DENPASAR, BALIPOST.com – Dalam kurun waktu 15 tahun terakhir, yakni 2005 hingga 2020, ratusan kepala daerah atau wakilnya tersandung kasus hukum. Totalnya ada 457 pimpinan daerah tersangkut masalah hukum, mayoritas kasusnya adalah korupsi. Demikian terungkap dalam Pembekalan Pilkada Berintegritas yang melibatkan calon kepala daerah (Cakada) di 3 provinsi, termasuk Bali.
Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Lili Pintauli Siregar mengajak para calon kepala daerah (cakada) di tiga wilayah provinsi, termasuk Bali, menjaga nilai-nilai persaudaraan, kejujuran, dan kebaikan. Dia meminta calon kepala daerah mengajarkan publik untuk berkompetisi secara sehat tanpa merusak tatanan nilai-nilai persaudaraan, kejujuran, dan kebaikan, yang telah menjadi fondasi masyarakat Indonesia.
Dalam realesenya yang disampaikan kepada Bali Post, Kamis (26/11) malam, Lili berharap Pilkada di ujung tahun 2020 dalam berjalan baik. Hal itu disampaikannya di Auditorium Kantor Gubernur Provinsi Sumbar, Padang, Kamis, 26 November 2020. Peserta pembekalan di Bali dan Papua mengikutinya secara daring.
Dikatakan KPK, sumber daya milik daerah seperti anggaran, fasilitas, barang, dan sebagainya, tidak dimanfaatkan oleh petahana untuk kepentingan kampanye. Saat ini, menurut Lili, adalah waktu paling tepat membangun komunikasi yang sehat dengan para pemilih, dengan cara menyampaikan komitmen kepada publik dengan cara-cara yang benar.
“Jangan mempengaruhi pemilih untuk memilih bapak dan ibu hanya dengan iming-iming pemberian uang, barang, atau posisi tertentu. Indeks Perilaku Antikorupsi (IPAK) yang dikeluarkan BPS memang menunjukkan penurunan skor dimensi persepsi antikorupsi dari 3,86 ke 3,68 dari tahun 2018 ke 2019, yang disebabkan permisifitas masyarakat menerima politik uang dalam pilkada,” tambah Lili.
Di sisi lain, ucap Lili, hasil survei KPK dan beberapa pihak lainnya memperlihatkan ada selisih antara biaya pilkada dengan kemampuan harta pribadi para calon. Berdasarkan data Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) yang disampaikan oleh para cakada kepada KPK, total kekayaan pasangan calon terlihat tak mencukupi untuk menutup ongkos pilkada.
Karena itu, kata Lili, tak mengherankan bila hasil survei KPK pada 2018 memperlihatkan bahwa sebanyak 82,3 persen dari seluruh pasangan calon yang diwawancarai mengakui adanya donatur dalam pendanaan pilkada.
Direktur Fasilitasi Kepala Daerah, DPRD, dan Hubungan antar Lembaga (FKDH) Kementerian Dalam Negeri, Andi Bataralifu mengakui, ongkos pilkada yang mahal menyebabkan maraknya politik uang, yang pada saatnya berpotensi menimbulkan kasus hukum. Tahun 2005 sampai Oktober 2020 terdapat total 457 Kepala Daerah atau Wakil Kepala Daerah terkena kasus hukum, di mana kasus korupsi merupakan yang terbanyak.
“Motif pelanggaran hukum itu adalah keinginan balik modal untuk maju pilkada berikutnya, dengan cara obral izin, program dan proyek pembangunan pemda ke pengusaha, yakni investor atau cukong politik, mutasi pejabat, ketuk palu pengesahan APBD bersama DPRD, dan lain-lain,” ungkap Andi.
Karenanya, sambung Andi, pilkada harus menjadi upaya menghadirkan kepala daerah dan wakil kepala daerah yang sesuai dengan harapan konstituen, yakni kepala daerah dan wakil kepala daerah yang bermoral, berintegritas, dan berkompeten. (Miasa/balipost)