Penggagas upacara Ruwat Bumi Nangluk Merana Agung di Bencingah Puri Tampaksiring, Gianyar, Ida Bagus Made Bhaskara. (BP/Nik)

GIANYAR, BALIPOST.com – Selain secara sekala, ritual secara niskala juga diselenggarakan dalam memutus rantai penyebaran COVID-19. Seperti yang dilakukan warga Tampaksiring.

Warga akan menggelar prosesi Caru Ruwat Bumi Nangluk Merana Agung di Bencingah Puri Agung Tampaksiring pada Rabu (25/11). Prosesi itu pun akan digelar dengan pementasan pragmen sakral.

Penggagas prosesi upacara, Ida Bagus Made Bhaskara saat ditemui, Selasa (24/11) menjelaskan dalam prosesi akan digelar dengan pementasan pragmen sakral berupa sesolahan Barong Rangda, Wayang Sudamala, Topeng Sidakarya, Pusaka Gong Beri, Genta Kebo Gladag, dan Sang Hyang Jaran. “Upacara Ruwat Bumi Nangluk Merana Agung ini berkaitan dengan pandemi global COVID-19,” jelasnya.

Di Tampaksiring, dari berbagai prasasti tua disebutkan bahwa ibu kota tertua ada di Tampaksiring. Salah satu buktinya, dengan adanya Pura Tirta Empul, Pura Gunung Kawi yang sangat tua.

Baca juga:  Labotarium Covid-19 di Sejumlah Negara Dilakukan Uji Sampel

“Jadi banyak catatan sejarah yang menyebutkan bahwa pusat peradaban lampau pernah terpusat di Tampaksiring,” jelasnya.

Pihaknya menganggap pandemi ini bukan hanya secara sekala saja. Namun juga berkaitan secara niskala. Sebab itu upaya ini dinilai patut dilakukan.

Disebutkan ada dua bentangan Buana Alit dan Buana Agung pada tatanan mistis tua kuno Bali. “Jadi setiap Yadnya yang kita lakukan, untuk Buana Agung, untuk alam semesta. Termasuk Ruwat Bumi ini tujuannya menyeimbangkan alam. Salah satunya mengatasi pandemi. Untuk bumi, bukan hanya untuk Bali,” katanya.

Ditambahkannya upacara Ruwat Bumi ini sebagai upaya menyeimbangkan alam semesta. Maka prosesi itu sebagai penetralisir penyakit, bukan membahayakan atau menyakiti karena ini bagian keseimbangan. Perlu dengan menyeimbangkan diri dengan siklus alam semesta.

Baca juga:  Ini, Hasil Uji Swab Jasad Warga Amerika yang Meninggal di Villa

Sementara untuk fragmen sakral, dilakukan atas ada beberapa rujukan sastra inisiator rujukan. “Salah satunya rujukan teks Siwa Gama, Kala Maya Tatwa, Penurgan Dalem Tungkup, Babad I Gde Mecaling. Jadi pada teks-teks ini disebutkan, pada sasih keenam nanti pada 25 November, jadi berbagai kekuatan negatif, baik bhuta kala termasuk gering, sabsab, merana,” paparnya.

Dikatakan dalam fragmen sakral terdapat juga Sang Hyang Jaran yang termasuk animisme dinamisme. Pada masa itu, berbagai roh binatang disucikan.

Sang Hyang Jaran warisan kuno di Tampaksiring, sering dibawakan untuk mengusir gerubug. Dalam fragmen ini, ditarikan oleh sisia (siswa) pasraman.

Baca juga:  Jatuh Ke Sumur, Tukang Las Tewas

“Karena ada aturan pemerintah terkait prokes. Maka kami tidak mungkin buat fragmen nedunang sesuhunan di Pura Kahyangan Tiga, karena dampaknya masyarakat berkerumun banyak. Maka dari itu, kami akan nuwur tirta, semua tirta suci di wilayah Tampaksiring ditunas. Tirta ini mewakili kekuatan Dewa. Itu yang ditarikan duwe pasraman. Itu simbolis aspek Kala Maya dan Durga,” tandasnya.

Upacara itu pun akan digelar pada pukul 16.00 sampai pukul 18.00, sementara arus lalulintas akan dialihkan sementara. “Nanti yang ikut dalam acara inti ini hanya 50 orang saja, dan lalulintas juga kami telah berkoordinasi dengan pihak berwajib. Sebab kegiatan ini sinergitas antara pasraman, desa dinas dan Desa Adat Tampaksiring,” tandasnya. (Manik Astajaya/balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *