Oleh IGK Manila
‘’Saya atas nama rakyat hanya mengingini lenyapnya Belanda dari Pulau Bali atau kami sanggup bertempur terus sampai cita-cita kita tercapai.’’ Demikian kalimat sakti dan terkenal dari I Gusti Ngurah Rai (1917-1946), Panglima Pasukan Ciung Wanara, yang gugur dalam perang puputan melawan pasukan Belanda di Desa Marga, Bali.
Pada 20 November ini, Puputan Margarana diperingati dalam suasana tak biasa. Selain korban jiwa karena pandemi yang terus berjatuhan, ekonomi dunia, Indonesia dan tentu saja Bali mengalami resesi. Pariwisata sebagai penggerak utama ekonomi Bali masih jauh dari normal. Sehingga jika Puputan Margarana diperingati dan perang di tahun 1940-an itu dijadikan pelajaran, segenap kekuatan lahir dan batin harus dikerahkan, tidak saja supaya keluar dari pandemi, tetapi juga melakukan puputan untuk memulihkan ekonomi.
Seperti halnya dalam melawan penjajah fisik, di mana ada orang-orang asing yang ingin terus-menerus bercokol di tanah yang bukan hak mereka, puputan di musim Covid-19 ini mensyaratkan kekuatan lahir-batin setiap warga Bali dan kekuatan kolektif sebagai suatu-kesatuan pasukan besar. Harus disadari bahwa musuh yang dihadapi tak bisa diindera secara langsung, namun bergerak seperti pasukan hantu yang bisa menyerang kapan saja dan di mana saja.
Pertama, warga Bali harus melipatgandakan kekuatan lahir-batin dalam konteks kultural Bali, yaitu apa yang bisa kita sebut sebagai kekuatan spiritualitas. Sebab, keyakinan beragama adalah sendi bagi pikiran, sikap dan perilaku orang Bali. Bahkan laku spiritualitas menjadi mata air kreativitas dan melahirkan kebudayaan dan tatanan sosio-ekonomi unik Bali yang tiada-duanya.
Dalam peristiwa Puputan Margarana, keberanian dan daya juang yang mengagumkan dari pasukan Ciuang Wanara salah satunya bersumber dari spiritualitas. Keinginan untuk terlepas dari penjajahan asing, yang tidak saja mengeruk kekayaan Bali tetapi juga mengadu-domba berbagai kekuatan sosio-politik di Bali dengan politik divide et impera, berdasar pada keyakinan atas perkenan Tuhan.
Ketika kini musuh bersama adalah wabah Covid-19, kekuatan spiritualitas ini juga harus dimaksimalkan. Di satu sisi, secara psikologis, setiap ibadah dan doa akan membulatkan tekad orang Bali sehingga berhasil mengubur rasa cemas, khawatir atau tak berdaya di hadapan badai pandemi. Ibadah dan doa selanjutnya berfungsi untuk mengokohkan batin, menetapkan hati, dan menjadi sumber energi bagi segenap upaya memulihkan ekonomi pribadi, keluarga dan masyarakat.
Di sisi lain, secara praksis, spiritualitas orang Bali harus sampai pada kreativitas. Tuntutan kebutuhan akan sistem pengairan sawah, ladang, kebun, hutan dan perkampungan di zaman dahulu telah melahirkan sistem subak. Kini di tengah wabah Covid-19 yang belum kunjung berakhir, kekuatan spiritualitas juga harus mampu melahirkan terobosan-terobosan ekonomi, yakni dengan membaca saksama kehendak Tuhan bahwa semua harus dapat tempat dan hidup layak di tanah Bali. Sejauh ini seperti sudah mulai terlihat di mana-mana, kreativitas berbasis spiritualitas mewujud dalam usaha mikro, kecil dan menengah.
Kedua, terutama dari sisi segenap penyelenggara dan aparat pemerintahan di Bali, Puputan Margarana mengajarkan apa yang kini disebut sebagai kepemilikan yang kuat atas visi dan misi yang mulia. Di tengah bermacam pendapat dan perbedaan pandangan sosio-politik, I Gusti Ngurah Rai memilih untuk memperjuangkan visi yang mulia, yakni merdeka seratus persen dari penjajahan asing. Beliau tidak silau dengan bujukan Belanda dan lemah hati dengan berbagai tawaran status yang menggiurkan.
Meskipun pada akhirnya dikalahkan oleh kekuatan para penjajah, pasukan Ciung Wanara meninggalkan sejarah gemilang. Perjuangan dan pengorbanan mereka berhasil membuka mata berjuta-juta orang Bali secara khusus dan Indonesia pada umumnya. Generasi demi generasi sesudah mereka tak hanya memperingatinya sebagai wujud terima kasih tak terhingga tetapi juga mengambilnya sebagai pelajaran bagi kehidupan mereka sendiri.
Godaan terkuat bagi para penyelenggara dan aparat negara saat ini terkait dengan dilema: apakah akan mengambil kesempatan dalam kesusahan rakyat dengan kewenangan yang dimiliki atau berpegang teguh pada sumpah-jabatan sebagai pengurus rakyat. Jika mengikuti apa yang dipilih oleh I Gusti Ngurah Rai bersama pasukannya, maka menjalankan kewajiban secara puputan dalam memenuhi hak-hak rakyat akan jadi pilihan. Jika tidak musim pandemi ini akan dijadikan musim panen untuk memperkaya diri, mengejar jabatan dan seterusnya.
Peringatan Puputan Margarana, oleh karena itu, adalah momentum bagi para penyelenggara negara dan aparat di Bali untuk melakukan introspeksi. Mengatasi seremoni, pidato-pidato, kegiatan-kegiatan kultural, spanduk-spanduk dan baliho, serta wujud simbolik lainnya, Puputan Margarana harus membuat setiap penyelenggara maupun aparatur sipil maupun non-sipil negara wajib bercermin diri dan bertanya sungguh-sungguh pada diri mereka ‘’Sudahkah kami, yang sudah dibiayai oleh negara, bekerja secara puputan? Ataukah kami, dengan segala fasilitas yang kami terima, gagal menjadi pahlawan-pahlawan yang berjuang bagi rakyat Bali.’’
Ketiga, pelajaran berikut yang harus diambil adalah bagaimana strategi dan taktik amatlah penting. Keberhasilan I Gusti Ngurah Rai di awal-awal perjuangannya, di tengah gempuran pasukan penjajah yang dilengkapi peralatan perang yang lebih canggih dan pasukan yang terlatih, didukung oleh pertimbangan-pertimbangan strategis-taktis dengan memanfaatkan penguasaan atas kondisi alam dan menggalang dukungan masyarakat. Jika saja sejak awal bertindak membabi-buta alias tanpa perhitungan, pasukannya tak akan bertahan lama.
Dalam seni perang, strategi terkait dengan rencana menyeluruh untuk mencapai misi atau rangkaian tujuan dengan sasaran-sasaran yang jelas, ketika taktik merupakan tindakan-tindakan atau langkah-langkah spesifik yang diambil di setiap tahap pencapaian misi atau tujuan.
Terkait pandemi yang sudah berlarut-larut ini, misi kita di Bali bukanlah mengembalikan kehidupan masyarakat Bali pada situasi dan kondisi mereka sebelumnya. Itu hal yang mustahil. Akan tetapi misi dari segenap usaha peperangan mengatasi pandemi ini adalah terwujudnya satu kenormalan baru.
Dalam hal ini, kenormalan baru adalah adanya satu situasi baru di mana terdapat lingkungan sosio-politik-ekonomi yang mendukung keberlanjutan hidup rakyat karena adanya tuntutan dan kebutuhan yang baru yang berbeda dari sebelumnya. Keberhasilan memfasilitasi situasi baru tersebut dibuktikan dengan terciptanya satu kondisi kehidupan rakyat yang betul-betul layak dari segi ekonomi, kesehatan, kultural dan seterusnya.
Secara lebih sederhana, dalam badai wabah ini, kenormalan baru adalah keberadaan rakyat yang hidup sesuai protokol kesehatan dan bahwa mereka bisa mencukupi segenap kebutuhan dengan cara-cara baru yang sehat dan aman. Sejauh salah satu atau kedua hal ini tidak tercapai, maka tidak bisa dikatakan bahwa masyarakat Bali telah hidup dalam satu kenormalan baru.
Dan ini semua bukan hanya tugas penyelenggara dan aparat pemerintahan. Masyarakat sipil, yang dalam sistem demokrasi merupakan mitra kerja pemerintah, bertanggung jawab memperkaya, menyempurnakan dan mengawasi apa yang dilakukan pemerintah. Bahkan, dengan sumber daya yang mereka miliki, masyarakat sipil melalui lembaga-lembaga swadaya yang dijamin oleh konstitusi bisa berperan lebih jauh dan vital seperti dengan bergerak dalam sektor kesehatan dan ekonomi mikro, kecil dan menengah. Persoalannya, mungkin, adalah sajauh mana masyarakat sipil ini telah dilibatkan oleh pemerintah.
Penulis, anggota Majelis Tinggi dan Gubernur Akademi Bela Negara (ABN) Partai NasDem