DENPASAR, BALIPOST.com – Eksistensi arak Bali dikhawatirkan terancam jika DPR RI meloloskan RUU tentang Larangan Minuman Beralkohol menjadi prioritas RUU pada 2021. Mengingat saat ini, RUU tersebut sudah masuk dalam long list.
Ditambah lagi pengusulnya yakni Fraksi PPP, PKS dan salah satu anggota Fraksi Gerindra sudah menyampaikan naskah akademik dan draf RUU. “Fraksi PDIP dengan tegas menyatakan agar RUU itu tidak dibahas. RUU tersebut sudah beberapa kali diajukan dan dari judul saja sudah tidak sesuai,” ujar Anggota Baleg DPR RI, I Ketut Kariyasa Adnyana dikonfirmasi, Jumat (13/11).
Menurut Kariyasa, judul RUU mestinya bukan larangan tapi pengaturan. Kemudian melihat naskah akademik dan draf RUU, secara hukum memuat sanksi yang cukup berat.
Ada denda yang cukup tinggi, serta ancaman hukuman penjara 3 bulan sampai 1 tahun. “Dalam proses pendidikan, masalah hukum dan sebagainya, itu semestinya kan kita harus preventif. Jangan sampai nanti penjara terlalu banyak dengan kasus-kasus yang seperti ini,” jelas Anggota Komisi IX DPR RI Dapil Bali ini.
Kariyasa juga mengaku tidak sepakat dengan alasan dibuatnya RUU berkaitan dampak dari konsumsi minuman beralkohol yang berlebihan. Pasalnya, makanan atau minuman apapun yang dikonsumsi berlebihan juga pasti akan berdampak negatif.
Sebagai contoh, penyakit yang kini banyak diderita masyarakat Indonesia adalah diabetes. Seperti diketahui, penyakit ini dipicu oleh konsumsi makanan atau minuman yang manis.
“Kalau hanya sekedar minuman beralkohol dipakai alasan, itu kan kurang pas. Kemudian, kalau kita lihat bahwa sejenis minuman beralkohol ini kan banyak juga diproduksi oleh beberapa daerah di Indonesia,” paparnya.
Di dalamnya, lanjut Kariyasa, termasuk Bali yang memproduksi arak, brem, dan wine. Selain itu ada di NTT, Papua, Ambon, dan Manado. Secara umum, proses produksinya masih merupakan bagian dari warisan masyarakat adat yang bahkan sudah ada jauh sebelum Indonesia berdiri.
Seperti di Bali, arak dan brem merupakan bagian penting dalam upacara agama Hindu berkaitan dengan penyeimbangan alam. Khususnya ditujukan kepada Bhuta Kala.
Gubernur Bali bahkan sudah menerbitkan Pergub No.1 Tahun 2020 tentang Tata Kelola Minuman Fermentasi dan/atau Destilasi Khas Bali. Pergub ini sejalan dengan kebijakan Presiden Joko Widodo untuk mengoptimalkan UMKM. “Arak, brem, dan wine itu sekarang kan sudah banyak diproduksi oleh industri rumahan dan UMKM,” imbuhnya.
Kariyasa menambahkan, industri arak, brem dan wine juga menyerap hasil pertanian petani Bali. Terlebih dengan adanya brem manggis atau wine salak. Sebab ketika musim panen, harga buah-buahan lokal itu cenderung anjlok hingga dibiarkan busuk karena berlimpah.
Saat diolah menjadi brem atau wine, tentu akan memberi nilai tambah dan bisa membantu petani. Hal ini sekaligus dapat mendongkrak upaya pemulihan ekonomi Bali setelah terdampak pandemi Covid-19.
Saat keadaan kembali normal, Bali sebagai destinasi pariwisata dunia juga tidak bisa lepas dari minuman beralkohol. “DPR sudah sangat capek sekali mengatasi masalah UU Cipta Kerja. Jangan sampai sekarang lagi ada UU yang tentu akan membuat gejolak, apalagi Bali pertumbuhan ekonominya sudah minus,” terangnya.Menurut Kariyasa, penolakan dari Fraksi PDIP juga mendapat dukungan dari fraksi lain seperti Golkar. DPR RI mestinya bisa membahas RUU lain yang lebih urgent, seperti masalah vaksin, atau masalah obat dan makanan.
Sementara itu, Anggota Komisi II DPRD Bali I Ketut Tama Tenaya berharap arak Bali beserta minuman fermentasi dan atau destilasi khas Bali lainnya masih tetap bisa diproduksi. Ditambah lagi, Bali merupakan daerah pariwisata yang tidak terlepas dari minuman beralkohol.
“Ini harus diatensi teman-teman di DPR RI, jangan sampai artinya merugikan Bali urusan minuman beralkohol ini,” ujarnya. (kmb32)