DENPASAR, BALIPOST.com – Jineng, salah satu wujud arsitektur tradisional Bali yang sarat dengan tradisi agraris di Bali. Jineng (lumbung padi – red) merupakan bangunan bertingkat dua yang memiliki empat buah hingga enam tiang, sehingga membentuk ruang segi empat.
Di mana lantai atasnya terbuat dari konstruksi kayu yang digunakan sebagai ruangan tempat penyimpanan padi. Jineng biasanya dimiliki oleh masyarakat petani penggarap atau para pemilik tanah.
Pakar pertanian Universitas Warmadewa (Unwar) Dr. Ir. I Gusti Bagus Udayana, M.Si. mengatakan, pada zaman dahulu dalam sebuah rumah tinggal di Bali, keberadaan jineng dapat terlihat sebagai simbol dari status sosial pemiliknya. Semakin besar ukuran lumbung padi tersebut menandakan semakin tinggi pula status sosial ekonomi pemilik rumah, atau dianggap semakin kaya.
Keberadaan sebuah lumbung padi tersebut menunjukkan kepemilikan sawah sang pemilik rumah. Dapat terlihat saat musim panen tiba, tampak kesibukan di dalam jineng dari proses menaikkan padi ke atasnya, atau menurunkan padi akan dijemur dan diolah menjadi beras. Pada bagian atas, jineng merupakan bangunan suci.
Dalam tradisi puja di Bali, katanya, bangunan yang bertiang empat sampai delapan ini tak hanya tempat menyimpan padi atau gabah. Jineng juga jadi linggih (stana) Ida Batara Sri, manifestasi Ida Sang Hyang Widhi Wasa sebagai penebar kemakmuran.
Namun, seiring kemajuan pembangunan, jineng mengalami pergeseran fungsi. Dari awalnya tempat menyimpan padi/gabah dan linggih Ida Batara Sri, kini jineng banyak difungsikan sebagai bangunan Bali yang tak ada hubungannya dengan pertanian. Bahkan, bangunan ini kini banyak dimanfaatkan menjadi akomodasi pariwisata. “Alih fungsi jineng dari sektor pertanian ke sektor lain di Bali telah terjadi,” kata Udayana, Rabu (4/11).
Menurut Udayana, hal ini terjadi karena banyak faktor. Di antaranya adanya alih fungsi lahan, di samping itu juga adanya perubahan dalam budi daya padi khususnya pada penerapan pola tanam, hingga pascapanen tidak bisa dikontrol dengan baik, adanya perubahan bibit padi baru, dan jenis lainnya. Di sisi lain, pola memanen padi tak lagi memanfaatkan perkakas tradisional, mulai dari ani-ani/ketam, alu (penumbuk) hingga lumpang atau lesung.
Hal itu karena penanganan padi varietas yang baru tidak memerlukan lagi perabotan tersebut. Hal lain adalah petani tidak lagi memanen sendiri, namun diserahkan kepada pihak lain karena kebanyakan padi hasil garapannya sudah ada yang membeli saat padi masih di sawah, pembeli langsung memanennya.
Hal ini menyebabkan padi untuk dibawa ke rumah hanya sedikit, itu pun hanya untuk sekadar melengkapi keperluan upacara. “Jadi, lumbung tidak lagi dimanfaatkan untuk penyimpanan padi sebagai bentuk menjaga ketahanan pangan,” katanya.
Penyebab lainnya, katanya, proses pengolahan padi varietas baru relatif mudah dan cepat. Usai panen, gabah dijemur. Setelah kering, jika dibutuhkan dibawa ke pabrik penggilingan beras untuk dijadikan beras. Prosesnya pendek.
Beda dengan proses penanganan padi varietas lama (padi Bali – red) dengan rentang waktu pelihara sekitar enam bulan dan pascapanen lebih rumit, karena petani memilih menjual padinya dan dengan cepat menjadikan beras. “Karena faktor inilah jineng pun tak mutlak dibutuhkan. Petani enggan repot menyimpan gabah di jineng. Apalagi harus naik-turun tangga untuk memasukkan gabah ke dalam jineng,” ungkapnya.
Kendati demikian, Udayana mengakui keberadaan jineng hingga kini dilihat dari sisi keberadaannya masih eksis. Bahkan, masyarakat yang tidak memiliki sawah pun banyak yang membuat jineng di rumahnya karena memang bernilai estetik tinggi. “Jineng tetap eksis sampai sekarang, saat ini jineng juga berfungsi fleksibel. Bisa menjadi tempat bersantai, menerima tamu, tempat membuat upakara dan tempat untuk menyajikan makanan ketika dalam suatu rumah memiliki acara. Namum, peran dan fungsi jineng sesungguhnya sebagai tempat penyimpanan padi sebagai bentuk untuk menjaga ketahanan pangan di Bali sudah tidak ada lagi. Kalaupun ada hanya beberapa saja,” tegasnya. (Winatha/balipost)