diperkirakan mencapai 319.978 ton, atau turun 5.050 ton dibandingkan tahun sebelumnya. Kepala Bidang Produk Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Bali Sapto Wintardi menyampaikan, luas panen tahun 2019 yakni 95.319 hektar dan 2020 seluas 94.730 hektar. Terjadi penurunan 0,62 persen atau 589 hektar.
Produksi padi mengalami penurunan 1,55 persen atau 9.001 GKG, di mana 2019 sebanyak 579.321 ton GKG menjadi 570.319 ton GKG pada 2020. Tahun 2020 juga terjadi pergeseran puncak panen yang tidak seperti biasanya terjadi pada April – Mei, namun terjadi pada Oktober. ‘’Masing-masing bulan dari Januari sampai Desember, ada perubahan yang sebelumnya luas panen tertinggi berada di April sekarang diperkirakan pada Oktober 2020,’’ ujarnya.
Luas produksi padi 2019, katanya, terjadi produksi tertinggi pada Mei dan paling rendah Februari 2019. Sedangkan pada 2020, terjadi pergeseran luas tanam dari Mei menjadi Oktober. Penurunan luas panen paling signifikan terjadi di Gianyar dengan penurunan 1.181 hektar, Buleleng turun 841 hektar, Klungkung dan Jembrana turun 418 hektar, dan Tabanan turun 124 hektar.
Sementara penurunan produksi padi paling tinggi terjadi di Jembarana sebesar 7.315 ton, Tabanan turun 6.895 ton, Buleleng turun 4.756 ton, Gianyar turun 2.854 ton, dan Klungkung turun 2.293 ton. Ia menambahkan, metode pengukuran yang digunakan berbeda dengan sebelumnya.
Walaupun 2020 belum habis, namun dengan metode kerangka sampel area (KSA) dapat melihat kondisi ke depan untuk luas panen dan produksi padi ke depan. KSA adalah metode baru yang sebelumnya menggunakan metode yang lama yang disinyalir sudah tidak relevan lagi. Oleh karena itu, BPS menggunakan luas panen dan produksi padi menggunakan KSA. ‘’Walaupun tahun 2020 belum habis, kita bisa melihat potensi luas panen dan potensi produksi padi tiga bulan ke depan. Oleh sebab itu, luas panen dan produksi padi di Bali masih angka sementara, walaupun demikian kita dapat memantau terus tiga bulan ke depan,’’ jelasnya.
Sementara itu, Kepala Bidang Produksi Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Provinsi Bali I Wayan Sunartha menampik serapan gabah petani berkurang, karena dikeluarkannya beras Bulog dan cadangan beras pemerintah (CBP) dengan adanya dampak pandemi Covid-19. Indikator serapan gabah berkurang yaitu dari harga gabah. Saat ini harga gabah dikatakan masih berada pada range harga di atas HPP yaitu Rp 4.500/kg – Rp 4.800/kg gabah kering giling (GKG).
Menurut Sunartha, Oktober bukan puncak panen namun puncak tanam sehingga gabah yang dihasilkan juga sedikit. Sementara serapannya tinggi, sehingga yang terjadi adalah kekurangan gabah. “Jadi mungkin stok di penggilingan yang tidak terserap. Namun, belum tentu serapan di petani berkurang, meskipun stok di penggilingan banyak,” katanya.
Ia menyebut puncak panen biasa terjadi pada April – Mei. Ditambahkan, gabah hasil panen petani tidak sepenuhnya dijual, namun juga ada yang disimpan.
Seperti petani di Bangli yang tidak menjual hasil padinya, namun menyimpannya di lumbung dalam bentuk gabah. ‘’Seperti di Bangli sama sekali tidak dijual, di daerah-daerah pegunungan tidak dijual. Yang gabahnya dijual itu di daerah-daerah pantai, dataran rendah,’’ katanya. (Citta Maya/balipost)