Kadek Suartaya. (BP/Istimewa)

Oleh Kadek Suartaya

Aktivitas kehidupan berbasis teknologi digital itu semakin beraneka ragam. Bukan hanya latah atau bukan pula sekadar embel-embel, namun geliat masyarakat di dunia maya itu menjadi kenyataan yang mewabah dan meluas dalam berbagai bidang. Peristiwa dan kegiatan daring (dalam jaringan) internet kini jadi solusi.

Bidang pendidikan formal yang harus menerapkan physical distancing dan social distancing menggunakan celah virtual via perangkat komputer dan HP. Uniknya yang namanya seremonial ritual sakral pun dapat terselenggara secara daring. Virtualisasi, belakangan, bukan hanya mencuat viral namun dengan cepat menjadi keseharian kita. Walau banyak pula yang gagap dengan disrupsi budaya ini.

Bidang seni dan insani senimannya termasuk gagap dengan dinamika peradaban maya ini. Dialektika kultural ini juga tampak pada kehidupan kesenian di tengah masyarakat Bali. Sebelum berbicara mengenai seni virtual, ada baiknya kita melihat dampak akut dari malapetaka Covid-19 terhadap denyut seni budaya masyarakat pulau ini.

Sejak wabah itu semakin garang, mereka, para pelaku seni terjengkang. Ritual agama Hindu yang senantiasa disertai dengan persembahan seni menyunat peran senimannya, sebab prosesi keagamaan diminimalisir. Kehikmatan tatabuhan gamelan senyap dan alunan kidung suci terkunci. Lengang hening para wanita penari Rejang tak kuasa menunjukkan ketulusan persembahannya. Aneka teater dan tarian balih-balihan yang lazim hadir sumringah, tersipu gundah.

Baca juga:  Sastra dan Legitimasi Media “Online”

Kegundahan nan pasrah juga kentara pada ruang ekspresi berkesenian di kancah profan presentasi estetik. Forum Pesta Kesenian Bali (PKB) sebagai ajang unjuk seni yang sejak 40 tahun terakhir ini menjadi kebanggaan masyarakat Bali, tahun 2020 tidak diselenggarakan.

Tak terselenggaranya pesta seni yang biasanya bergulir selama sebulan pada Juni-Juli, sungguh bagaikan petir di siang bolong bagi para pegiat seni yang semuanya telah jauh-jauh hari mempersiapkan diri sarat gairah. Demikian pula dengan masyarakat Bali pada umumnya, khususnya masyarakat penonton, kehilangan kesempatan untuk menyaksikan dan menyimak puspa ragam kesenian di Taman Budaya Bali.

Kesenian turistik juga tercekik. Sepinya Bali dari kunjungan wisatawan mengistirahatkan mereka, para pegiat seni, beratraksi di panggung-panggung hotel, restoran, dan arena khusus yang tersebar di Denpasar, Badung, Gianyar, dan Tabanan. Barong di Desa Batubulan tak rutin lagi menunjukkan ketangkasannya melainkan diam membisu di pojok ruang.

Stage tari Cak Ramayana di pelataran Uluwatu kini hanya dikuasai liukan desiran angin laut. Gemulai tari Legong di halaman Puri Ubud tak ada yang menunjukkan senyumnya lagi, namun cemberut lunglai menanggalkan busana mewahnya. Juga, tak tampak permainan api lagi pada atraksi Sanghyang Jaran di Desa Bona, Blahbatuh. Para pegiat seni turistik Bali menimang-nimang nestapa dari deraan pandemi untuk segera beralih profesi.

Baca juga:  Dekonstruksi Pertanian Mendukung Pariwisata

Kemampuan beradaptasi telah ditunjukkan seniman dan masyarakat Bali pada umumnya. Ruang berkesenian yang digelontor Pemerintah Provinsi Bali di tengah pandemi yaitu Festival Seni Bali Jani (FSBJ) pada 31 Oktober hingga 7 November ini, merupakan representasi adaptif seniman, masyarakat, dan pemerintah kita.

Festival yang dirancang secara virtual ini adalah bentuk tanggapan yang adaptif, optimistis dan kompromistis dalam menghadapi situasi serba sigap menerapkan protokol kesehatan. Dalam FSBJ yang diselenggarakan untuk tahun ke-2 tersebut, para pegiat seni mesti beralih media, dari media langsung ke ruang maya.

Tentu alih media ini menjadi panggung berkesenian yang baru bagi sebagian besar seniman kita. Akan tetapi sejarah membuktikan, alih media dengan memanfaatkan laju teknologi, sejatinya telah beradaptasi dengan kesenian dan seniman Bali sejak dulu.

Dinamika kehidupan berbasis teknologi digital kini telah integral dengan keseharian kita. Seni virtual adalah sebuah denyut yang sedang berpluktuasi di tengah pandemi Corona sekarang dan kemungkinan menjadi sebuah idiom estetika yang berlanjut di kemudian hari.

Baca juga:  Galungan, Waspadai Tren “Negakin” Dharma

Tentu saja dengan basis teknologi digital dalam kreativitas seni virtual tidak sesederhana pemanfaatan pengeras suara dan lampu listrik. Diperlukan keakraban dengan sejumlah perangkat keras dan lunak yang terus menunjukkan progres nan dinamis.

Walau terasa kompleks, tampak para pegiat seni di Bali tak begitu tampak gagap, terutama pegiat seni kalangan muda. Mereka, di antaranya malahan mampu mencuat meraih peringkat atas dalam berbagai lomba seni virtual di forum nasional. Prospek kemampuan alih media ini juga cukup memberikan harapan dalam pagelaran dan festival seni virtual yang berlangsung belakangan di Bali, baik yang digelar oleh kalangan swasta maupun oleh Pemprov Bali.

Tengoklah, lomba-lomba seni virtual yang digelar oleh sanggar dan kampus-kampus dalam bidang seni tari, karawitan, baca puisi dan sebagainya, berlangsung sporadis di dunia maya dengan sarat gegap. Demikian pula dengan gelar seni virtual yang difasilitasi Disbud Provisi Bali mampu menunjukkan sebuah fleksibelitas dalam jagat kreatif,  beradaptasi beralih media teknologi kekinian.

Penulis adalah pemerhati seni budaya, dosen ISI Denpasar

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *