Ribut Lupiyanto. (BP/Istimewa)

Oleh Ribut Lupiyanto

Fenomena La Nina kembali menghantui sebagian wilayah nusantara. Badan Meteorologi Kimatologi dan Geofisika (BMKG) memprediksi fenomena La Nina mulai terjadi pada Oktober 2020 dan puncaknya pada Desember 2020 – Januari 2021.

La Nina sendiri merupakan fenomena alam yang terjadi karena peningkatan suhu pada permukaan Samudera Pasifik timur dan tengah. Dampak dari adanya La Nina ialah terjadinya peningkatan suhu kelembaban pada lapisan atmosfer di atas perairan dan dapat meningkatkan curah hujan.

Fenomena La Nina dapat menyebabkan intensitas turunnya hujan cukup tinggi pada suatu daerah hingga dapat mencapai 40 persen dibandingkan dengan saat kondisi normal. Akibatnya terjadi gegar hidrologi dan menyebabkan bencana hidrometeorologi seperti bajir dan tanah longsor. BNPB (2020) mengimbau agar masyarakat bisa mengantisipasi fenomena La Nina dengan memanfaatkan data meteorologi dan melakukan mitigasi bencana.

Gegar Hidrologi

Setiap orang membutuhkan setidaknya 2.000 meter kubik air per tahun, sedangkan rata-rata mereka hanya memiliki akses 1.300 meter kubik. Permintaan air yang telah melebihi pasokan yang tersedia ini menghasilkan kelangkaan air.

Permintaan ini terus bertambah seiring pertambahan penduduk dan dinamika pembangunan, sedangkan pasokan sumber daya air cenderung statis bahkan menyusut. Krisis kelangkaan air atau kekeringan menjadi hantu bagi perjalanan peradaban manusia.

Optimalisasi neraca air yang tidak tercapai bahkan menimbulkan bencana disinyalir terjadi karena karut-marut manajemen sumber daya air. Krisis air didiagnosis terjadi karena efek gegar hidrologi. Gegar hidrologi seperti halnya gegar otak, merupakan kondisi di mana pengelola negeri ini tidak mampu memahami dan gagal memfungsikan kaidah-kaidah hidrologi dalam pembangunan (Siswantara, 2011).

Baca juga:  Potensi Politisasi Vaksin COVID-19

Gegar menyebabkan terganggunya siklus hidrologi. Manajemen sumber daya air termarginalkan oleh ambisi kepentingan ekonomi. Malpraktik pembangunan fisik terjadi tanpa kendali.

Konversi lahan terbuka menjadi area terbangun merajalela. Hutan kota disulap menjadi hutan bangunan. Sempadan sungai yang mestinya sebagai kawasan hijau justru padat permukiman. Deforestasi marak terjadi dan mengabaikan prinsip konservasi.

Terapi Total

UUD 1945 menegaskan bahwa air dikuasai negara dan harus dimanfaatkan untuk kemakmuran rakyat. Kenyataannya air sebagai kebutuhan pokok manusia menjadi barang ekonomis yang tidak murah lagi. Di sisi lain saat permintaan yang semakin meningkat, air justru menjadi barang ekologis yang semakin langka.

Gegar hidrologi mesti diterapi total melalui manajemen sumber daya air terpadu. Manajemen dapat dilakukan dengan mengontrol dan menyeimbangkan antara aspek penyediaan (supply), kebutuhan (demand), dan alokasi (distribusi).

Manajemen tidak bisa dilakukan responsif dan parsial, baik dalam hal aspek maupun spasial. Selama ini kekeringan hanya dijawab dengan kebijakan dropping air. Alhasil, krisis air hanya teratasi sesaat dan cepat kambuh di kemudian hari. Harmonisasi penting diciptakan antara aspek teknis, ekonomi, sosial budaya, politik, dan ekologi. Pendekatan spasial juga harus diterapkan melalui pengelolaan berbasis daerah aliran sungai (DAS).

Baca juga:  La Nina dan Tata Ruang Bali

Pembenahan ekologi secara natural hendaknya diprioritaskan sembari melakukan rekayasa lingkungan. Ruang terbuka hijau (RTH) perkotaan, sebagaimana amanat UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang wajib diupayakan minimal mencapai 30 persen dari luas wilayah.

Kawasan sempadan sungai juga mesti dikembalikan fungsinya. Revitalisasi kawasan dapat dilakukan dengan strategi vertikalisasi. Rumah susun adalah solusi manusiawi bagi pemukim liar.

Rekayasa lingkungan diimplementasikan dengan prinsip optimalisasi neraca air. Salah satu strategi efektif yang layak diupayakan adalah metode pemanenan air hujan (rainwater harvesting).

Fungsi resapan daerah hulu mesti dipertahankan dengan pengendalian konversi lahan dan peningkatan vegetasi. Sedangkan pemanenan air hujan dapat menjadi solusi praktis kekurangan air sekaligus banjir.

Untuk kepentingan jangka pendek, hasil pemanenan dapat langsung dimanfaatkan bagi irigasi, cuci, dan mandi, serta untuk jangka panjang dapat menambah suplai air tanah dengan meresapkannya. Air hujan dengan treatment tertentu bahkan dapat diolah untuk keperluan minum.

Banyak model pemanenan yang dapat dikembangkan, antara lain penampungan air hujan (PAH), sumur resapan, lahan terbuka, lubang biopori, polder, dan lainnya. Pola dan prioritas pemanfaatan air pun dapat dilakukan seperti memanfaatkan air hujan untuk keperluan sekunder, misalnya menyiram tanaman.

Baca juga:  Bali Terdampak La-Nina, Waspadai Bencana Hidrometeorologi

Wilayah kepulauan di Indonesia mayoritas dibelah oleh sungai-sungai. Sungai merupakan ekosistem yang membutuhkan manajemen pengelolaan DAS secara konsisten dan berkelanjutan. Manajemen DAS di Indonesia belum dikelola secara baik.

Kementerian PU menyebutkan sekitar 282 DAS dalam kondisi sangat kritis dan menjadi penyebab bencana banjir dan kekeringan. Sungai yang multipotensi juga menjadi faktor negatif citra wilayah.

Sungai identik dengan kekumuhan, penuh sampah, lokasi pembuangan limbah, dan lainnya. Sungai cenderung menjadi bagian belakang belum menjadi wajah depan kawasan. Ke depan sungai mesti dikembalikan dan dibalikkan menjadi primadona kawasan. Konsep water front city dapat dikembangkan secara seimbang ekologi, sosial, dan ekonomi.

Krisis air dan banjir adalah hantu masa depan manusia. Sekelompok penduduk yang kini masih aman tidak ada jaminan kondisi ke depan.

Diagnosis krisis air dan banjir yang mengindikasikan sebab gegar hidrologi dan merekomendasikan manajemen terpadu penting disadari dan dijadikan isu bersama. Kunci implementasi manajemen sumber daya air terpadu adalah komitmen politik pemimpin negeri, kepedulian swasta, dan partisipasi masyarakat.

Penulis, Deputi Direktur C-PubliCA (Center for Public Capacity Acceleration

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *