Pameran produk kerajinan masyarakat adat yang menggunakan bahan-bahan alam, Minggu (22/11). (BP/kmb)

GIANYAR, BALIPOST.com – Diversitas yang dimiliki Bali merupakan hal penting yang harus dipertahankan. Untuk itu, dalam manajemennya seharusnya tidak diseragamkan karena berbahaya untuk kekuatan masyarakat adat. Demikian mengemuka dalam diskusi tentang Laku Hidup Lestari, Minggu (22/11), di Bali Purnati, Gianyar.

Menurut Klian Desa Pekraman Munduk, Jro Putu Ardana, keberagaman masyarakat adat di Bali merupakan salah satu kekuatan yang penting dijaga. Namun, ia menilai saat ini terjadi manajemen keseragaman yang dilakukan pemerintah. Padahal, kondisi itu berbahaya bagi keberadaan masyarakat adat.

Ia mengutarakan dalam upaya menjaga keberadaan masyarakat adat dan lingkungan agar lestari berbagai upaya dilakukan. Ia mengambil contoh pengelolaan lingkungan yang dilakukan masyarakat Dalem Tamblingan, yakni Danau Tamblingan dan Hutan Mertajati.

Putu Ardana meyakini nilai-nilai masyarakat adat selalu berusaha menjaga harmoni dengan bentang alam. Paradigma ini lah yang harus digaungkan. “Konsep asli masyarakat adat adalah bagian dari bentang alam. Sehingga memberi ruang bagi semua mahluk,” jelasnya.

Baca juga:  Cuaca Buruk, HNSI Himbau Nelayan Tak Melaut

Nilai-nilai ini lah yang sebenarnya harus disuarakan. Karena sebenarnya masyarakat adat telah melaksanakan laku hidup lestari tapi tidak menyuarakannya. Sementara kebanyakan orang di perkotaan menyuarakan hidup laku lestari ini, tapi tidak mempraktekkannya dalam kehidupan sehari-hari.

Hidup lestari (sustainable lifestyle) merupakan hal yang sangat diperlukan dalam menjaga lingkungan yang makin terdegradasi. Pendamping masyarakat Kasepuhan Ciptagelar, Andar Manik, mengatakan laku hidup lestari ini sudah dilakukan masyarakat adat dan komunitas.

“Ini harus menjadi sebuah gerakan kesadaran bersama di dalam menjalankan hidup dan kehidupan. Hal ini bisa didukung oleh regulasi Undang-Undang Pemajuan Kebudayaan dengan 10 Objek Pemajuan Kebudayaan dan 4 Prinsip Pembinaan, Pengembangan, Pemanfaatan dan Perlindungan. Dengan melakukan pendataan digital secara partisipatif di mana generasi muda bisa turut serta untuk mencatatkannya melalui aplikasi data pemajuan kebudayaan masyarakat adat,” katanya.

Kegiatan Forum Bicang dan Laku Hidup Lestari merupakan event kolaborasi Yayasan Merdi Sihombing dan Yayasan Losari. Kegiatan ini menghadirkan serangkaian acara yang mengajak masyarakat luas belajar tentang Laku Hidup Lestari (Sustainable Lifestyle) dari Masyarakat Adat yang tersebar di seluruh penjuru nusantara.

Baca juga:  Mahasiswa Ditangkap, Terima Pasokan Narkoba Senilai Rp 2 Miliar

Kegiatan yang didukung oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia melalui program Fasilitasi Bidang Kebudayaan digelar selama 2 hari, yakni 21 hingga 22 November. Kegiatan ini diisi diskusi, pemutaran film, lokakarya dan pameran produk-produk seni dan fashion. Pembukaannya diisi penampilan selonding sedangkan penutupannya ditampilkan kolaborasi antara selonding dan gambuh.

Merdi Sihombing, Pendiri Yayasan Merdi Sihombing, mengutarakan bahwa kegiatan ini bertujuan untuk memberikan referensi bagi masyarakat umum agar dapat hidup lebih baik dengan alam, tanpa merusak alam sekitar. Sejatinya, manusia sebagai penghuni bumi dapat melakukan berbagai langkah kecil dalam gaya hidup sehari-hari untuk tetap menjaga kelestarian Bumi.

“Mulai hidup dengan sadar, kurangi konsumsi yang berlebihan, dan aktivitas yang meninggalkan jejak karbon, serta perbanyak sebuah tindakan memberi kepada alam. Hidup dengan prinsip “sustainable” membuat keseimbangan antara kebutuhan manusia dan keberlangsungan alam beserta isinya. Apa yang diperbuat sekarang akan berdampak pada hari esok. Perubahan ini dilakukan demi menyelamatkan Bumi untuk kehidupan
generasi selanjutnya,” pesannya.

Baca juga:  Akhirnya, Hindu Memiliki Universitas Negeri

Berpandangan senada, Ketua Yayasan Losari, Restu Imansari Kusumaningrum berharap forum ini dapat menjadi medium bagi masyarakat luas untuk belajar tentang laku hidup lestari dari kearifan lokal dan budaya. “Forum ini merupakan trigger atau awal untuk memulai laku hidup lestari,” sebutnya.

Dalam new normal live ini, sebut Restu, perilaku masyarakat adat bisa dicontoh. Sebab, masyarakat adat yang hidup di sana lebih zero COVID-19.

Sebab, pada dasarnya COVID-19 adalah penyakit urban. Tapi, bila masyarakat urban pindah ke desa dengan tidak mengindahkan nilai-nilai masyarakat adat juga salah.

Intinya, lanjut Restu, orang kota diajak untuk sadar dan mencari nilai-nilai masyarakat adat untuk kebudayaan ke depan. Agar tidak mandeg. (Diah Dewi/balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *