DENPASAR, BALIPOST.com – Pemerintah pusat menggelontorkan triliunan rupiah untuk membantu sektor pariwisata lewat dana hibah. Namun, pemberian hibah pariwisata yang mencapai Rp 1,183 triliun rupiah buat Bali itu masih minim serapannya.
Khususnya di Badung. Dana hibah menjelang akhir tahun ini justru membuat sejumlah pelaku usaha hotel dan restoran kelimpungan. Pasalnya, mereka harus memenuhi persyaratan yang diperlukan dalam waktu singkat.
Akibatnya, serapan hibah dari pemerintah pusat tersebut masih minim dan belum memberikan dampak maksimal terhadap pariwisata di tengah pandemi lantaran serapan hibah yang diberikan minim.
Pemerintah Kabupaten Badung melalui Dinas Pariwisata sendiri telah melakukan verifikasi terhadap hotel dan restoran calon penerima bantuan hibah pariwisata dari pemerintah pusat. Sementara terdapat 671 hotel dan 200 restoran yang akan diajukan ke Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif.
Sekretaris Daerah (Sekda) Badung Wayan Adi Arnawa tidak menampik jika serapan hibah pariwisata minim. Pemerintah pusat memberikan kucuran dana stimulus atau hibah untuk pariwisata sebesar Rp 1.183.043.960.000 kepada Pemerintah Provinsi Bali. Kabupaten Badung menerima pembagian paling besar atau menerima sebesar Rp 948.006.720.000.
“Sayang sekali waktunya pendek, coba jika diberikan pertengahan tahun atau Juli, tentunya akan terserap maksimal. Tapi kembali lagi daripada tidak dapat, jadi kita syukuri saja,” ujar Adi Arnawa, belum lama ini.
Hal senada juga dilontarkan Pjs. Bupati Badung I Ketut Lihadnyana. Ditegaskan, pihaknya terus berupaya mencari jalan keluar agar hibah terserap maksimal, sehingga pariwisata Badung kembali menggeliat. Pemkab Badung sendiri telah mendatangi pemerintah pusat dalam upaya menyelaraskan syarat penerima dana hibah pariwisata.
Itu merupakan bentuk perjuangan dari Pemkab Badung untuk pelaku usaha hotel dan restoran. ‘’Kehadiran kami ke Kemenparekraf adalah dalam upaya menyampaikan aspirasi dari teman-teman pelaku usaha hotel dan restoran agar diberikan sedikit kelonggaran dalam pemberian dana hibah stimulus pariwisata, sehingga dana hibah ini dapat terserap dengan maksimal. Dengan demikian, upaya pemulihan pariwisata di Kabupaten Badung dapat terlaksana dan ekonomi masyarakat pun bisa kembali bangkit,’’ katanya.
Menurut Kepala BKD Provinsi Bali ini, hal yang perlu diperjuangkan dan diselaraskan mengingat dalam petunjuk teknis pelaksanaan pemberian dana hibah stimulus ini disebutkan harus ada Tanda Daftar Usaha Pariwisata (TDUP), harus beroperasi serta harus membayar pajak tahun 2019. Melihat kriteria tersebut, khusus TDUP yang terbit tahun 2016 sudah ada kebijakan TDUP berlaku seumur hidup tetapi dalam petunjuk pelaksanaan disebutkan TDUP yang masih berlaku. ‘’Bagaimana TDUP tahun 2015 dan sebelumnya, ini yang kita dorong dan komunikasikan dengan Bapak Menteri agar hotel dan restoran yang memiliki TDUP baik tahun 2016 maupun yang sebelum tahun 2016 memiliki hak yang sama untuk mendapatkan dana hibah stimulus ini,’’ katanya.
Terkait pencairan, pihaknya akan memberikan secara simbolis pada perayaan HUT ke-11 Mangupura, Senin (16/11) hari ini. ‘’Siapa dunia usaha yang sudah siap langsung diproses, karena kita keterbatasan waktu. Batas waktu akhir 23 Desember harus sudah selesai, tapi pada hari jadi Mangupura kami akan serahkan secara simbolis,’’ tegasnya.
Akademisi Fakultas Ekonomi, Bisnis dan Pariwisata Unhi Denpasar Putu Krisna Adwitya Sanjaya, S.E., M.Si. mengatakan, berdasarkan data BPS Provinsi Bali, pertumbuhan ekonomi Bali pada triwulan III tahun 2020 tumbuh 1,66 persen dibandingkan triwulan II. Progress tersebut merefleksikan bahwa sebenarnya perekonomian daerah Bali telah bergairah kembali yang sebelumnya sangat terpuruk akibat hantaman pandemi Covid-19.
Akan tetapi, apabila dikomparasikan dengan pertumbuhan ekonomi pada periode yang sama pada tahun 2019 (yoy), pertumbuhan ekonomi Bali mengalami kontraksi di level minus 12,28 persen. Apabila dilihat secara struktur ekonomi, pertumbuhan ekonomi Bali pada triwulan III masih didominasi oleh penyediaan akomodasi makanan dan minuman dengan nilai kontribusi sebesar 17,46 persen.
Sedangkan dari sisi expenditure, kontribusi terbesar ada pada sektor konsumsi rumah tangga sebesar 54,06 persen. ‘’Ini menandakan perekonomian Bali juga di-drive dari konsumsi domestik,’’ ujar Krisna Adwitya, Minggu (15/11).
Krisna Adwitya menambahkan, terkontraksinya perekonomian Bali selama tiga triwulan terakhir, masing-masing minus 1,14 persen (triwulan I), minus 10,98 persen (triwulan II) dan saat ini minus 12,28 persen di triwulan III. Hal ini disebabkan struktur perekonomian Bali sangat tergantung atau ditopang oleh sektor pariwisata.
“Ingat, sektor tersier seperti pariwisata ini sangatlah sensitif atau rentan akan guncangan seperti isu, keamanan, hingga situasi pandemi Covid-19. Ini bukti nyata sudah terlihat imbasnya selama delapan bulan ini. Kita (Bali – red) sudah kehilangan devisa sekitar Rp 77,6 triliun atau kisaran Rp 9,7 triliun per bulannya,” katanya.
Menurut Krisna Adwitya, untuk bisa meningkatkan kembali pertumbuhan ekonomi Bali, selain sektor pariwisata yang paling mendesak untuk digenjot adalah sektor-sektor alternatif dan potensial lainnya untuk lebih serius, masif dan simultan digarap. Seperti sektor pertanian, industri kerajinan dan UMKM.
Ketiga sektor itu sangat potensial untuk digarap dan diberdayakan dengan lebih intensif. Misalnya dengan memberi atau menambah besaran bantuan berupa stimulus, subsidi, melakukan diverifikasi, hingga pemanfaatan digitalisasi. “Dalam jangka menengah hingga panjang sebenarnya prospek ekonomi Bali apabila sinergitas sektoral konsisten dan serius dilakukan, saya meyakini perkiraan ekonomi Bali akan lebih cepat untuk recovery atau membaik yang didukung oleh penguatan ekonomi nasional maupun global, dan juga peningkatan produktivitas. Itu semua dapat terwujud bila terjadi komitmen dan keseriusan secara simultan untuk dilakukannya sinergi, transformasi dan juga inovasi,” tegasnya. (Parwata/Winatha/balipost)