Oleh I Kadek Darsika Aryanta
Pada tanggal 6 Oktober, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan mengumumkan bahwa pada tahun 2021 akan mengganti Ujian Nasional (UN) menjadi dengan Asesmen Nasional (AN). Tujuan utama dari pergantian ujian nasional menjadi asesmen nasional adalah untuk meningkatkan kualitas mutu pendidikan di sekolah.
Ujian nasional dari dulu dianggap ujian yang sangat sakti mantraguna karena berfungsi untuk mengukur hampir semua jenjang pendidikan dasar dan menengah serta hasilnya selalu dibanding-bandingkan antara satu sekolah dengan sekolah lainnya. Sebelum tahun 2015, ujian nasional juga digunakan untuk penentu kelulusan siswa dan sampai tahun 2019, nilai ujian nasional digunakan untuk pertimbangan naik ke jenjang selanjutnya. Fungsi lainnya digunakan sebagai salah satu alat ukur untuk mengukur banyak hal, baik untuk pemetaan mutu daerah, kualitas pendidikan daerah dan kualitas siswa.
Pada titik ini tentu saja kita berpikir bahwa apakah ujian nasional itu salah? Apakah ujian nasional sebelumnya bisa menurunkan kualitas pendidikan? Titik balik dari pertanyaan itu adalah adanya suatu kegelisahan pemerintah, sekolah dan siswa terkait dengan urgensinya ujian nasional ini untuk dievaluasi secara lebih mendasar. Materi UN yang terlalu padat, sehingga siswa dan guru cenderung menguji penguasaan konten siswa bukan pada kompetensi penalarannya. Selain itu, sudah menjadi rahasia umum bahwa UN menjadi beban bagi siswa, guru dan orangtua karena menjadi indikator keberhasilan siswa secara individu. Padahal seharusnya UN berfungsi untuk pemetaan mutu sistem pendidikan nasional. Selain itu, UN hanya menilai aspek kognitif dari hasil belajar, belum menyentuh karakter siswa secara menyeluruh.
Implikasi asesmen nasional karena hanya mengukur kualitas layanan pendidikan dan iklim belajar di satuan pendidikan yang bertujuan untuk perbaikan dan peningkatan kualitas belajar peserta didik secara berkelanjutan adalah tidak semua siswa mengikuti asesmen ini. Cukup hanya sampel saja siswa dipilih secara acak untuk mewakili sekolah tersebut. Karena tidak ada skor individual murid cukup sampel saja. Implikasi lainnya adalah tidak harus dilakukan pada siswa di pengujung jenjang, seperti di kelas VI SD, kelas IX SMP dan kelas XII untuk SMA. Hal ini bertujuan agar kepala sekolah dapat memotret aktivitas pembelajaran dan dapat ditindaklanjuti oleh kurikulum sekolah masing-masing di tahun berikutnya. Istilahnya asesmen nasional ini dapat digunakan sebagai warning system kepala sekolah sehingga bisa menjadi suatu bahan refleksi bagi sekolah.
Asesmen nasional merupakan bagian dari paket kebijakan merdeka belajar yang dicanangkan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim. Asesmen nasional yang akan dilaksanakan pada tahun 2021 terdiri dari tiga bagian besar yaitu Asesmen Kompetensi Minimum (AKM), survei karakter, dan survei lingkungan belajar. Pada dasarnya asesmen nasional mengukur kualitas satuan pendidikan, tidak lagi mengukur individu yang mengacu pada penguasaan kurikulum dan penguasaan konten.
Asesmen Kompetensi Minimum terdiri dari tes literasi dan numerasi. Kata minimum lebih mengacu pada tidak semua konten di dalam kurikulum diukur dalam AKM. Fokus pada AKM ini adalah sebagai dasar dalam penguasaan kompetensi untuk menuju jenjang konten mapel yang lebih tinggi. AKM merupakan penilaian kompetensi mendasar yang diperlukan oleh semua murid untuk mampu mengembangkan kapasitas diri dan berpartisipasi positif pada masyarakat. Terdapat dua kompetensi mendasar yang diukur AKM, yaitu literasi membaca dan literasi matematika (numerasi). Baik pada literasi membaca maupun numerasi kompetensi yang dinilai mencakup keterampilan berpikir logis-sistematis, keterampilan bernalar menggunakan konsep dan pengetahuan yang telah dipelajari, serta keterampilan memilah serta mengolah informasi. AKM menyajikan masalah-masalah dengan beragam konteks yang diharapkan mampu diselesaikan oleh murid menggunakan kompetensi literasi membaca dan numerasi yang dimilikinya. AKM dimaksudkan untuk mengukur kompetensi secara mendalam, tidak sekadar penguasaan konten.
Kemampuan berbahasa adalah modal dasar literasi. Perluasan definisi literasi itu mengisyaratkan penempatan kompetensi berbahasa sebagai fondasi yang diperlukan untuk pengembangan kompetensi lainnya. Jika cara berpikir seperti itu bisa diterima, akan juga bisa dianggap sebagai instrumen yang mengukur capaian pembelajaran peserta didik terhadap tujuan pendidikan nasional.
Sementara poin utama kemampuan literasi dan numerasi adalah kemampuan untuk bernalar. Kemampuan numerasi tidak hanya digunakan untuk guru matematika dan bahasa Indonesia saja tetapi semua mata pelajaran mempunyai kewajiban untuk ikut membantu siswanya untuk bisa berpikir mendasar seperti ini. Siswa bisa diminta untuk membaca teks maka majalah populer sains, ekonomi, dan pengetahuan populer lainnya yang sangat dibutuhkan dalam kehidupan sehari-hari mereka. Sehingga dibutuhkan suatu kolaborasi antarberbagai bidang mata pelajaran untuk bisa mengintegrasikan kompetensi literasi dan numerasi ini kepada siswa.
Survei karakter dirancang untuk mengukur capaian peserta didik dari hasil belajar sosial-emosional berupa pilar karakter untuk mencetak Profil Pelajar Pancasila. Beriman dan bertakwa kepada Tuhan YME serta berakhlak mulia, berkebinekaan global, mandiri, bergotong royong, bernalar kritis, dan kreatif. Survei karakter ini digunakan untuk memberikan sinyal kepada guru dan kepada orangtua dan kepala sekolah bahwa hasil pembelajaran yang perlu dikembangkan itu harus lebih digunakan kepada karakter siswa. Survei karakter ini dimaksudkan tidak hanya untuk pembentukan kompetensi saja, tetapi pendidikan itu harus holistik, pendidikan itu harus bisa mengembangkan siswa sebagai individu yang utuh.
Survei lingkungan belajar digunakan untuk mengevaluasi dan memetakan aspek pendukung kualitas pembelajaran di lingkungan sekolah. Konten materi survei lingkungan belajar siswa ini penting untuk dilakukan agar mampu meningkatkan perbaikan pembelajaran dan mutu lingkungan belajar yang kondusif. Asesmen nasional dilaksanakan kepada guru dan kepala sekolah di setiap satuan pendidikan. Siswa akan mengikuti asesmen kompetensi minimum, survei karakter dan survei lingkungan belajar. Sementara guru dan kepala sekolah mengikuti survei lingkungan belajar dan karakter. Responden murid akan dipilih secara acak dengan jumlah maksimal 30 murid SD, 45 murid SMP atau MTS dan 45 Murid SMA/SMK atau MA.
Hasil asesmen nasional tidak ada konsekuensinya buat sekolah, hanya pemetaan agar tahu kondisi sebenarnya. Kemendikbud juga akan membantu sekolah dan dinas pendidikan dengan cara menyediakan laporan hasil asesmen yang menjelaskan profil kekuatan dan area perbaikan tiap sekolah dan daerah. Tentu untuk meningkatkan kualitas pembelajaran, pengajaran, dan lingkungan belajar di satuan pendidikan. Melalui asesmen yang lebih berfokus, diharapkan perbaikan kualitas dan layanan pendidikan bisa semakin efektif.
Penulis, peserta TOT Sosialisasi Asesmen Nasional Direktorat SMA Kemendibud 2020