DENPASAR, BALIPOST.com – Struktur ekonomi daerah Bali perlu diseimbangkan agar tidak hanya didominasi oleh sektor tersier yakni pariwisata. Apalagi, pariwisata merupakan sektor yang sangat rentan.
Terbukti dengan adanya pandemi COVID-19, ekonomi Bali langsung mengalami kontraksi hingga minus 12,28 persen pada triwulan III tahun 2020. “Kami mengingatkan agar sektor pertanian tidak dilupakan sebagai prioritas. Sektor ini sangat relevan dikembangkan karena harkat Bali sejatinya adalah wilayah agraris,” ujar Anggota Fraksi Nasdem, PSI, Hanura DPRD Bali, Dr. Somvir saat membacakan Pandangan Umum Fraksi dalam Rapat Paripurna, Rabu (18/11).
Somvir menambahkan, pengembangan sektor pertanian memiliki nilai ekonomi sekaligus dapat menjadi sarana ketahanan pangan. Proyek Food Estate bahkan harus dijalankan di Bali sebagaimana yang dicanangkan oleh pemerintah pusat dalam kaitan ketahanan pangan.
Selain itu, sektor pertanian perlu dikerjasamakan dengan menyematkan teknologi agar memiliki kualitas dan daya tahan lebih baik. “Dan jangan lupa, Bali harus mengembangkan pertanian organik. Ini akan menjadi keunggulan bagi Bali dan berkesinambungan dengan beberapa Pergub terdahulu,” jelasnya.
Anggota Fraksi Partai Demokrat, I Komang Wirawan mengatakan, pariwisata sangat rentan terhadap isu-isu seperti keamanan, bencana alam, hingga penyakit menular. Oleh karena itu, Gubernur mesti mengubah struktur ekonomi Bali dengan membangun struktur ekonomi baru.
Dominasi sektor tersier/pariwisata dikurangi, lalu sektor lain seperti pertanian dan UMKM didorong untuk berkembang. Sektor pertanian, perkebunan, peternakan dan perikanan dalam hal ini didorong menuju mandiri di bidang pangan.
“Sejalan dengan hal tersebut perlu dikembangkan produk pertanian dalam arti luas yang berskala ekspor,” ujarnya.
Wirawan menambahkan, industri pengolahan produk pertanian pasca panen seperti jeruk, mangga, durian, tomat, papaya, anggur, salak, manggis dan lainnya juga mesti didorong untuk berkembang. Selain itu, perlu dijaga stabilitas harga tangkapan ikan laut dan budi daya ikan sungai/danau), serta hasil ternak terutama babi dan sapi.
Laju pertumbuhan UMKM agar dipercepat. Pun dengan ekonomi kreatif dari proses produksi sampai dengan proses pemasaran melalui pemberian BSU (bantuan sitimulus usaha) tepat sasaran dan penggunaan IT.
“Alih fungsi lahan pertanian diminimalisir untuk permukiman secara besar-besaran, seperti vila dan restoran termasuk pemanfaatan sempadan sungai,” imbuhnya.
Menurut Wirawan, Perusda atau BUMD agar didorong untuk membangun Pabrik Penggilingan Gabah yang tidak terpengaruh oleh musim. Mengingat saat ini gabah petani Bali dibeli oleh calo-calo dari luar Bali dan berasnya kembali dipasarkan ke Bali. “Sehingga harga dikendalikan mereka (calo, red) dan tidak ada nilai tambah bagi petani Bali,” tandasnya.
Anggota Fraksi Partai Golkar, I Nyoman Wirya mengatakan, perlu dibangun sinergi yang saling menunjang antara sektor pertanian dan pariwisata. Untuk mendorong peningkatan sektor pertanian dalam struktur ekonomi daerah Bali, pihaknya mengusulkan agar anggaran sektor pertanian secara konsisten dinaikkan sehingga menjadi minimal 5% dari APBD Provinsi Bali. Selain itu, mendorong berkembangnya sektor industri pengolahan produk-produk sektor pertanian.
“Entrepreneur, UMKM dan petani milenial juga harus didorong agar tumbuh dan berkembang dengan melibatkan perguruan tinggi negeri dan swasta, melalui pendidikan dan latihan serta pendampingan yang didukung anggaran dari APBD Provinsi Bali,” ujarnya.
Diwawancara terpisah, Sekda Provinsi Bali Dewa Made Indra mengatakan, anggaran untuk sektor pertanian selama ini tidak hanya bersumber dari APBD. Tapi ada juga yang dialokasikan dari APBN.
Selain itu, tidak ada amanat konstitusi yang mewajibkan minimal anggaran untuk pertanian di APBD. Berbeda dengan sektor pendidikan atau kesehatan. Dengan kata lain, bukan persentase anggaran yang penting, tapi berapa kebutuhan untuk memajukan sektor pertanian.
“Kami tadi meresponnya bukan soal angka 5 persen tapi soal kebutuhan. Kalau memang kebutuhan kita lebih dari 5 persen, tidak harus terpaku dengan 5 persen. Tapi kalau kebutuhan kita tidak bisa menyerap 5 persen ya jangan dipaksakan, nanti susah juga,” paparnya. (Rindra Devita/balipost)